Mohon tunggu...
Sholahuddin
Sholahuddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Pekerja Media

Laki-laki pencari Tuhan. Lahir di Boyolali, Jateng. Bekerja di sebuah penerbitan pers di Solo.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dari Keluarga untuk Indonesia...

3 September 2015   19:53 Diperbarui: 3 September 2015   20:13 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Para narasumber di acara Kompasiana Nangkring Bersama BKKBN, Kamis (20/8) di Solo Paragon Hotel & Residences "][/caption]

Reset your thinking, and see the future...

John Naisbitt

Keluarga adalah organ terkecil dalam masyarakat. Undang-undang No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menyebutkan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.

Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, peran keluarga dalam membentuk masyarakat tak bisa dibilang kecil. Keluarga memegang peran vital pembangunan masyarakat dan negara. Kalau ingin membangun masyarakat dan bangsa yang baik, mulailah membangun keluarga. Bila ada tatanan masyarakat belum baik, bisa jadi tatanan dalam keluarga Indonesia belum tertata baik pula.

Karena itu Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab terhadap pembangunan keluarga dan kependudukan, aktif mengkampanyekan program pemberdayaan keluarga melalui delapan fungsi keluarga. Delapan fungsi itu adalah fungsi agama, fungsi sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan. Tanpa kita mendefinisikan masing-masing fungsi itu, saya yakin kita mampu untuk membayangkan maknanya. Betapa agung peran dan fungsi keluarga.

Acara Kompasiana Nangkring Bersama BKKBN, Kamis (20/8), di Solo Paragon Hotel & Residences juga menjadi bagian kampanye itu. Dialog yang diikuti para kompasianer Soloraya tersebut bertema Menanamkan Revolusi Mental Melalui 8 Fungsi Keluarga. Acara dibuka Kepala BKKBN, dr. Surya Chandra Surapaty M.Ph., M.Pd., kemudian dilanjutkan diskusi bersama para narasumber, antara lain Deputi Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga (KSPK) BKKBN, Dr Sudibyo Alimoeso, M.A., Deputi Bidang Advokasi Pergerakan dan Informasi BKKBN, dr Abidinsyah Siregar DHSM, M.Kes, psikolog dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Drs.Soleh Amini Yahman, P.Si., M.Si, M.Pd, serta budayawan Arswendo Atmowiloto.

Ada beberapa kata kunci yang layak menjadi catatan penting dari forum itu, di antaranya soal revolusi mental dalam delapan fungsi keluarga, ancaman bonus demografi, serta penyakit yang menghinggapi kalangan remaja Indonesia.

Revolusi mental dalam nawacita pemerintahan Jokowi Widodo merupakan gerakan mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku setiap orang untuk berorientasi pada kemajuan dan kemodernan sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa di dunia. Secara demikian revolusi mental dalam delapan fungsi keluarga bisa dimaknai sebagai perubahan cara pandang, cara berpikir, sikap dan perilaku dalam mewujudkan fungsi ideal keluarga.

Revolusi adalah perubahan secara mendasar yang dilakukan secara cepat. Namun, revolusi mental dalam berkeluarga ini, tak semudah membalik telapak tangan. Hal itu membutuhkan waktu dan proses proses panjang, apalagi revolusi itu ingin mewujudkan cita-cita yang amat luhur seperti tertuang dalam delapan fungsi keluar. Kampanye, seperti acara Kompasiana-BKKBN, adalah bentuk penyadaran (awareness), memberi pemahaman kepada masyarakat, terutama para netizen (pengakses internet) yang saat ini menjadi bagian penting yang perlu digarap. Jargon-jargon “salam dua jari” (dua anak cukup), “salam GenRe (generasi berencana) atau salam tiga jari tiga jari” (say no to free sex, drugs and HIV/AIDS) merupakan bentuk kampanye untuk memudahkan penyampaian pesan, terutama buat anak muda. Penyadaran merupakan hal paling dasar dalam perubahan, namun penyadaran saja takkan cukup. Perlu ditindaklanjuti dengan strategi atau cara mencapai tujuan. Strategi dilanjutkan dengan program yang tepat agar tujuan tercapai secara efektif. Evaluasi atas program guna memastikan program sesuai sasaran. Tugas BKKBN, dan kita semua, masih panjang...

Apalagi tantangan keluarga di era teknologi informasi kian berat. Keluarga-keluarga di Indonesia hidup di tengah lingkungan masyarakat yang terus berubah. Baik perubahan yang direncanakan sebagai bagian dari proses pembangunan, maupun perubahan cepat akibat industrialisasi dan kapitalisasi gaya hidup. Kemudahan mengakses internet via gawai (gadget) kian merambah anak muda (bahkan anak-anak). Tak hanya di luar rumah, saat di dalam rumah pun anggota keluarga (orangtua dan anak) seolah tak bisa lepas dari gadget. Mereka berkumpul tapi minim interaksi. Mereka di dalam rumah tapi masing-masing terkoneksi dengan dunia luar. Intensitas dan keintiman keluarga kian terancam. Alih-alih keluarga menjadi tempat bersemai nilai akhlak dan moral, keluarga justru menjadi tujuan serbuan kapitalisasi gaya hidup yang tak mendidik.

Tantangan Berat

Pada 2020-2030 Indonesia diprediksi akan menghadapi bonus demografi. Struktur penduduk akan didominasi penduduk usia produktif pada rentang umur 15-64 tahun yang terjadi akibat transisi demografi karena suksesnya program Keluarga Berancana (KB) serta program pembanguan lainnya. Presiden Joko Widodo mengingatkan pada 2020-2030 struktur penduduk di usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun sekitar 30 persen. Artinya usia produktif sekitar 70 persen. Luar biasa besar. Bonus demografi bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi menjadi berkah bila kita berhasil memanfaatkannya, sedangkan akan menjadi bencana apabila kualias manusia Indonesia tidak disiapkan dengan baik (www.kompas.com/, 1/8/2015).

Karena itu dr. Abidinsyah Siregar dalam acara Nangkring Kompasiana-BKKBN itu mengingatkan agar bonus demografi tidak menjadi beban di masa depan, kuncinya menciptakan generasi muda yang kreatif dan inovatif. Menurut saya, generasi kreatif dan inovatif adalah generasi yang selalu berinisiatif menciptakan, berkreasi hal-hal baru yang bernilai tambah (added value), baik bagi dirinya maupun lingkungannya. Jadi, bukan hanya usianya yang produktif, tapi juga produktif membuat karya. Lantas bagaimana agar generasi muda ini mampu menjadi manusia kreatif dan inovatif? Nah, ini juga menjadi pekerjaan rumah bangsa ini. Belum lagi tiga masalah besar yang menyerang anak muda : seks bebas, pengaruh obat-obat terlarang, serta ancaman HIV/AIDS. Pendikan seks sejak dini, penyadaran tentang bahaya obat-abatan terlarang serta menjauhkan anak muda dari perilaku yang menjadi tempat penularan HIV. Langkah BKKBN menggandeng para blogger yang umumnya anak muda merupakan langkah pas. Tinggal menindaklanjuti program-program mendidik buat “generasi-generasi digital” ini.

Memang berat merevolusi mental agar keluarga berfungsi sesuai basisnya. Tapi kita tetap optimistis memulai melangkah, karena optimisme adalah separuh dari kesuksesan. Mengembalikan keluarga sebagai fondasi nilai-nilai moral, persahabatan, keintiman dan cinta kasih. Bangsa Indonesia mulai siuman untuk bersemangat membangun karakter. Keluarga kecil dan sejahtera adalah pilarnya...

Semoga...

Solo, 3 September 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun