Mohon tunggu...
vera wati
vera wati Mohon Tunggu... -

Verawati, lahir di Bekasi pada tanggal 25 Desember 1977 adalah salah seorang guru Akuntansi di Kabupaten Bekasi yang tidak hanya aktif dalam membina murid-muridnya dalam mengikuti berbagai kompetisi akuntansi, akan tetapi ia juga aktif dalam berbagai kegiatan pelestarian lingkungan hidup. Kecintaannya pada profesi guru membuat ia bertekad untuk mengaplikasikan semua “skill” yang diperolehnya baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk “tidak” hanya sekedar menjadi guru biasa, namun “Extra Ordinary Teacher” yang bisa menjadi kebanggan siapa saja yang pernah mengenalnya. Dengan pengalaman beasiswa yang diperolehnya, kini telah banyak muridnya yang juga melanjutkan kuliah mereka dengan memperoleh beasiswa. Kini sekolahnya telah menjadi salah satu pusat informasi ilmu akuntansi di Bekasi. Tambahan Ilmu yang diperolehnya dari Malaysia dan Amerika juga telah menghantarkan dirinya menjadi guru berprestasi baik di tingkat Kabupaten maupun di tingkat Propinsi Jawa Barat pada tahun 2012. Kegiatan “peduli lingkungan” yang digarap bersama rekan-rekan kerjanya juga memperoleh penghargaan “Raksa Prasadha” di tingkat propinsi. Semuanya dijalaninya dengan enjoy namun tetap semangat. Ia yakin bahwa sesuatu yang diniatkan dengan tujuan mulia maka akan mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis Laporan Magang Guru, Harus Bakukah?

12 Agustus 2016   10:46 Diperbarui: 12 Agustus 2016   19:43 716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)

Magang. Sebuah istilah yang jika disinonimkan sama dengan PPL, PKL, dan lain sebagainya. Kosakata ini sudah lama bercokol di dunia industri maupun di dunia pendidikan, khususnya jenjang SMK. Namun, sejauh mana magang sudah dipraktikkan mendekati “semangat” atau misi utamanya untuk memadukan antara teori dan praktik, tampaknya kenyataan tersebut masih jauh panggang dari api.

Saya adalah salah seorang guru SMK yang telah sepuluh hari berada di industri. Total kewajiban magang yang harus saya jalani adalah 30 hari jika merujuk pada peraturan yang ditetapkan oleh Direktorat. Saya juga dibekali dengan format jurnal magang yang tidak henti-hentinya saya berikan masukan agar bisa memberikan perbaikan bagi konsep magang ke depan.

Bukan tanpa alasan saya memberikan berbagai masukan karena ternyata sepuluh hari di industri sudah agak membuka mata saya tentang apa dan bagaimana seharusnya pihak sekolah dan pihak industri menjaga hubungan yang intens dan harmonis.

Saya sangat senang jika melakukan diskusi dengan orang-orang yang berpikiran terbuka dan bersedia menerima masukan. Orang cerdas biasanya bersedia berargumen secara logis, orang yang egois biasanya antikritik dan selalu mematahkan argumen yang telah kita sampaikan. Di sini saya ingin memberikan pendapat bahwa konsep magang guru tidak bisa disamakan dengan model magang siswa. Apalagi jika format jurnalnya sangat mirip dan hanya redaksi kata guru saja yang diganti siswa. 

Saya pernah melihat di sebuah jurnal magang guru tertulis: guru dari jam sekian sampai jam sekian mengerjakan “x” lalu dibandingkan dengan standar waktu seharusnya berapa lama, kemudian dihitung efektivitasnya. Saya tampaknya kurang setuju dengan konsep perhitungan efektivitas magang guru yang seperti itu. 

Alasannya adalah bahwa “magang guru” bukan bertujuan untuk memberikan bantuan tenaga teknis di perusahaan. Pihak perusahaan pada umumnya juga akan memberikan rasa “respect” kepada guru sebagaimana norma-norma ketimuran di negara kita yang masih menjunjung tinggi profesi guru. Oleh karena itu, kita sendiri harus mensyukuri itu dan jangan kita datang ke perusahaan hanya untuk terjebak pada kerja-kerja yang bersifat teknis semata.

Guru datang untuk magang dengan misi untuk melihat sejauh mana penerapan teori di sekolah dengan aplikasi yang kini tengah berkembang di perusahaan. Oleh karena itu, sebaiknya masuk ke perusahaan di bagian yang sesuai dengan bidang keilmuan atau kompetensi yang pernah dipelajari oleh guru tersebut. Nantinya sang guru akan dapat mengajarkan kembali kepada murid-muridnya tentang bagaimana perkembangan ilmunya di perusahaan. 

Jadi, guru datang bukan untuk kerja teknis tapi lebih ke observasi dan menggali informasi untuk selanjutnya memberikan laporan yang bermakna kepada murid-murid, rekan sejawat, pihak sekolah maupun pihak direktorat yang telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Magang guru harus memberikan manfaat bagi kemajuan kurikulum sekolah.

  • Jangan membatasi kreasi guru dalam memberikan laporan Magang.

Sebelum menjalani program magang di perusahaan, saya juga pernah menjalani program magang guru di Australia bersama serombongan guru dari Provinsi Jawa Barat. Sebelum berangkat, kami dikumpulkan di sebuah hotel dekat bandara dan seorang pejabat dari dinas proponsi berkata: Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, setelah selesai magang nanti jangan lupa menuliskan laporannya ya? Begitu ujarnya. Beliau tidak memberikan aturan baku secara teknis bagaimana laporan yang harus disusun, namun intinya kami harus membuat laporan kepada pihak atasan yang telah memberikan biaya dengan jumlah besar.

Sebagai seorang guru tentu kita tidak ingin selalu disuapi untuk bertanya bagaimana sebuah laporan harus disusun. Kami semua berkeasi dan ternyata laporan begitu variasi dan bagus-bagus. Saya sendiri menulis laporan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Jadi intinya, laporan tidak harus kaku. Laporan yang baik justru yang mengundang orang lain untuk sudi meluangkan waktu membacanya.

Mengacu pada pengalaman saya magang ke Australia itu juga yang menjadi alasan kenapa saya kurang setuju dengan keterbatasan ruang untuk memberikan laporan. Di sekolah saya sendiri pun jurnal magang guru tampak seolah-olah guru sama dengan siswa, yakni hanya satu kotak sempit tempat yang harus diisi yang terkesan guru mengerjakan hal yang monoton di perusahaan. Tentu halaman laporan yang seperti ini tidak menarik untuk dibaca.

Apakah guru dibatasi untuk memaksimalkan kemampuan menulis mereka? Di mana guru harus menunjukkan kemampuan mereka untuk memberikan saran dan masukan? Bukankah seorang guru harus selalu didorong untuk selalu mampu menulis? Itulah makanya selalu ada lomba menulis untuk guru, menulis PTK untuk guru dan kemampuan menulis lainnya.

Jika sebuah format dengan kotak sempit diberikan untuk guru, lantas kapan kemampuan menulis guru itu akan berkembang? Mungkin hal-hal itu yang sempat saya perdebatkan pada saat saya magang di PT. Melu Bangun Wiweka yang berlokasi di Tambun, Kabupaten Bekasi. Tulisan ini tidak bermaksud mengkritik siapa pun (termasuk sang konseptor jurnal magang yang saya miliki), akan tetapi lebih kepada memberi masukan kepada sekolah-sekolah yang mungkin saat ini sedang melaksanakan magang guru sebab tidak hanya SMKN 2 saja yang menjalani program ini.

Mengenai laporan magang guru ini, memang harus kita akui bahwa tidak semua orang mau menulis. Sebenarnya semua orang memiliki potensi atau kemampuan, yang kurang hanyalah “kemauan”. Jika saya selalu melaporkan kegiatan magang dalam bentuk karangan, mungkin karena saya memiliki sedikit “hobi” yang ditunjang dengan kesempatan di sela-sela waktu saya melakukan observasi mendalam.

Pembimbing saya (Bapak Dedi)sudah paham benar ke mana arah magang guru ini akan dibawa. Beliau sangat kooperatif dan ideal untuk dijadikan contoh penerapan magang guru untuk jurusan Akuntansi dan Perpajakan. Beliau selalu memberikan saya waktu untuk menulis laporan, observasi langsung ke bagian accounting dan terlibat dalam pekerjaan di sana. Magang di perusahaan ini jauh dari kerja teknis melainkan optimalisasi kemampuan guru di bidang keilmuan yang kita ampu.

Magang guru memang cukup sekadar tahu kemudian kita ambil pelajaran dari pekerjaan itu agar dapat dijadikan modal dasar bagi pola pengembangan mengajar di sekolah. Contoh model magang guru yang saya lakukan adalah sebagai berikut: saya diberikan kesempatan untuk melakukan kerja teknis terkait dengan faktur pajak. Saya input sendiri faktur-faktur tersebut ke dalam komputer yang link dengan internet. Setelah saya paham, tidak semua faktur harus saya selesaikan, tapi saya cukup mengetahui cara kerja mengisi pajak elektronik lalu setelah itu menulis laporan dari apa yang sudah saya kerjakan. 

Jika saya harus mengerjakan semua pekerjaan teknis itu hingga selesai, kapan waktu saya untuk mengobservasi hal-hal lain? Kapan pula waktu untuk menuliskan laporan dan lain sebagainya. Contoh lain lagi yakni ketika saya melihat pekerjaan yang menggunakan komputer akuntansi dengan MYOB, lalu saya bertanya kemampuan MYOB yang bagaimana yang menunjang bagi pekerjaan seorang akuntan di sebuah perusahaan? Sejauh mana perkembangan MYOB di perusahaan? 

Dalam hal yang terkait dengan materi perpajakan, saya mencari tahu bagaimana cara mudah untuk menghitung pajak di perusahaan? Apa isu terkini yang berkembang terkait dengan peraturan perpajakan? Hal-hal seperti itu nantinya akan kita tulis dalam laporan kita. Laporan tersebut kemudian dibukukan, mungkin kita jadikan referensi di perpustakaan agar bisa dibaca oleh orang lain.

Begitulah kira-kira gambaran pola magang guru di perusahaan jika dibandingkan dengan pola magang siswa yang telah dijalankan selama ini. Tentu saja yang saya jalani juga tidak sempurna, tapi paling tidak kita harus menjauhkan image yang mengatakan magang guru adalah kerja teknis. Bukan sama sekali. Magang guru adalah kerja konsep. Kerja analisis di lapangan bagaimana kita berpikir untuk memajukan kurikulum sekolah agar “match” dengan perkembangan dunia usaha saat ini.

Itulah sebabnya baru-baru ini diadakan program “sinkronisasi kurikulum” di SMKN 2 Cikarang Barat. Diharapkan kegiatan ini tidak hanya untuk “gugur” kewajiban dan meng-SPJ-kan laporan semata, namun untuk mengubah pola pikir bahwa guru magang bukan untuk kerja teknis melainkan untuk belajar. Saya yakin sesibuk apa pun orang-orang di perusahaan, akan ada orang yang senang berbagi ilmu dengan orang lain (seperti Pak Dedi di PT. Melu Bangun Wiweka ini). Ada perasaan bangga ketika orang mau berbagi ilmu dengan orang lain. Bukankah amal membagikan ilmu itu akan terus mengalir hingga akhir hayat nanti?

Penulis adalah salah satu staf pengajar di SMKN 2 Cikarang Barat Kab. Bekasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun