Apakah guru dibatasi untuk memaksimalkan kemampuan menulis mereka? Di mana guru harus menunjukkan kemampuan mereka untuk memberikan saran dan masukan? Bukankah seorang guru harus selalu didorong untuk selalu mampu menulis? Itulah makanya selalu ada lomba menulis untuk guru, menulis PTK untuk guru dan kemampuan menulis lainnya.
Jika sebuah format dengan kotak sempit diberikan untuk guru, lantas kapan kemampuan menulis guru itu akan berkembang? Mungkin hal-hal itu yang sempat saya perdebatkan pada saat saya magang di PT. Melu Bangun Wiweka yang berlokasi di Tambun, Kabupaten Bekasi. Tulisan ini tidak bermaksud mengkritik siapa pun (termasuk sang konseptor jurnal magang yang saya miliki), akan tetapi lebih kepada memberi masukan kepada sekolah-sekolah yang mungkin saat ini sedang melaksanakan magang guru sebab tidak hanya SMKN 2 saja yang menjalani program ini.
Mengenai laporan magang guru ini, memang harus kita akui bahwa tidak semua orang mau menulis. Sebenarnya semua orang memiliki potensi atau kemampuan, yang kurang hanyalah “kemauan”. Jika saya selalu melaporkan kegiatan magang dalam bentuk karangan, mungkin karena saya memiliki sedikit “hobi” yang ditunjang dengan kesempatan di sela-sela waktu saya melakukan observasi mendalam.
Pembimbing saya (Bapak Dedi), sudah paham benar ke mana arah magang guru ini akan dibawa. Beliau sangat kooperatif dan ideal untuk dijadikan contoh penerapan magang guru untuk jurusan Akuntansi dan Perpajakan. Beliau selalu memberikan saya waktu untuk menulis laporan, observasi langsung ke bagian accounting dan terlibat dalam pekerjaan di sana. Magang di perusahaan ini jauh dari kerja teknis melainkan optimalisasi kemampuan guru di bidang keilmuan yang kita ampu.
Magang guru memang cukup sekadar tahu kemudian kita ambil pelajaran dari pekerjaan itu agar dapat dijadikan modal dasar bagi pola pengembangan mengajar di sekolah. Contoh model magang guru yang saya lakukan adalah sebagai berikut: saya diberikan kesempatan untuk melakukan kerja teknis terkait dengan faktur pajak. Saya input sendiri faktur-faktur tersebut ke dalam komputer yang link dengan internet. Setelah saya paham, tidak semua faktur harus saya selesaikan, tapi saya cukup mengetahui cara kerja mengisi pajak elektronik lalu setelah itu menulis laporan dari apa yang sudah saya kerjakan.
Jika saya harus mengerjakan semua pekerjaan teknis itu hingga selesai, kapan waktu saya untuk mengobservasi hal-hal lain? Kapan pula waktu untuk menuliskan laporan dan lain sebagainya. Contoh lain lagi yakni ketika saya melihat pekerjaan yang menggunakan komputer akuntansi dengan MYOB, lalu saya bertanya kemampuan MYOB yang bagaimana yang menunjang bagi pekerjaan seorang akuntan di sebuah perusahaan? Sejauh mana perkembangan MYOB di perusahaan?
Dalam hal yang terkait dengan materi perpajakan, saya mencari tahu bagaimana cara mudah untuk menghitung pajak di perusahaan? Apa isu terkini yang berkembang terkait dengan peraturan perpajakan? Hal-hal seperti itu nantinya akan kita tulis dalam laporan kita. Laporan tersebut kemudian dibukukan, mungkin kita jadikan referensi di perpustakaan agar bisa dibaca oleh orang lain.
Begitulah kira-kira gambaran pola magang guru di perusahaan jika dibandingkan dengan pola magang siswa yang telah dijalankan selama ini. Tentu saja yang saya jalani juga tidak sempurna, tapi paling tidak kita harus menjauhkan image yang mengatakan magang guru adalah kerja teknis. Bukan sama sekali. Magang guru adalah kerja konsep. Kerja analisis di lapangan bagaimana kita berpikir untuk memajukan kurikulum sekolah agar “match” dengan perkembangan dunia usaha saat ini.
Itulah sebabnya baru-baru ini diadakan program “sinkronisasi kurikulum” di SMKN 2 Cikarang Barat. Diharapkan kegiatan ini tidak hanya untuk “gugur” kewajiban dan meng-SPJ-kan laporan semata, namun untuk mengubah pola pikir bahwa guru magang bukan untuk kerja teknis melainkan untuk belajar. Saya yakin sesibuk apa pun orang-orang di perusahaan, akan ada orang yang senang berbagi ilmu dengan orang lain (seperti Pak Dedi di PT. Melu Bangun Wiweka ini). Ada perasaan bangga ketika orang mau berbagi ilmu dengan orang lain. Bukankah amal membagikan ilmu itu akan terus mengalir hingga akhir hayat nanti?
Penulis adalah salah satu staf pengajar di SMKN 2 Cikarang Barat Kab. Bekasi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI