Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jangan "Bunuh" Nadin Amizah

20 Januari 2021   12:16 Diperbarui: 20 Januari 2021   12:25 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keras kepalaku sama denganmu
Caraku marah, caraku tersenyum
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu

Itu bagian ulangan dari lagu yang berjudul "Bertaut", yang dinyanyikan anak saya setiap terjadi sedikit perdebatan, kejadian itu masih hangat terjadi menjelang pergantian tahun baru.  Karena kuping saya tidak terlalu akrab dengan lagu tersebut saya tidak mencari tahu siapa penyanyinya. Meskipun lama-lamaan bibir ini ikut pas bagian ulangannya itu. Ketika menyetir sendirian dan diputar di sebuah radio ternama di Jakarta.  Inilah lagu utuhnya:

Sampailah viralnya sebuah nama Nadin Amizah. Barulah ngeh bahwa dia penyanyi "Bertaut", yang sering dinyanyikan putri saya untuk mengeritik bapaknya yang "keras kepala".

Ketika sudah utuh mendengarkan lagu itu, saya teriak hey bukan Bapak yang "keras kepala" yang digambarkan di lagu itu tetapi Ibu. Hahahaha.

Kembali ke laptop, ucapan Nadin yang kemudian viral karena menyakiti gomis, golongan miskin itu adalah:  "Jadilah orang kaya, karena kalau kamu kaya, kamu akan lebih mudah menjadi orang baik. Saat kita jadi miskin rasa benci terhadap dunia besar sampai gak punya waktu untuk iri".

Saya bisa menyebutkan gomis karena saya pernah satu tahun bergaul dengan golongan ini. Ternyata mereka punya hirarki tersendiri.  Ada pemimpinnya yang sangat dihormati.  Dipimpin seorang pemulung yang wajahnya biasa saja tetapi punya kharisma karena pandai berdiplomasi dengan para aparat, ketika mereka mengadakan pesta dangdutan dan sedikit melibatkan miras.

Belajar di Antropologi antara lain bisa memahami hal-hal semacam ini.

Secara bahasa seperti yang dengan rancak diulas Master Bahasa Daeng Khrisna Pabichara, bahwa pernyataan Nadin itu untuk berbuat baik ukurannya semata-mata hanya materi, padahal banyak yang bisa dilakukan untuk berbuat baik. Bahkan memberikan senyum adalah sebuah kebaikan.  Namun ulasan dari Master Sosiologi dan Antropologi Mas Felix Tani, menjawabnya dengan tepat, bahwa generasi milineal ini korban kebijakan pembangunan sejak tahun 1970 yang lebih mengutamakan pembangunan sektor ekonomi.  Tulisannya menggambarkan dengan baik dan menyebutnya sebagai monodimensi (faktor ekonomi saja). Ulasan yang holistik, khas pendekatan ilmu Antropologi.

Ulasannya jadi menarik, meskipun di sekolah diajarkan berbagai kecerdasan tapi faktor lingkungan menjadi lebih dominan untuk mempengaruhi pola pikir seorang individu.

Nadin dan Reggy

Peristiwa ucapan Nadin sebenarnya sekian puluh tahun yang lalu sudah saya dengar, sebagai obrolan guru dengan siswanya.

Siapa Reggy? Kenalkan Reggy adalah nama samaran siswa saya yang telah lulusan dua puluh tahun lebih.  Ketika ditanya ingin jadi apa setelah selesai sekolah. Ia menjawab dengan mantap ingin jadi pengusaha. Mengapa pengusaha? Supaya bisa berbuat baik pada orang lain.  Bandingkan dengan ucapan Nadin, seolah-olah profesi lain tidak berbuat baik.  Saya sebagai guru tersinggung karena saya merasa sayalah orang baik karena menularkan ilmu pada sekian banyak siswa.  Petani tersinggung karena dialah beras terhantarkan di meja makan kita.  Tentara tersinggung karena dia berbuat baik menjaga negara tetap aman, ada banyak profesi yang tersinggung.  Memang pengusaha saja yang bisa berbuat baik?

Lalu pada keadaan yang lebih santai Reggy menjelaskan bahwa orang tuanya tidak menginginkan anak-anaknya  menjadi pegawai negeri sipil, atau pegawai pada perusahaan apapun. Ia menginginkan anaknya menjadi pengusaha. Mengapa?  Jawabannya supaya bisa memberdayakan banyak orang. Oh maksud baiknya ini. Dia melanjutkan dengan menjadi pengusaha, jika punya 10 karyawan dengan tanggungan masing-masing 3 orang (istri dengan dua anak), berarti ada 40 orang yang bisa diberdayakan.

Semakin besar usahanya semakin banyak orang yang bisa diberdayakan, bukan bergantung kepadanya. Pilihan kata dan penjelasan sangat menentukan.

Bagi saya penjelasan Nadin di acara siniar Deddy Corbuzier, lebih menggambarkan keterbatasan kosa kata, kepeleset lidah, karena suasana wawancara secara psikologis jelas berbeda. Di sini saya paham beberapa pejabat menyeleksi dulu pertanyaan dari wartawan setiap akan diwawancara, dan kalau pun salah para benteng (jangan dibaca centeng) pembelanya siap meluruskan.

Berbeda ketika wawancara dilakukan secara mendadak, sering diluruskan kemudian, dan itu banyak terjadi di negara kita.

Ingat bagaimana para pejabat kita mengatakan bahwa corona tidak akan masuk ke Indonesia, semua pernyataan sebenarnya mengarah pada satu hal takut ekonomi terpuruk.

Belajar dari situ, rasanya Nadin harus masuk kategori dimaafkan, pertama masih muda dan kesempatan memperbaiki diri masih panjang, kedua banyak kesalahan yang lebih berat daripada Nadin.  Jadi jangan "bunuh" Nadin. Dihampura saja.

Nasehat Seorang Ibu

Pada hari ketika Nadin viral, saya membaca nasehat seorang ibu kepada anaknya yang mengembangkan usaha rumahan. Nasehatnya 3M, bukan 3M karena pandemi.

Pertama Jaga Mood, jangan baperan baik anda pengusaha, penulis, guru, dosen, ibu rumah tangga dan profesi apapun (maaf kalau tidak disebutkan). Sebab kalau moodnya hilang, bisa ancur minah. Masakan jadi kurang greget, Guru mengajarnya penuh emosi kemarahan.

Kedua jaga Mouth, apalagi di jaman viral (tetelepta_Sunda). Pepatah kita kaya dengan sekitaran mulut, hati-hati lidah tak bertulang, mulutmu harimaumu. Ucapan yang benar saja bisa diedit, apalagi yang sudah jelas salah.  Ingat betapa terbelahnya masyarakat kita saat pilpres, antara lain banyak video editan yang sengaja disebarkan untuk memperburuk keadaan.

Ketiga, Move, selalu jaga silaturahmi kita. Tidak ada salahnya meminta maaf daripada memperpanjang masalah.  Tidak salah juga untuk memaafkan. Kesalahpahaman akan selalu terjadi dalam kehidupan kita, meskipun sulit, jadilah bagian yang memberikan solusi.  Hal ini rupanya telah dilakukan oleh ayahnya Nadin.

Jadi berikan kesempatan Nadin untuk "hidup" dengan karirnya.  Jangan "bunuh" tunas yang masih berkembang.  Hampura.

Salam sehat.

Ucapan terima kasih:

Kepada Renna R., yang sudah mengijinkan nasehat Mamanya dibagikan.

Sumber gambar:

Gambar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun