Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

PJJ dan Kasus Bunuh Diri Pelajar, Sebuah Tinjauan Sosiologis dan Keagamaan

4 November 2020   14:01 Diperbarui: 4 November 2020   15:37 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bunuh Diri dalam Kajian Agama

Berdasarkan kajian Durkheim tingkat bunuh diri dalam masyarakat yang beragama Katolik lebih rendah dibandingkan dengan Protestan.  Hal ini karena tingkat kolektivitas penganut Katolik sangat kuat dibandingkan dengan penganut Protestan.  Artinya saat ada anggota yang sakit semua seolah merasakan sakit, tingkat emphatinya demikian kuat terjalin.  Sehingga sebagai individu dia tidak merasa sendirian.

Dalam Agama Islam pun demikian, bunuh diri adalah dosa besar.  Kebetulan hari Jumat yang lalu khutbahnya bertema bunuh diri. Bunuh diri berarti mendahului takdir Allah, artinya putus asa dari pertolongan Allah.  Pelaku bunuh diri akan dihukum secara berulang dengan sesuatu yang membunuhnya. 

“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan besi, maka besi itu kelak akan berada di tangannya dan akan dia gunakan untuk menikam perutnya sendiri di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-lamanya. Barangsiapa bunuh diri dengan minum racun, maka kelak ia akan meminumnya sedikit-demi sedikit di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-lamanya. Barangsiapa yang bunuh diri dengan menjatuhkan dirinya dari atas gunung, maka dia akan dijatuhkan dari tempat yang tinggi di dalam neraka Jahannam, kekal di sana selama-selamanya”

(HR. Bukhari no. 5778, Muslim no. 109).

Itulah yang saya dapat dikhutbah Jum’at minggu lalu.  Tetapi sebuah ajaran akan hidup manakala kesadaran kolektivitas masyarakat untuk saling menguatkan, saling menolong seseorang yang sedang kesulitan dapat menguatkan mentalnya untuk tidak melakukan hal-hal yang buruk dalam hidupnya.
Peran orang tua dan orang dewasa di sekitar harus mampu menjadi penguat ketika seseorang dilanda kesulitan.  Sebab perilaku bunuh diri dalam banyak kasus diawali dengan sikap depresi, mulai mengasingkan diri dari lingkungan (dalam dirinya merasa diasingkan, tidak berguna, tidak memiliki teman).

Kita berdoa krisis yang kita alami segera berlalu. Saya yakin masyarakat Indonesia akan mampu melewatinya, karena memiliki sikap gotong royong. Semoga! 

Sumber Bacaan Pendukung:

Biroli, Alfan 2018 Bunuh Diri Dalam Perspektif Sosiologi, SIMULACRA, Volume 1, Nomor 2

Bunuh Diri Bukan Mengakhiri Kehidupan, muslim.or.id. 4 November 2020, 4 November 2020 https://muslim.or.id/29578-bunuh-diri-bukan-mengakhiri-kehidupan.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun