Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Perempuanku, Aku Ayahmu (Tulisan untuk Kedua Putriku)

26 Oktober 2020   19:19 Diperbarui: 29 Oktober 2020   07:01 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi orang tua adalah mendapat kepercayaan dari Yang Maha Kuasa.  Ketika Yang Maha Kuasa menganugerahkan anak kepada kita artinya kita dipercaya bisa mendidik dan menjaga mereka.  Tetapi menjadi orangtua bagi anak perempuan adalah sebuah kehormatan lebih dari Yang Maha Kuasa.  Menjaga mereka juga adalah menjaga kehormatan keluarga, dan masa depan mereka.   

Ayah dengan anak laki-laki akan ketemu logika dengan logika, dengan anak perempuan harus mampu mengasah rasa.  Logika bertemu logika+perasaan.  Inilah kelebihannya, dalam ajaran Islam Nabi Muhammad menyatakan barangsiapa mengurus anak perempuannya dengan baik wajib balasannya surga.  Ini dapat berarti mendidik anak perempuan jauh lebih banyak tantangannya.

Ada pepatah mengatakan karena penciptaan perempuan diambil dari rusuk laki-laki yang bengkok ketika salah memperlakukan anak perempuan maka tulangnya akan patah atau tambah bengkok.  Artinya sifatnya bisa lembut atau keras tergantung cara kita memperlakukan mereka.  Secara siklus biologis saja memang berbeda.  Di sini pengetahuan tentang mood anak perempuan harus dipahami oleh seorang ayah.  Saya sering mendapati anak perempuan saya, ketika  hatinya sedang gembira, luar biasa produktivitasnya.  Tetapi ketika datang rasa malas (menurut persepsi laki-laki), anak perempuan inginnya lama di tempat tidur, malas ke kamar mandi dan perilaku lainnya yang kurang dipahami laki-laki (tidak mau paham).

Judul tulisan ini untuk menegaskan bahwa menjadi ayah bagi anak perempuan harus siap melindungi, harus siap melepas di saat yang tepat.  Kapan saat yang tepat, saat menemukan jodoh yang dapat melindungi, menyayangi mereka seperti kita memperlakukan mereka.  Aamiin.

 

Menjadi Ayah yang Baik dengan Prinsip Tanggung Jawab dan Kesetiaan

Dua mahkota laki-laki di mata perempuan adalah tanggung jawab dan kesetiaan.   Mudah mengucapkan tetapi ini hal berat.   Tanggung jawab seorang ayah dalam Agama Islam pada anak perempuannya, dikutip dari NU online memberi nama yang baik, mendidik dan menikahkan.  Mendidik mengandung arti yang sangat luas, mengajarkan ilmu (disekolahkan), menanamkan nilai-nilai yang baik, baca tulis Alqur'an, dan nilai kebaikan lainnya. 

Tetapi yang sering lupa adalah fokus pada prosesnya.  Seorang ayah yang saya kenal, berkata "selama saya masih bisa menjemput putri saya, saya akan lakukan".  Itu coba saya tiru dan terapkan, sangat melelahkan.  Suatu saat saya ada kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan, sementara anak putri saya harus pulang ke kos-an di daerah Depok dengan bawaan yang banyak, tiba-tiba dia mengatakan "Pak yang penting sekarang masing-masing dari kita bisa menjaga diri dengan baik, percaya Uni bisa berangkat sendiri".  Bahagia sekaligus terharu.  Saya membayangkan sadisnya penumpang di KRL Bogor-Jakarta.  Pada akhirnya harus mulai mengikhlaskan.

Dari sekian perjalanan mengawal kedua putri saya, pasti ada rasa lelahnya dan kemudian sedikit mengomel.  Banyak yang kadang tidak sesuai rencana.  Contohnya ketika hujan.  Saya sudah enak beristirahat, putri saya juga sesuai rencana bisa pulang tidak terlalu malam.  Dalam keadaan hujan lebat dan rasa lelah (karena sudah keadaan wuenak) harus menjemput.  Itulah proses, tidak semudah mengatakan.  Pada akhirnya harus kita nikmati. Itulah tanggung jawab. 

Dalam kasus putri kedua,  tiba-tiba mogok kuliah karena tidak sesuai dengan keinginannya.  Awalnya dia mau kuliah karena merasa bersalah tidak masuk SBMPTN.  Sementara saya gembira karena jurusannya sebenarnya bisa menjamin masa depan dia - padahal Yang Maha Kuasa yang menjamin masa depan - karena jurusannya berkaitan dengan keuangan.  Kemudian sekolah lanjutannya (magisternya) sudah tersedia.  Tetapi tiba-tiba mogok. Sebagai guru antara mengiyakan dan berhitung finansial tentunya menjadi pertimbangan utama.  Akhirnya keputusan harus diambil dengan didukung istri, putri saya keluar dari kuliahnya.  Kami sepakat untuk tidak saling mengungkit. 

Betapa alotnya diskusi kami sebelum putri kami keluar kuliah. Beberapa tanggung jawab yang harus dia pikul setelah keluar dari kuliah, belajar sungguh-sungguh, ikut bimbel secara intens, tidak banyak main dulu. Alhamdulillah, saat ini putri kedua kuliah di jurusan yang dia senangi, bahasa kerennya sesuai dengan passionnya. Itulah bentuk tanggung jawab dan mengajarkan tanggung jawab.  Sebenarnya ini juga bentuk pertanggungjawaban saya selaku ayahnya, karena putri kedua saya masuk SD pada usia 5.5 tahun.  Meskipun berat karena pertimbangan finansial ketika meminta berhenti dari kuliah, tetapi saya menyadari dulu dia setengah dipaksa masuk sekolah lebih dini, karena kesulitan mencari asisten rumah tangga.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun