Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Hore Upah Guru Dibayar Per Jam

20 Oktober 2020   22:22 Diperbarui: 20 Oktober 2020   22:27 4133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasib Guru Honor via kumpara.com

Salah satu pasal yang ramai dipertanyakan dalam unjuk rasa menentang  Omnibus Law adalah pengupahan berdasarkan satuan waktu atau jam.  Pasal itu adalah Pasal 88B yang berbunyi: Upah ditetapkan berdasarkan: satuan waktu; dan/atau satuan hasil.   

Menurut Menteri Perindustrian upah yang dibayarkan berdasarkan jam salah satunya adalah pelayanan di bidang jasa.  Mengajar adalah jasa. Kalau benar demikian, maka guru harusnya menjadi orang yang berbahagia.  

Kalau seorang guru mendapatkan tugas 24 jam seminggu artinya dalam sebulan guru akan mendapat 24 x 4 x upah per jam.  Tidak akan ada lagi keluhan kerja sebulan dibayar seminggu.  Silakan googling, begitu memasukan hitungan jam guru, maka akan banyak keluar kerja sebulan dibayar seminggu. 

Guru harus menyambut dengan suka cita pasal tersebut, karena akan berdampak pada kesejahteraan, sekaligus merombak sistem penggajian yang ada. Tapi tunggu dulu karena masih menunggu peraturan pelaksanaannya. Selain itu klaster pendidikan sudah dikeluarkan dari UU Omnibus Law, meskipun tetap ada yang termuat.  

Katanya itu pendidikan untuk kawasan ekonomi khusus. Tetap saja jasa pendidikan menjadi jasa bisnis. Tapi saya tetap berandai-andai saja, karena menghargai profesi guru, pemerintah menetapkan batas bawah upah per jam bagi guru dengan layak, misalnya 50 ribu/jam, maka 24 x 4 x Rp 50.000 akan mendapatkan 4.8 juta/bulan, jumlah yang cukup untuk menjalani hidup dengan sangat sederhana.  

Dengan upah sebesar itu guru tidak boleh lagi kerja bercabang, fokus di satu sekolah. Kalau pun mencari tambahan harus sesudah pembelajaran secara keseluruhan selesai.  Dengan penetapan upah bawah minimal bagi kelayakan guru akan mencegah para pengelola sekolah mendirikan sekolah tanpa perencanaan yang tepat.  

Sebaliknya pasal 88B ini banyak ditentang oleh kaum buruh, karena bisa saja harga upah per jam ditekan sedemikian oleh pengusaha agar mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya.  

Pertanyaannya apakah hal itu juga akan diberlakukan oleh para pengelola sekolah?  Ini menjadi menarik karena dengan demikian pendidikan menjadi jasa bisnis pengajaran semata.  

Padahal guru di Indonesia selain mengajar juga harus mendidik moral atau dikenal dengan pendidikan karakter.  Guru tetap dituntut untuk menjadi role model keteladanan bagi para penerus bangsa.  Nah role model keteladanan ini akan dibayar berapa, karena tidak bisa dikuantifikasi sebagai upah per jam.  

Sebagai gambaran saat ini guru honorer  SMA/K di Jawa Barat telah menerima Rp 85.000/jam dengan maksimal mengajar 24 jam seminggu, jika mengajar lebih dari 24 jam per minggu, kelebihannya bisa dibayarkan dari uang komite, tentunya tergantung kebijakan masing-masing sekolah. 

Tahun ini kelebihannya tidak bisa dibayarkan lagi dari uang komite, karena tidak boleh lagi memungut uang bulanan atau iuran bulanan. Penghargaan 85 ribu per jam sebenarnya merupakan peningkatan yang sangat besar, karena sebelumnya dibayar ala kadarnya, ada yang 300 ribu, 500 ribu sebulan dan paling tinggi satu juta per bulan. 

Dengan asumsi 24 jam per minggu maka seorang guru honorer  mendapat Rp 2.040.000 dalam sebulan, jauh lebih baik dari sebelumnya, tetapi kalau mengacu pada hitungan upah per jam maka ada sebanyak 72 jam yang tidak dibayar karena sesuai hitungan di atas, pekerjaan sesungguhnya adalah 24 jam per minggu x 4 atau setara 96 jam.  

Seandainya murni berdasarkan hitungan jam per bulan maka gaji guru honor di Jawa Barat  akan mendapatkan 4 x 2.040.000 = Rp 8.160.000, jumlah yang sangat cukup selama upah per jamnya tidak diutak-atik.  Kalau berdasarkan hitungan sekarang per jam sebenarnya hanya Rp 21.250 per jam, yaitu hasil pembagian 2.040.000 dibagi 96 jam.  

Bandingkan dengan mengajar di lembaga bimbingan belajar sejamnya (45 menit) dibayar minimal  Rp 75.000,  mengajar biasanya dua jam pelajaran atau 90 menit sehingga mendapat upah 150 ribu, jika ada dua kelas tinggal mengalikan saja.  

Honor Rp 85.000 per jam berlaku untuk yang mengajar di sekolah negeri, bagaimana dengan yang di swasta yang beban kerjanya sama saja. Nilai upahnya bervariasi, masih ada yang 15.000 per jam, 25.000 per jam, 50.000 per jam sampai dengan 75.000 per jam tergantung kemampuan sekolah swastanya.  Ada yang perhitungannya satu paket dengan transpor, ada yang terpisah.  Artinya kalau tidak masuk maka dia tidak mendapatkan honor sesuai hari tidak masuknya. Oleh karena itu guru dituntut untuk senantiasa sehat.  

Guru tidak masuk sekolah menimbulkan banyak konsekuensi, menimbulkan kegaduhan bagi kelas lain, siswa berpeluang menyalahgunakan jam pelajaran dengan menonton film, berantem karena iseng, bahkan perbuatan terlarang seperti porno aksi.  

Beberapa video kekerasan atau perilaku meyimpang yang viral terjadi di kelas yang gurunya tidak hadir.  Waktu saya SMA biasanya kalau guru berhalangan hadir, maka menjadi tugas piket untuk mengisi jam kosong tadi, tidak hanya diberikan tugas semata. Guru piket mungkin akan bertambah motivasinya karena ada upah per jamnya.   

Guru Harus Ikhlas

Menjadi guru sebenarnya sangat menyenangkan. Jam masuk kerja jelas, pulang juga jelas.  Bertemu dengan beragam siswa, memperpanjang tali silaturahmi. Sayangnya ada dikotomi pendidik yaitu guru negeri dan guru swasta.  Peran dan tugas mereka sama.  Tetapi penghasilan dan kejelasan status menjadi perbedaan yang mencolok.  

Menjadi guru memang tidak untuk kaya, hanya sebagian kecil guru yang kaya, tapi yang jelas setiap guru yang masih memenuhi kualifikasi selalu berupaya untuk bisa menjadi guru negeri.  Sehebat apapun sekolah swasta, setiap ada pembukaan untuk menjadi ASN, guru-guru selalu berusaha untuk ikut seleksi.  Saya mengalami hal-hal semacam itu berkali-kali ketika dipercaya menjadi pimpinan sekolah.  

Ternyata pengalaman itu dialami beberapa sekolah ternama, sampai ketika melakukan studi banding ke salah satu kota pendidikan di Indonesia, mereka akhirnya memakai sistem kontrak per lima tahun dengan penghasilan yang lumayan, agar guru-guru terbaiknya tidak ikut seleksi menjadi guru negeri.  

Dengan kontrak itu seandainya guru ikut seleksi dan diterima harus mengembalikan uang penghasilan sesuai isi perjanjian kontrak.  Tetapi ternyata tetap saja ada yang ikut seleksi menjadi guru negeri meskipun harus mengembalikan uang penghasilan sesuai perjanjian yang telah disebutkan tadi.  

Mengapa?  Ternyata penghasilan guru negeri memang saat ini sangat menjanjikan, apalagi yang sudah bersertifikasi.  Penghasilannya menjadi tiga sumber yaitu gaji bulanan ditambah tunjangan sertifikasi dan tunjangan dari daerah.  Selama negara ada penghasilan mereka akan stabil, masa tua mendapat uang pensiun.  

Itu antara lain motivasi sehingga guru-guru swasta yang memenuhi kualifikasi selalu berusaha menjadi guru negeri. Bagaimana sekolah swasta?  

Penghasilannya tergantung siswa yang masuk ke sekolah itu, kejujuran pengelola dan banyak hal lainnya lagi.  Padahal berdasarkan penelitian, banyak sekolah swasta yang justru jadi katup pengaman bagi keluarga yang tidak mampu.  Ini karena sekolah swasta terbagi tiga yaitu swasta elit, swasta menengah  dan swasta alit (kecil).  Swasta alitlah di kota-kota besar menjadi katup pengaman bagi keluarga tidak mampu.

Jargon pendidikan salah satunya adalah sikap ikhlas, saya sangat yakin pastinya saat transfer ilmu para guru sangat ikhlas, karena ini modal menjadi guru.  Tetapi konsep ikhlas ini seharusnya tidak berkaitan dengan hak dasar guru untuk melanjutkan kehidupannya dengan layak.  Justru konsep ikhlas harus menjadikan kaya pihak lain.  Saya ilustrasikan ketika seorang guru mendapatkan penghasilan yang layak, maka ia bisa menyisihkan pendapatannya untuk zakat, menggaji asisten rumah tangga, maka keikhlasannya bertumbuh.    

Seorang teman guru dari sebuah sekolah swasta ternama mengatakan, saya alhamdulillah bekerja di sekolah swasta yang bisa memberi upah yang layak, tetapi saya prihatin masih ada guru-guru yang mendapat upah jauh dari kelayakan.  Dia melanjutkan memang membeli bahan pokok bisa dengan ikhlas?  

Mungkinkah ketika ke toko bahan pokok seorang guru mengatakan “Pak saya guru, saya mengajar siswa dengan ikhlas, bapak bisa tidak menjual beras bapak dengan ikhlas?”. Guru juga ingin menyekolahkan anaknya di sekolah yang bermutu, “Pak saya guru, bolehkah saya menyekolahkan anak saya dan diterima dengan ikhlas, karena saya juga bekerja dengan ikhlas mengajar siswa di sekolah saya?”  Pastinya akan ditertawakan. 

Pantas saja jarang ada toko yang bernama toko ikhlas, karena nanti malah segala sesuatunya minta dijual dengan ikhlas.

Mudah-mudahan siapapun pemerintahnya, nasib dan kehidupan guru mendapatkan jaminan hidup yang layak.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun