Mohon tunggu...
Syabar Suwardiman
Syabar Suwardiman Mohon Tunggu... Guru - Bekerjalah dengan sepenuh hatimu

Saya Guru di BBS, lulusan Antrop UNPAD tinggal di Bogor. Mari berbagi pengetahuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Banyak Bu Tejo di Sekitar Kita atau Jangan-jangan Kita juga Bu Tejo

30 Agustus 2020   12:00 Diperbarui: 30 Agustus 2020   18:06 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adalah Bu Tejo dalam film pendek “Tilik” yang mengilhami tulisan ini.  Betapa banyak Bu Tejo di lingkungan kita, atau jangan-jangan Bu Tejo (termasuk bapak-bapaknya ) itu adalah diri kita sendiri.  

Sehabis rapat untuk membangun sebuah fasilitas umum di sebuah kampung dan kemudian dilanjutkan obrolan informal.  Seorang bapak menyebut nama seorang bapak yang tidak diundang dalam pertemuan rapat itu, lebih tepat sebenarnya seorang kakek, sebutlah namanya Pak Je yang baru sekitar hitungan bulan ditinggal mati oleh istrinya.

Eh Pak Je udah nikah lagi ya?”

Udah minggu kemarin, tetapi nggak ngundang banyak warga” jawab salah seorang bapak.

Emang sudah melewati masa iddah?” timpal bapak yang lain diikuti iringan tawa, karena masa iddah hanya untuk perempuan yang ditinggal suami, baik karena kematian ataupun karena perceraian.

Emang sudah kakek begitu masih bisa atahiyat?”, sahut Bapak yang lain.  Meniru ucapan seorang Ibu di film Tilik dengan tokoh utama Bu Tejo.  Atahiyat adalah gerakan dalam sholat yang salah satunya meluruskan jari telunjuk dari keadaan yang tadinya melipat ke dalam.  Hal ini merujuk pada kemampuan memberikan nafkah batin suami pada istri.  Itu bahasa halusnya.  Bahasa kedokterannya kemampuan untuk ereksi.

Begitulah pertemuan itu dilanjutkan gelak tawa dengan membicarakan bapak Je yang tidak hadir di pertemuan.  Bagi saya kejadian itu menandakan bahwa tidak hanya Bu Tejo (mewakili Ibu-ibu) yang suka bergosip tetapi juga bisa terjadi pada kalangan bapak-bapak, meskipun secara intensitas berbeda dengan Ibu-ibu.

Gemeinschaft dan Gesselschaft

Dalam masyarakat kita terlalu banyak peluang untuk menjadi Bu Tejo.  Masyarakat kita di banyak tempat adalah perpaduan antara masyarakat paguyuban dan patembayan atau gemeinschaft dan gesselschaft

Adalah Sosiolog Jerman Ferdinand Tonnies yang pertama kali memperkenalkan konsep gemeinschaft dan gesselschaft.  Dikutip dari Kompas.com gemeinschaft atau paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama, anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, bersifat alami dan kekal. Dasar hubungan adalah rasa cinta dan rasa persatuan yang telah dikodratkan. Biasanya paguyuban lahir dari dalam diri individu ditandai dengan rasa solidaritas dan identitas yang sama. Dalam melaksanakan kontrol sosial pada masyarakat gemeinschaft dipertahankan melalui cara-cara informal seperti persuasi moral, gosip dan bahkan gerak tubuh (gestur).  Gemeinschaft dilambangkan pada masyarakat pedesaan.

Sementara gesselschaft atau patembayan adalah masyarakat sipil di mana kebutuhan individu mendapatkan prioritas penting daripada asosiasi sosial. Patembayan merupakan konsep yang merujuk pada hubungan anggota masyarakat yang memiliki ikatan yang lemah.  Patembayan atau gesselschaft ditentukan oleh Kurwille (kehendak rasional) dan dilambangkan oleh masayarakat kosmopolitan modern dengan birokrasi pemerintah dan organisasi industri besar. Dalam gesellschaft, kepentingan pribadi yang rasional dan tindakan penghitungan melemahkan ikatan tradisional keluarga, kekerabatan dan agama.

Dalam teori sosiologi juga dikenal teori solidaritas, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik merupakan rasa solidaritas yang berdasarkan suatu kesadaran kolektif. Bentuk solidaritasnya tergantung pada individu masing-masing yang memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan serta pola normatif yang sama pula. Solidaritas mekanik biasanya muncul dari pedesaan. Hal ini dikarenakan solidaritas tersebut akan terbangun pada kelompok masyarakat yang masih sederhana.

Sementara solidaritas organik adalah solidaritas yang berkembang dalam kelompok masyarakat yang kompleks. Contohnya, pada masyarakat perkotaan di mana para anggotanya disatukan oleh rasa saling membutuhkan untuk kepentingan bersama. Di dalam solidaritas organik, pembagian kerja sudah jelas untuk masing-masing anggota kelompok. Bahkan disesuaikan dengan bidang atau keahlian masing-masing.

Inilah yang terjadi ketika sopir dalam film "Tilik" akan ditilang oleh Polisi (mewakili masyarakat kota) dan seharusnya sopir bertindak selaku pribadi (organ), dapat lepas dari tilang karena adanya solidaritas mekanik atau guyub.

Dalam kehidupan nyata di masyarakat kita, masyarakat perkotaan yang harusnya menunjukkan ciri-ciri masyarakat gesselschaft ternyata sangat terpengaruh oleh kehidupan masyarakat gemeinschaft, demikian juga sebaliknya.  Acara-acara televisi yang mewakili masyarakat urban, ternyata isinya adalah gosip, bahkan berisi obrolan recehan yang biasanya menemani obrolan di masyarakat gemeinschaft.  Sementara di pedesaan juga sudah sangat terasa pengaruh kehidupan gesselschaft, karena batas antara kota dan desa semakin tipis, antara lain oleh akses yang semakin mudah.

Kita Masyarakat Seremoni

Peluang untuk terciptanya banyak Bu Tejo ini mendapat tempat karena tradisi masyarakat kita banyak melaksanakan perayaan dan atau kegiatan yang melibatkan massa dan uang.  Contohnya perayaan 17 Agustusan, idenya sangat baik agar kita selalu ingat betapa sulitnya meraih kemerdekaan, tetapi bagi yang pernah menjadi pengurus RT merasakan betul bagaimana sulitnya menggalang dana dari masyarakat.  Banyak ditemui orang-orang yang mampu tapi pada saat dimintai sumbangan ada saja alasannya.  Tetapi pada saat pembagian hadiah buat anak-anaknya selalu tampil paling depan.  Jadi ingat adegan Bu Tejo dan salah satu ibu di film "Tilik" yang dengan santainya memperhatikan ibu-ibu yang lain mendorong truk yang mogok. Tapi dialah yang paling heboh di dalam truk.

Contoh lain saat qurban,  ada yang tidak puas karena mendapat daging kambing, karena berharap daging sapi.  Termasuk yang kurban kambing mintanya sapi. Timbullah Bu Tejo-Bu Tejo meramaikan jagat keriuhan qurban.  Niat baik dan bernilai ibadah, yaitu agar masyarakat yang kurang mampu bisa menikmati daging, menjadi ternoda, karena hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan hakekat berqurban.

Untuk pembagian raskin atau bantuan tunai langsung kasusnya bisa lebih parah.  Banyak yang berdasarkan data pemerintah layak mendapat bantuan tunai langsung.  Padahal kondisinya mampu.  Tetapi ketika namanya (yang mampu) sudah ada dalam daftar penerima,  lebih baik diambil, karena berkembang isu dengan mudahnya dialihkan ke yang lain.  Gosip pun akan menyebar dengan cepat.  Kok yang mampu dapat.  Pasti ada kerja sama dengan aparat desa.  Aparat desa mengelak dan menyatakan bahwa data itu langsung dari pusat.  Desa hanya menerima data jadi.  Tetapi gosip terlanjur berkembang.

    

Yang tidak Baik adalah Kita

Untuk menutup tulisan ini saya teringat kiriman whatsapp dari seorang teman, yang saya ubah sesuai dengan kondisi ini.  Ketika seorang guru spiritual mendapat pertanyaan dari murid-muridnya yang pandai menilai orang lain, membandingkan kehidupan orang lain namun selalu dijawab oleh guru spiritual itu  “bahwa yang diomongkan belum tentu sesuai dengan penilaian kita, karena kita hanya mampu menilai lahiriahnya saja.  Siapa tahu mereka malah jauh lebih baik dari kita”.  Akhirnya sang murid bertanya:  ”lalu kalau begitu siapa yang tidak baik wahai guru?”  Sang guru menjawab: “yang tidak baik itu terkadang adalah kita, orang ketiga yang selalu pandai menilai orang lain, namun lalai menilai diri sendiri.”

Semoga kita bukan Bu Tejo (termasuk para Bapak)  yang sibuk menilai dan membandingkan orang lain, padahal kitalah yang harus terus memperbaiki diri.

Sumber bacaan pendukung:

Pengertian dan Perbedaan Gemeinschaft dan Gesselschaft Kompas.com., 23 Desember 2019. 30 Agustus 2020 https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/23/200000469/pengertian-dan-perbedaan-gemeinschaft-dan-gesellschaft?page=all

Teori Solidaritas, dari Mekanik hingga Organik, Kompas.com., 18 Desember 2019. 30 Agustus 2020 https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/18/190000069/teori-solidaritas-dari-mekanik-hingga-organik?page=all

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun