Mohon tunggu...
eni muliawati
eni muliawati Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pertanyaan Nyleneh Siswa

9 Mei 2015   03:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:14 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senang sekali dapat mengikuti diklat online P4TK matematika. Tulisan ini saya buat dalam rangka menerima tantangan menulis di Kompasiana. Semoga tulisan saya bermanfaat, maklum baru belajar menulis.

Saya adalah seeorang ibu yang juga seorang guru matematika, punya anak laki-laki yang mempunyai pemikiran unik. Ketika anak saya menginjak usia SMA saya mendapat tantangan yang lumayan berat. Anak saya ikut kelas akselerasi di sebuah sekolah di kota Malang. Namun karena kelas akselerasi tersebut diarahkan untuk penjurusan IPA mulailah anak saya mengulah sebab dia inginnya masuk kelas IPS. Dia tidak mau belajar sehingga nilai-nilainya anjlok. Setelah pihak sekolah berkonsultasi dengan saya selaku orang tuanya akhirnya anak saya dikembalikan di kelas reguler. Saya tidak keberatan karena anak saya sudah mengutarakan keinginannya untuk tidak bertahan di kelas IPA. Disinilah awal tantangan saya sebagai orang tua yang juga seorang guru dimulai. Hampir setiap hari anak saya mengeluh bahwa dia sering dikata-katai oleh gurunya. Puncaknya menjelang ujian semester ketika dia kelas 11 dia tidak mau sekolah lagi dan melarikan diri dari sekolah. Dengan sangat terpaksa saya mohon ijin meninggalkan sekolah tempat saya bertugas di Sumatera Utara untuk menyelesaikan permasalahan anak saya di kota Malang. Alhamdulillah saya berhasil membujuk anak saya untuk masuk sekolah lagi, bahkan saya katakan : "Tolonglah Nak, sampai selesai ujian...saja. Setelah itu terserah kamu kalau tidak mau bertahan lagi".

Anak saya menurut, tetapi setelah ujian selesai kembali dia mengulah lagi, kali ini benar-benar tidak mau menginjakkan kakinya lagi ke sekolah. Setiap hari dia mengeluh kepada saya dengan caranya sendiri melalui sms atau telepon hingga suatu ketika saya bertanya: "Apa sebenarnya yang telah dikatakan guru-gurumu sehingga membuatmu sakit hati?" Anak saya kemudian bercerita panjang bahwa hampir setiap hari dia dibuly oleh gurunya. Puncaknya suatu ketika seorang gurunya sedang berbicara di depan kelas dan dia tanpa sengaja tertawa dengan temannya (menurutnya tidak mentertawai gurunya). Guru tersebut marah dan mengatai dia "Dasar bodoh".  Dengan spontan anak saya berdiri dan berkata "Saya bukan orang Bodoh", dan gurunya berkata lebih kuat "keluar kamu". Dengan menahan rasa sakit hati akhirnya anak saya keluar dari kelasnya. Dia berkata kepada saya bahwa dia tidak dapat menerima perkataan gurunya sebab saya sendiri sebagai ibunya tidak pernah sekalipun didengarnya mengatai dia bodoh. Saya mencoba menenangkan hatinya agar dia tidak menuruti emosinya (maklum anak muda masih suka meledak-ledak). Selama hampir 2 minggu anak saya tidak mau kembali ke kota Malang, dia bertahan di rumah eyangnya di Surabaya. Hampir setiap hari dia curhat ingin keluar dari sekolahnya. Suatu hari dia memohon dengan sangat "Ibu, tolonglah keluarkan saya dari sekolah ini, bisa gila nanti kalo saya tetap bertahan disini. Tolonglah Bu, aku sudahtidak tahan, aku sudah  tidak percaya dengan sekolah formal lagi".

Sraaap.... hati saya miris mendengar perkataannya. Perakataan apa ini? Saya seorang guru dan anak saya di usianya yang belum genap 15 tahun mengatakan bahwa dia tak percaya dengan sekolah formal lagi? Hati saya benar-benar galau. Setelah puas berkonsultasi dengan rekan-rekan guru dan teman-teman yang berprofesi sebagai  dosen akhirnya saya putuskan anak saya harus bersama saya tinggal di Sumatera Utara. Walaupun saat itu saya benar-benar bingung dan kuatir dengan kemarahan suami karena dia ingin anaknya bertahan di Malang akhirnya dengan bantuan adik di Surabaya anak saya berhasil pulang ke Sumut berkumpul bersama saya kembali.

Konsultasi kesana kemari akhirnya setelah menganggur di rumah selama 2 minggu anak saya diterima di sebuah sekolah negeri di Medan. Kepada pihak sekolah saya ceritakan kondisi anak saya apa adanya dan saya mohon kepada bapak/ibu gurunya dapat bekerja sama dengan saya selaku orang tuanya. Alhamdulillah anak saya lebih tenang di sekolah barunya, bahkan dia sangat senang dengan ibu guru sosiologi. Beliau dikatakan anak saya sebagai guru yang bijaksana. Mengapa? Karena guru sosiologi selalu menanggapi positif setiap pertanyaan dari anak saya yang sering kali nyleneh. Beliau menasehati anak saya dengan mengatakan : "Sabarlah Nak, yang kamu pikirkan itu bagus, tapi teman-temanmu belum dapat menjangkau apa yang kamu pikirkan, kamu sudah lebih maju dari teman-temanmu, jadi tidak perlu kamu marah jika idemu tidak diterima oleh teman-temanmu". Perkataan guru tersebut ternyata sangat memotivasi anak saya.

Suatu hari dia bercerita bahwa hari ini dia berhasil mengerjai gurunya dengan pertanyaan: "Mengapa seorang pegawai negeri harus berdandan rapi, tidak boleh bertato?" Saya tanya: "Apa reaksi gurumu dengan pertanyaan itu?' Dia katakan gurunya hanya diam saja. Besoknya dia tanyakan lagi pada guru lainnya, dan besoknya lagi kepada guru lainnya, dan besoknya lagi kepada guru yang lain lagi. Tapi dia tetap tidak mendapat jawaban, dan mulai diejek oleh teman-temannya sebagai "orang gila". Saya hanya diam tidak menanggapinya sampai pada suatu hari dia bilang: "sungguh mengecewakan tidak ada guru yang mau menjawab pertanyaanku". Karena dia bicara seperti itu akhirnya saya bilang kepandanya: "Kamu benar-benar mau tahu jawabannya?" Dia menjawab: "Ya iyalah". Kata saya: "Oke kalau begitu sekarang kamu duduk yang bagus seperti di dalam kelas, dan ibu akan bertindak sebagai gurumu. Silahkan kamu bertanya dengan cara yang baik". Anak saya hanya tersenyum, kembali saya tegaskan "kamu mau dapat jawabannya apa tidak?' Dia mengangguk lalu bilang "Apa sih jawabannya?" Saya katakan saya tidak akan menjawab kalau dia tidak mau mengulang pertanyaannya seperti layaknya seorang murid di dalam kelas. "Saat ini saya adalah guru kamu, bukan sebagai ibumu, jadi tolong kamu jaga sikapmu dan utarakan pertanyaanmu dengan cara yang santun" Akhirnya dia menurut. Anak saya duduk manis dihadapan saya dan bertannya : "Bu mengapa seorang pegawai negeri harus berdandan rapi dan tidak boleh bertato?" Deangan tersenyum simpul saya berkata: "Nak coba bayangkan bahwa dirimu saat ini adalah seorang pengusaha ternama yang hendak mengurus surat ijin pendirian sebuah pabrik dari perusahaanmu. Kamu berjalan memasuki ruang kantor perijinan, disana begitu kamu membuka pintu kantor kamu dapati seorang pegawai negeri yang badannya tinggi besar seperti seorang pegulat hebat, berotot kekar, sedang duduk dengan posisi kaki diletak di atas meja kerja. Bajunya dilinting sehingga semua tatonya kelihatan dengan jelas olehmu, tato itu bergambar tengkorak seperti tato- tato para preman. Kira-kira bagaimana perasaanmu?" Tiba-tiba dia tertawa lebar : "Ha....ha....ha....sudah-sudah...tidak perlu ibu menjawab pertanyaanku....aku sudah tahu jawabannya". Dia terus tertawa terkekeh-kekeh....

Bapak/Ibu guru, sedari anak-anak saya masih kecil, saya tidak pernah langsung menjawab pertanyaan anak-anak saya jika mereka bertanya. Biasanya saya balik memberikan pertanyaan kembali yang menuntun mereka untuk menemukan jawaban sendiri. Saya sangat yakin bahwa seorang anak akan merasa sangat puas jika dia dapat menemukan jawaban dari pertanyaan mereka sendiri. Ini yang seringkali saya terapkan dalam kelas matematika saya. Menurut saya menjadi seorang guru matematika satu diantara tugas-tugasnya adalah mendidik anak untuk bersifat kritis dan berfikir secara sistematis. Dari kasus anak saya di atas semoga menjadi pelajaran bagi kita selaku seorang guru untuk sabar menghadapi pertanyaan-pertanyaan siswa yang kadang-kadang sedikit nyleneh. Jika mendapat pertanyaan seperti pertanyaan anak saya kemudian seorang guru menjadi marah, dapat kita bayangkan betapa kecewanya siswa kita. Apalagi jika sampai dikata-katai yang negatif. Bukan mendapat jawaban yang memuaskan justru si anak merasa terzolimi dengan sikap kita. Semoga kita tidak menjadi guru yang demikian.

Demikian sedikit kisah saya sebagai seorang ibu dan seorang guru semoga memberi manfaat. Terima kasih

“Tulisan ini adalah tugas Diklat Online PPPPTK Matematika”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun