Mohon tunggu...
J Sumardianta
J Sumardianta Mohon Tunggu... -

Penulis buku Guru Gokil Murid Unyu (2103); Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (2016) & Jatuh 7 Kali Bangkit 8 Kali (2017)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Absurditas di Tepian Garis Batas Seksualitas

8 Juli 2017   11:30 Diperbarui: 8 Juli 2017   21:49 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raja Johdpur, Rajashstan, India, pada abad ke-18, hendak membangun benteng kastil raksasa. Raja mengirim bala tentara untuk menebang pohon besar berumur ratusan tahun di desa Bishnoi, dekat padang gurun. Warga desa Bishnoi pengikut sekte yang sangat mencintai alam. Menebang pohon merupakan kejahatan tak termaafkan. Amrita, si kembang desa, langsung memeluk pohon itu. Ia berseru ke arah para serdadu. "Tebanglah aku terlebih dahulu sebelum kalian merobohkan pohon ini!"

Bala tentara langsung mengayunkan kapak. Kres. Amrita tumbang di tempat. Seluruh warga desa marah. Bukan menyerang balik tentara. Mereka, justru mengikuti jejak Amrita, memeluk pohon, tak peduli ayunan kapak tentara menebas. Tentara tak punya belas kasih. Satu mati yang lain menyusul. Begitu seterusnya. Darah membanjir. Tiga ratus enam puluh tiga warga desa mati demi menyelamatkan sebatang pohon tua.

Zaman sekarang desa Bishnoi tetap kering kerontang. Akan tetapi penduduknya masih menyediakan air untuk bisa diminum rusa. Budi daya pertanian mereka sering gagal. Selain karena bencana kekeringan juga akibat dimangsa hewan liar. Warga desa tidak menganyam pagar buat melindungi tanaman. Mereka rela kelaparan asalkan fauna tidak punah.

Para Pendoyan Rambutan

Cinta mengatasi segalanya. Cinta menciptakan dunia. Itulah inti pesan kisah pohon Bishnoi. Anekdot menyentuh itu memang metaphor bagus buat memahami relasi manusia yang acap berakhir pelik dan tragis. Vidyawati (25) dan Ardhanari (27), bukan nama sebenarnya, sudah berpacaran tujuh tahun. Vidya perempuan terpelajar yang setia dan tabah. Vidya, berasal dari Yogyakarta, bermukim dan bekerja pada sebuah perusahaan di Bandung. Ardha, seorang arsitek, bekerja di Yogyakarta. Relasi mereka, pada awalnya, bisa dibilang baik-baik saja. Nyaris tiada satupun aral melintang. Orang tua kedua belah pihak, walau berbeda latar belakang status sosial, mendukung dan merestui hubungan mereka.

Keduanya pacaran sejak 2011. Memasuki tahun ke-6 hubungan mereka, mulai terjal, berkelok, mendaki, dan penuh onak-duri pada. Mereka sering terlibat konflik berujung cek-cok. Pangkal keributan sebenarnya sepele: soal ego. Ardha ingin kekasihnya bekerja di Yogyakarta. Vidya kesulitan mencari pekerjaan di kampung halamannya. Ardha merasa diabaikan. Vidya, yang demi masa depan terpaksa bekerja jauh di luar kota, merasa tidak dihargai pengorbanannya.

Ardha lelaki feminin. Tingkah lakunya lemah-lembut dan ginek (genit). Gesturnya tidak menunjukkan sedkitpun tanda-tanda maskulinitas. Vidya menerima kekasihnya apa adanya. Ardha bersahabat dekat dengan dua orang lelaki sebaya. Sebut saja namanya Agung dan Mulia. Ardha, Agung, dan Mulia berteman sejak kuliah. Pernah, suatu saat, Ardha minta tolong Vidya mencarikan para normal buat mencelakai Agung. Ardha, yang temperamental dan sering lepas kontrol, mendadak sangat membenci Agung. Kebenciannya sampai tahap muak hingga ingin mencelakai Agung, kalau perlu sampai, cacat permanen.

Selidik punya selidik, Ardha, Agung, dan Mulia terlibat cinta segi tiga. Ardha dan Agung memperebutkan Mulia. Mereka bertiga ternyata, meminjam sebutan Benedict Anderson, dalam esai "Dari Tjentini Sampay GAYa Nusantara" (2001), para pendoyan rambutan (homoseks) bukan pendoyan durian (heteroseks). Agung tersingkir. Ardha dan Mulia makin lekat. Mereka berdua pernah merencanakan berlibur di salah satu kawasan asia Tenggara---surganya rambutan.  

Vidya justru mendapat titik terang dari kasus yang dialami kekasihnya. Terjawab sudah banyak misteri yang mengganjal hatinya selama ini. Mengapa Ardha lebih suka menghabiskan waktu bersama Mulia ketimbang dengan dirinya bahkan ketika Vidya sedang mudik ke Jogja? Mengapa Ardha memilih berasyik masyuk dengan Mulia padahal Vidya dan orang tuanya mengajaknya berlibur. Kemanapun liburan Ardha bersama keluarganya selalu melibatkan Vidya. Sebaliknya, Ardha selalu menghindar tatkala orang tua Vidya mengajaknya bepergian di dalam kota dengan durasi waktu tidak lama.

Ardha selalu menyodorkan argumen yang melingkar-lingkar tatkala Vidya mengajaknya tunangan dan menikah. Alasannya, masih ingin kuliah, belum siap secara ekonomi, dan tekanan orang tua. Inisiatif soal peningkatan keseriusan hubungan selalu datang dari Vidya. Ardha seorang lelaki yang egois, tertutup, dan impulsif. Gampang galau dalam ketegangan.

Vidya, perempuan dengan pikiran terbuka dan tegas. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga well educated. Pelan-pelan Vidya melepas Ardha. Ia tidak sependapat dengan orientasi seksual Ardha. Kendati demikian Vidya mendukung sepenuhnya sikap dan pilihan Ardha terhadap Mulia. Vidya tentu mengalami konflik batin hebat. Konflik yang paling menyita waktu dan emosi adalah konflik batin. Dalam ketidakpastian Vidya didera keputusasaan. Ia bisa mengambil manfaat dari kemalangan yang menimpanya. Ia menerima fakta tragis sekaligus indah bahwa tidak semua konflik bisa didamaikan. Tidak semua masalah ada jalan keluarnya.

Vidya dididik di lingkungan keluarga heteroseks. Bapaknya pendoyan durian. Relasi luasnya memungkinkan si bapak berkawan dengan kalangan para pendoyan rambutan. Seorang pengusaha, teman bapaknya Vidya, meninggal 2014 karena HIV/AIDS. Pengusaha ini punya istri dan anak. Di luar rumah si bos juga punya banyak "momongan brondong". Pengusaha itu bisa disebut sebagai Sugar Daddy. Bapak yang murah hati bagi para para lelaki muda yang menjadi kekasihnya. Vidya melepas Ardha karena tidak siap mendapati kenyataan kelak suaminya pulang membawa momongan. Atau bernasib tragis seperti kawan bapaknya.

Vidya dan keluarganya tidak membenci Ardha. Perasaan jengkel, sedih, dan marah pasti ada. Mereka bisa mengendalikannya. Emosi (takut, sedih, senang, bahagia) itu selalu didahului kognisi. Orang takut karena pikirannya mendapat sinyal adanya ancaman. Sedih karena pikiran membaca adanya gejala hendak kehilangan. Marah karena pikiran mendapat informasi adanya pengkhianatan. Senang karena pikiran mendapat pengetahuan adanya perhatian.

Mentalitas Sinergis

Mereka, dalam kasus ini, melihat dengan sudut pandang berbeda dari perspektif masyarakat pada umumnya. Vidya didik orang tuanya dengan paradigma sinergi. Cara berpikirku ketemu cara berpikirmu menghasilkan cara berpikir kita. Paradigma menang-menang, menang-kalah, atau kalah-kalah, bagi orang tua Vidya, sudah tidak memadai buat mengurai konflik di zaman mileneal.

Ardha, kendati memiliki orientasi seksual berbeda, tetap dihargai Vidya dan keluarga besarnya. Hidup sebagai kaum sehati, sebutan yang diberikan Dede Oetomo  bagi kaum homoseks, dalam Memberi Suara padayang Bisu (2001), sungguh tidak mudah. Mereka masih tetap dianggap sebagai wabah sehingga terus dimusuhi. Padahal, banyak di antara kaum homoseks merupakan figur cemerlang. Entah ada atau tidak, hingga sekarang belum pernah jelas, kaitan kecemerlangan otak dengan orientasi seksual pada sesama jenis kelamin ini.

Nama-nama besar yang termasuk dalam barisan kaum sehati antara lain raja Alexander Agung, kaisar Julius Caesar, filsuf Yunani klasik Plato dan Aristoteles, Boden Powell (bapak kepanduan internasional), Michelangelo dan Leonardo da Vinci (pemahat dan perupa), John Maynard Keynes, (ekonom neo-klasik), Michel Foucault (posmodernis), Elton John (penyanyi), dan Gianni Versace (designer). Dari kalangan sastrawan internasional antara lain Oscar Wilde, Virginia Woolf, Walt Wiltman, dan Nikolai Gogol.

Konstruksi sosial yang menempatkan kaum homoseks sebagai penyebar epidemi, menurut Seno Joko Soyono, dalam Tubuh yang Rasis (2002), telah berabad-abad mengendap di alam bawah sadar masyarakat. Tak heran bila kebesaran prestasi dan sumbangan mereka bagi kemajuan peradaban tak kunjung mengubah pencitraan buruk (imagologi) yang terlanjur diterakan pada kaum homoseks. Kontribusi mereka cenderung dikesampingkan. Homophobia, prasangka berlebihan terhadap gay dan lesbian, terlanjur berurat-berakar. mBalung sumsum. Tak gampang dikikis.

Vidya dan keluarganya tidak memperlakukan Ardha dan teman-teman sehatinya sebagai manusia berorientasi seksual menyimpang. Homoseksualitas, entah gay, lesbi, transgender, dan biseksual bukanlah anomali sosial. Fenomena homoseksualitas diterima dengan apa adanya sebagai kodrat. Orang tidak bisa melawan kodrat. Arang tak mungkin bisa berubah menjadi putih sekalipun sudah dibilas. Siapapun tidak bisa menolak dilahirkan sebagai manusia dengan orientasi homo, hetero, dan biseks.  Kaum Sehati, secara sosiologis tidak bisa lagi disebut manusia anti-sosial. Secara psikologis mereka juga bukan manusia pengidap kelainan mental.

Inilah yang dimaksud dengan cara berpikir sinergis. Kaum mayoritas (hetero) seharusnya menghargai minoritas (homo). Tugas si banyak mestinya melindungi yang sedikit. Vidya menyadari bahwa paradigma sinergis keluarganya ini terlampau maju. Berseberangan dengan pandangan umum masyarakat kebanyakan yang masih menistakan kaum sehati. Vidya, semasa kuliah, mendalami ilmu-ilmu sosial post-modern. Pengejaran dan pengambinghitaman terhadap kaum minoritas selalu terkait dengan politik identitas. Perihal pengambinghitaman kaum minoritas ras, etnis, agama, dan orientasi seksual ini Vidya mendapat penjelasan paling memadai dari Sindhunata (2006), Kambing Hitam: Teori Rene Girard.

Saat jutaan orang Eropa tewas akibat wabah sampar pada abad pertengahan kaum minoritas Yahudi yang dipersalahkan, dikejar, dan dianiaya sebagai penyebab malapetaka. Padahal penyebaran epidemi pes yang meluas di seluruh Eropa daratan ditularkan tikus-tikus yang membonceng kapal-kapal Afrika yang sedang bongkar muatan di pelabuahan Genoa, Italia. Krisis hebat akibat jatuhnya pemerintahan Soeharto memicu kerusuhan etnis. Minoritas China yang dikambinghitamkan.

Pembubaran petemuan kaum homo dan lesbi di Yogyakarta dan Surabaya pada awal 2000 terjadi bersamaan menguatnya politik identitas sesudah keruntuhan rezim Orde Baru. Pun pembubaran pesta kaum gay di Jakarta belum lama ini juga terjadi saat pemerintah sedang sibuk menghalau radikalisme dan terorisme. Penguatan politik identitas selalu terjadi saat kondisi masyarakat sedang didera krisis hebat. Kaum minoritas pasti mengalami stigmatisasi dan persekusi. Kaum pendoyan rambutan mesti mewaspadai bahaya laten penguatan politik identitas yang setiap saat potensial mengambinghitamkan, mengejar, dan menganiaya mereka.

  Vidya, punya keyakinan kuat, kasus yang dialaminya pasti juga banyak dialami oleh orang lain. Kecenderungan mayoritas diam yang membuat kasus-kasus seperti ini tidak terungkap ke permukaan. Stigmatisasi dan persekusi selalu ujung-ujungnya salah kaprah pandangan masyarakat. Tidak ada kebenaran di mata orang yang perspektifnya salah. Tidak ada yang baik di mata orang yang pikirannya senantiasa menjelek-jelekkan.

Sudut Pandang Kurban

Persoalan kaum sehati memang merupakan persoalan kaum minoritas dalam masyarakat. Jumlah mereka semakin besar. Sub-kultur mereka juga makin terbuka. Sikap Vidya menunjukkan terobosan baru perilaku empatik terhadap kaum sehati. Bukan buat apologi atau pembelaan diri melainkan buat mendudukkan soal secara proporsional. Agar sikap penuh prasangka terhadap kaum minoritas tak makin mengeras.

Mengapa paradigma Vidya tentang kaum minoritas seksual terbilang progresif, meluas, dan mendalam? Vidya kutu buku yang rakus membaca referensi dengan sudut pandang kurban. Kebiasaan membaca buku bermutu didorong rasa ingin tahu itu jelas menumbuhkan pikiran kritis. Membaca buku membuat pikiran mengembang seperti parasut. Buku membuat manusia berpikir bukan menerima sesuatu yang sudah jadi.

Membaca membuat Vidya belajar tentang manusia sekaligus belajar menjadi manusia. Vidya menyukai buku Agustinus Wibowo, Selimut Debu (2010). Buku kisah perjalanan yang dengan memikat menuturkan kultur homoseksualitas di Afghanistan. Kaum lelaki Afghan di balik adat patriarkat dan machoisme yang sulit ditandingi  bangsa manapun, di balik jubah dan jenggot tebal mereka, ternyata penggemar sinetron India Karena Ibu Mertua Pernah Menjadi Menantu. Opera sabun dengan lakon utama seorang wanita tangguh yang tidak pernah menyerah pada dominasi lelaki dalam keluarga.

Pejuang Afghan suka menyelipkan bunga di bedil mereka. Afghan, negeri yang tak putus dirundung perang itu, kaum lelakinya sangat merindukan perempuan. Perempuan di sana tak bisa leluasa bepergian di luar rumah tanpa didampingi suami. Perempuan Afghan mahkluk tanpa identitas. Ke manapun pergi selalu tertutup rapat burqa. Di rumah pun kaum lelaki tak bisa menemui perempuan tanpa izin keluarga. Memandang perempuan merupakan kekuranajaran tak terperi. Harga mahar untuk perempuan sangat mahal. Di desa mas kawin perempuan nilainya setara dengan 150 ekor kambing. Akibatnya, kaum lelaki Afghan jarang yang menikah. Merebaklah kultur Bachabazi. Lelaki dewasa memelihara bocah lelaki sebagai pelampiasan hasrat seksual. Bachabazimakna harafiahnya play with boy. Nyaris semua tarian macho mengarah pada erotisme kaum lelaki. Setali tiga uang  tradisi warok di Ponorogo atau gandrung lanang di Banyuwangi.

Bachabazi relatif masih lebih termaafkan ketimbang zina. Humor lelaki Afghan lebih menjurus ke hubungan badan antar lelaki atau organ tubuh lelaki. Jangan sesekali kamu membungkuk memungut uang jatuh di jalanan Kandahar. Pantatmu bisa ditembus dari belakang. Humor macam ini, dengan berbagai variasinya, banyak beredar di Afghanistan. Sebaliknya humor porno menyangkut organ tubuh perempuan sangat jarang terdengar. Jika Anda pemuda berkulit mulus tanpa bulu, tanpa jenggot, dan tanpa cambang, berhati-hatilah. Anda akan ditawari menginap di rumah lelaki Afghan. Iming-imingnya, "Aku punya Vaseline, di rumah."  

Rezim Taliban saat berkuasa sangat menentang bachabazi. Adat berhubungan seksual dengan bocah-bocah yang sudah mendarah daging diberantas. Pelaku hubungan sejenis dihukum dengan diambruki tembok. Di negeri yang hancur karena perang, tembok rusak tersedia melimpah. Taliban tak memberi ampun pada homoseks. Apalagi pelaku zina perkosaan. Maling dipotong tangannya. Jasad perampok digantung di pinggir jalan buat menciptakan efek jera. Candu dilarang. Jangankan kriminalitas, meja, kursi, dan lukisan tidak boleh. Semua orang harus duduk di lantai beralas karpet atau matras.

Pelecehan seksual, kendati hukum ditegakkan dengan keras, justru makin gamblang dan intens. Aturan yang terlalu ketat rupanya membuat orang depresi dan butuh pelampiasan. Agustinus Wibowo, sebagaimana dikisahkan dalam Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan (2013), mengalaminya berkali-kali. Seorang polisi menjilati lehernya saat berpelukan salam perpisahan sehabis wawancara. Tak terhitung pantatnya diremas. Seorang penumpang bus yang penuh sesak mencuri kesempatan menggesek-gesekkan kelaminnya di selangkangan Agustinus. Bahkan, polisi harus patroli di dalam bioskop, saat film diputar, buat mencegah penonton masturbasi.   

Agustinus Wibowo, dalam Garis Batas (2011), menulis refleksi bagus. Renungan yang sangat mempengaruhi perilaku Vidya. Manusia pada hakekatnya musafir. Hidup sesungguhnya perjalanan sepanjang hayat melintasi pelbagai garis batas. Garis batas alam seperti laut, sungai, danau, dan gunung. Garis batas buatan manusia seperti Great Wall, Tembok Berlin, dan kawat berduri. Pula garis batas portabel abadi yang dibawa kemanapun sang musafir pergi: warna kulit, gender, dan orientasi seksual. Dalam peziarahannya musafir berulang kali mempertanyakan, menyangkal, menerima, dan mengakui identitasnya. Peziarahan musafir memang perjalanan mengukuhkan identitas. Soalnya dalam tubuh musafir sudah melekat begitu banyak identitas alias garis batas portabel. Garis batas membuat hidup manusia penuh warna. Betapa membosankan bila semuanya tampak sama.

Bangsa Afghanistan dan Tajikistan, sejak dulu, dipisahkan sungai Amur Daya. Shahnama, epos klasik bangsa Persia menuturkan bagaimana sungai legendaris itu memisahkan Iran dengan Turan, dua negeri yang saling bermusuhan. Rustam, pemimpin Iran, adalah jagoan tak terkalahkan. Ia ditakuti di seluruh pelosok negeri. Tanpa sepengetahuan Rustam, salah satu gundiknya melahirkan anak lelaki di negeri musuh. Sohrab, anak lelaki itu, besar menjadi pejuang tangguh. Walau berdarah Iran, Sohrab berjuang membela Turan---negeri orang Turki di seberang sungai Amur Daya. Suatu hari, Rustam dan Sohrab, bertarung di bantaran sungai agung. Ayah dan anak yang tidak saling mengenal itu berkelahi membela panji-panji negara masing-masing. Sohrab sedang mencari ayahnya. Rustam gigih membela kehormatan negerinya. Sohrab mati di ujung pedang ayah biologisnya. Rustam berlinang air mata menyesali takdir garis batas yang dengan bengis memisahkan anak dengan orang tuanya.  

Garis batas memang kodrat. Di tepian garis batas portabel ini panggung sandiwara mempertontonkan absurditas dan kemustahilan. Vidya dan Ardha dipisahkan oleh garis batas gender dan orientasi seksual.***

*J. Sumardianta, penulis buku Guru Gokil Murid Unyu (2013); Habis Galau Terbitah Move-On (2014); Mendidik Pemenang Bukan Pecundang (2016); dan Jatuh 7 Kali Bangkit 8 Kali(2017).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun