Ondel-ondel merupakan salah satu ikon masyarakat betawi, ondel-ondel sendiri merupakan sebuah boneka besar yang biasanya berbentuk menyerupai pria yang berwajah merah dan wanita dengan wajah berwarna putih dengan tinggi sekitar 2,5 meter, mengenakan pakaian khas masyarakat betawi dan di gerakan oleh manusia yang masuk ke dalam kerangka tubuh ondel-ondel tersebut.Â
Pada awalnya ondel-ondel merupakan sebuah alat yang dibuat oleh masyarakat betawi sebagai penolak bala saat masyarakat betawi dilanda wabah suatu penyakit yang saat ini disebut dengan penyakit cacar.
Lalu boneka ondel-ondel dimainkan dengan cara di arak keliling kampung dan ternyata saat itu wabah penyakit tersebut berhasil dihilangkan, pada saat itu juga masyarakat betawi mempercayai adanya kesakralan dari boneka ondel-ondel tersebut.Â
Setidaknya itu yang dijelaskan oleh bang Pendi yang merupakan seniman betawi sekaligus pemiliki sanggar Benuang Sakti.
Pada dasarnya ondel-ondel di era modern adalah suatu karya masyarakat betawi yang harus dilestarikan keberadaannya dan menjadi sebuah nilai budaya yang ada di betawi.
Akan tetapi semakin berkembangnya zaman mulai terlihat adanya pergeseran nilai budaya dari penggunaan ondel-ondel tersebut, hal itu nampak dari banyaknya orang yang memanfaatkan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen.Â
Padahal sebenarnya ondel-ondel banyak yang digunakan untuk memeriahkan pesta rakyat betawi di gelaran event atau ceremonial penting yang mengundang tokoh-tokoh penting di masyarakat yang berarti pada dasaranya ondel-ondel memiliki nilai budaya yang cukup penting bagi masyarakat Indonesia terutaman masyarakat betawi.
Dengan terjadinya fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan di benak kami mengenai apakah pengamen ondel-ondel tidak merusak nilai budaya betawi dan apakah yang mendasari mereka untuk menggunakan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen.
Lalu mengapa para oknum tersebut menggunakan ondel-ondel sabagai sarana untuk mengamen sedangkan banyak alat lain yang bisa digunakan, dimana dan kemana para oknum pengamen ondel-ondel ini biasa berkeliling.
Siapa yang dirugikan dari adanya oknum yang menggunakan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen, Serta sejak kapan para oknum tersebut menggunakan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen?Â
Sehingga muncul pemikiran untuk melakukan sebuah investigasi sederhana untuk mencari tahu apa saja fakta-fakta yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Investigasi dimulai dari menentukan siapa yang akan di teliti dan berkas-berkas apa yang dapat mendukung investigasi kami.Â
Lalu akhirnya setelah melakukan masa pencarian selama kurang lebih tiga bulan dan di era Covid-19 ini kami berhasil mendapatkan jawaban dari beberapa narasumber yang merupakan pengamen ondel-ondel, pemilik sanggar kebudayaan betawi, pihak yayasan yang fokus kepada pelestarian kebudayaan betawi, serta mempelajari literatur yang ada di berbagai media jurnalistik online dan data Perda Pemerintah Daerah yang membahas mengenai pelestarian budaya.
Pencarian awal kami dapatkan dengan mewawancarai narasumber yang merupakan pengamen ondel-ondel jalanan yang bernama Putra dan tinggal di daerah Kramat Sentiong kota Jakarta Pusat dan sedang berada di daerah Bambu Apus kota Jakarta Timur yang jaraknya cukup jauh dari tempat tinggalnya dan sedang mengamen.
Putra merupakan seorang anak berusia 17 tahun yang telah putus sekolah dan memilih untuk menjadi pengamen ondel-ondel, dia berkeliling menjadi ondel-ondel bersama sepupunya yang sudah berusia 20 tahun setiap harinya.Â
Kepada Putra kami menanyakan beberapa hal yang berkaitan dengan bagaimana seluk beluk menjadi seorang pengamen ondel-ondel serta mencoba memahami alasan kenapa mereka harus menjadi seorang pengamen ondel-ondel.
Kami mendapatkan jawaban diantaranya mereka adalah anak anak yang tidak melanjutkan sekolahnya karena tuntutan ekonomi dan menekuni kegiatan mengamen dengan ondel-ondel.Â
Seharinya mereka bisa memperoleh penghasilan mulai dari empat ratus ribu rupiah sampai yang paling banyak yaitu satu juta rupiah. Biasanya mereka menyewa ondel ondel dengan harga lima puluh ribu rupiah untuk ondel-ondel beserta alat musik pengiringnya serta tiga puluh ribu rupiah untuk ondel-ondelnya saja per hari. Mereka telah menjalani pekerjaan tersebut selama 3 tahun berturut turut.
Setelah itu kami menanyakan hasil dari mengamen yang didapatkan biasa mereka gunakan untuk apa, dan mereka menjawab jika hasil mengamen tersebut digunakan untuk makan dan membeli kebutuhan sehari-hari.Â
Lalu karena kami mendengar mengenai adanya kabar bahwa banyak dari pengamen tersebut yang menggunakan hasil mengamennya untuk membeli minum-minuman keras lantas kami menanyakannya juga.Â
Putra menjawab hal itu dengan membenarkan jika ada pengamen yang menggunakan hasil mengamen tersebut untuk membeli minum-minuman keras, namun tidak semua orang melakukannya, dan hanya oknum-oknum tertentu saja.Â
Dan terakhir kami menanyakan jika ada kesempatan lagi untuk bersekolah apakah Putra ingin melanjutkan sekolah, tetapi Putra dengan ragu menjawab jika ia tidak ingin lagi melanjutkan sekolah.
Dari jawaban yang diberikan oleh Putra, kami merasa belum puas dan terus mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut lagi dengan melakukan wawancara narasumber selanjutnya yang juga merupakan seorang pengamen ondel-ondel jalanan yang bernama Kevin.
Kevin mengamen bertiga bersama dengan dua kerabatnya yang berusia sekitar 13-15 tahun di sekitaran Ciracas, Pasar Rebo hingga ke Pulo Gadung Jakarta Timur.Â
Dari pertanyaan yang kami ajukan kami mendapatkan jawaban yang agak berbeda dengan yang Putra berikan, disini Kevin menjelaskan jika Awalnya mereka tidak di perbolehkan orangtuanya untuk menjadi pengamen ondel-ondel.Â
Karena mereka adalah anak-anak yang masih menempuh pendidikan sebagai siswa, tetapi dikarenakan sudah keseringan mengamen, akhirnya mereka di perbolehkan orang tuanya untuk menjadi pengamen ondel-ondel, dan memutuskan untuk berhenti dari sekolah.Â
Mereka mengakui pada awalnya mereka hanya iseng dan di ajak oleh orang lain menjadi pengamen ondel-ondel. Mereka mengakui banyaknya pengamen ondel-ondel didasari karena banyaknya pengangguran dan akhirnya lebih memilih untuk menjadi pengamen ondel-ondel.
Dari pertanyaan yang diajukan mereka paham jika tindakan menggunakan ondel-ondel untuk mengamen merupakan tindakan yang tidak benar. Mereka mengakui hal tersebut dapat menggeser nilai budaya terutama budaya betawi.Â
Selain itu mereka berkata jika mereka tahu pemerintah sudah memberikan larangan untuk menggunakan ondel-ondel sebagai alat mengamen.Â
Mereka menjelaskan jika mereka mengamen dengan alasan mencari tambahan uang jajan karena orangtua mereka tidak mampu memberikan uang jajan lebih, dan sisanya untuk orang tua mereka, kadang mereka memberi tiga puluh ribu rupiah hingga seratus ribu rupiah untuk orang tuanya.Â
Dengan keadaan mereka yang seperti ini mereka sangat mengharapkan agar ketika mereka mengamen tidak dimarahi oleh orang sekitar, karna mereka merasa bahwa mereka mengamen untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dari hasil penelusuran yang telah kami lakukan kepada pengamen ondel-ondel jalanan, akhirnya kami mencoba melakukan wawancara kepada beberapa pemilik sanggar kebudayaan yang memang fokus dengan budaya betawi terutama ondel-ondel.
Kami melakukan wawancara dengan bang Andi yang merupakan seorang pemilik sanggar Kinang Putra yang berlokasi di daerah Depok. Pertanyaan yang kami ajukan kepada bang Andi agak berbeda dengan pertanyaan yang kami ajukan kepada para pengamen ondel-ondel jalanan.Â
Di sini kami berfokus kepada hal-hal yang berkaitan dengan sejarah ondel-ondel, pelestarian ondel-ondel dan sikap para pemilik sanggar yang juga merupakan seorang seniman asli betawi.Â
Dari pertanyaan yang diajukan, bang Andi sempat menjelaskan mengenai asal-usul ondel-ondel yang awalnya terinspirasi dari orang-orangan sawah yang berguna untuk menakut-nakuti burung disawah, dia mengatakan asal-usul ondel-ondel memiliki beberapa versi dari orang. Bang Andi mengatakan jika awalnya ondel-ondel memliki ritual sebelum memainkannya, namun itu berlangsung pada zaman dahulu.
Mengenai penggunaan ondel-ondel sebagai sarana mengamen bang Andi memiliki dua pendapat yaitu positif dan negative, dari sisi negatifnya adanya pengamen ondel-ondel jalanan merupakan hal yang dapat mengganggu dan meresahkan bagi orang-orang disekitarnya dan juga dapat membahayakan pengamen itu sendiri saat dijalan raya.Â
Untuk sisi positifnya hal itu seharusnya bisa dijadikan peluang oleh pemerintah setempat untuk bisa melestarikan budaya ondel-ondel dengan memberikan panggung agar ondel-ondel dapat dikemas dengan lebih baik.
Menurut bang Andi para pengamen ondel-ondel itu tidak memiliki hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak tertentu atau lembaga-lembaga tertentu, mereka murni melakukan itu demi kebutuhan pribadi (tuntutan perut).Â
Bang Andi mengharapkan penggunaan ondel-ondel saat ini dapat dibina lebih baik oleh pihak yang berwenang agar citra ondel-ondel tidak rusak akibat dijadikan objek mengamen.Â
Bang Andi berkata jika sebenarnya regulasi mengenai pelarangan ondel-ondel jalanan sudah pernah diajukan, akan tetapi pada faktanya dilapangan pengamen ondel-ondel tidak pernah bisa dihilangkan karena memang selalu saja faktor ekonomi yang menjadi alasan. Â
Dari sisi ini bang Andi tidak setuju dengan adanya pengamen ondel-ondel jalanan karena hal tersebut malah menjatuhkan nilai budaya betawi dan merusak pasar bagi para seniman betawi yang sudah memiliki sanggar dan resmi. Akan tetapi bang Andi juga berharap jika bisa pemerintah membuatkan wadah untuk setiap sanggar yang memiliki ondel-ondel untuk dilombakan.Â
Selain menjelaskan mengenai keresahan dan pandangannya terhadap pengamen ondel-ondel bang Andi juga menjelaskan mengenai makna berbudaya, menurut bang Andi berbudaya bisa dimulai dari lingkungan paling kecil seperti dirumah, dan harus ditanamkan kepada anak anak agar tidak menghilangkan ciri khas Negara kita.
Setelah melakukan wawancara dengan bang Andi kami mencoba memperjelas penelusuran kami dengan mewawancarai beberapa narasumber serupa.
Salah satunya adalah mpok Linda yang merupakan keturunan dari pemilik sanggar Keluarga Ucup Nirin (bang Ocid) dan mendapatkan beberapa jawaban.
Mpok Linda menyatakan bahwa ondel-ondel merupakan maskot betawi, tetapi semakin kesini semakin banyak orang yang tidak mengerti arti dari ondel-ondel tersebut.Â
Ia merasa bahwa sekarang ondel-ondel yang sering turun kejalan itu merupakan seniman yang ingin mencari nafkah, hal tersebut dikarenakan saat ini sudah jarang orang yang memakai ondel-ondel untuk acara-acara tertentu.Â
Ondel-ondel jalanan itu sendiri disebut oleh mpok Linda dengan istilah ondel-ondel ngarak, ondel-ondel yang dibayar pada hari itu walaupun hanya sedikit. berbeda dengan ondel-ondel yang sering di panggil untuk tampil di hotel-hotel yang biasanya bisa mendapatkan bayaran yang lebih banyak.
Mpok Linda berpendapat bahwa pengamen ondel-ondel jalanan merupakan hal yang salah, ia merasa miris akan hal ini, dan sangat mengharapkan himbauan dari pemerintah.Â
Bagi mpok Linda hal tersebut mungkin karena mereka yang saat ini mengamen di luar sana belum mempunyai wadah sanggar yang bisa merangkul mereka.Â
Dan ia juga berpendapat jika pengamen ondel-ondel sendiri sangat mengurangi arti nilai dari kebudayaan ondel-ondel itu, tapi dikarenakan ini merupakan urusan kebutuhan hidup, ia hanya bisa menerima dan merasa sedih dengan keadaan ini dan tidak berani untuk menegur.
Selain bang Andi dan mpok Linda kami juga mewawancarai bang Pendi sebagai pemilik sanggar Benuang Sakti dan mendapatkan beberapa jawaban yaitu yang pertama dari sisi sejarahnya bang Pendi memiliki versi lain dengan narasumber sebelumnya yaitu pada masa dinamisme (nenek moyang) dulu terdapat suatu wabah penyakit cacar dan akhirnya masyarakat memiliki inisiatif untuk membuat boneka besar untuk diarak keliling kampung.Â
Dengan anggapan untuk mengusir roh jahat dan dapat menggursir penyakit, dimana pembuatan dan pemain boneka tersebut harus menjalani ritual terlebih dahulu.Â
Dulu awalnya dinamai Barongan Betawi. Seiring berjalannya waktu munculnya seniman-seniman Betawi ternama seperti Benyamin Sueb yang memiliki inisiatif memberi nama menjadi Ondel-Ondel dan dijadikan lagu. Â
Memasuki era kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur DKI Jakarta penempatan fungsi ondel-ondel berubah menjadi entertainment (hiburan), dimana sebelumnya fungsi Ondel-ondel sebagai arak-arakan sunat, pernikahan Betawi dan bersifat lebih sakral.Â
Namun hingga sekarang fungsi itu kian menurun lebih banyak tergantikan atau sarana penyambut tamu kenegaraan serta menjadi pajangan di tempat tempat penting.
Sebagai seorang seniman yang bergelut dibidang ondel-ondel bang Pendi keberatan dengan adanya ondel-ondel jalanan, karena ondel-ondel yang sudah dibuat untuk komersil secara pribadi sudah tidak memntingkan nilai budayanya.Â
Selain itu bang Pendi juga mengatakan jika sebenernya untuk penyewaan atribut ondel-ondel jalanan tidak pernah ada yang terdaftar dalam asosiasi kebudayaan Betawi.Â
Terdapat oknum yang bisa membuat dan menyewakan kepada orang-orang untuk dijadikan komersil alat mengamen dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi, bahkan terdapat suatu daerah di DKI Jakarta yang berisikan semua warganya menjalani sebagai pengamen ondel-ondel jalanan.
Selain itu bang Pendi juga beranggapan bahwa Untuk nilai pelestarian budaya yang dilakukan oleh pengamen ondel-ondel jalanan cukup kurang, karena mereka hanya tampil seadanya dalam artian tidak memahami kaidah dalam memeragakan pertunjukan ondel-ondel.Â
Hal ini yang mengkhawatirkan dan akan menyebabkan nilai budaya ondel-ondel akan menurun atau bahkan menghilangkan representasi ondel-ondel Betawi yang sebagaimana mestinya.
Bang Pendi mengatakan jika ia sudah pernah untuk berkomunikasi dengan ondel-ondel jalanan dan pemda untuk diberikan tempat untuk tampil dan diwadahi.Â
Namun pemda memiliki beberapa kriteria terkait pemberian wadah kepada seniman ondel-ondel seperti dari segi keunikan dan keahlian dalam memainkannya. Hal inilah yang sulit untuk merelokasi mereka yang hanya memiliki kemampuan untuk memainkannya saja tanpa memiliki keunikan dan keahlian khusus.
Selain membahas mengenai apa yang akan terjadi jika pengamen ondel-oondel terus berkeliaran bang Pendi juga memberikan pendapatnya mengenai adanya anak-anak kecil yang malah menjadi pengamen ondel-ondel jalanan.Â
Menurutnya jika memang terdapat anak kecil dalam pertunjukan ondel-ondel jalanan ini merupakan hal yang sangat disayangkan terlebih hal tersebut dapat mengancam keselamatan mereka jika dijalanan dan sebenaranya belum waktunya mereka untuk mencari uang.Â
Namun positifnya jika tujuan anak-anak ini ingin mengetahui lebih jauh tentang budaya ondel-ondel, hal itu akan melestarikan budaya ondel-ondel tersebut namun dengan catatan tidak dengan cara mengamen dijalanan.
Setelah melakukan wawancara kepada beberapa seniman asli betawi dari sanggar kebudayaan betawi akhirnya kami mencoba untuk melakukan wawancara kepada Om Hony yang merupakan seorang perwakilan dari Yayasan Benyamin Sueb yang memang berfokus kepada promosi kebudayaan betawi di masyarakat.Â
Menurut Om Hony ondel ondel dianggap sebagai benda yang digunakan untuk mengusir bala dan simbol kesuburan pada zaman dahulu dan merupakan hiburan yang sangat disenangi oleh masyarakat.Â
Namun saat ini ondel-ondel tidak dianggap lagi sebagai sebuah hiburan karena perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, hal tersebut dikarenakan zaman sekarang hiburan sudah berkembang dan akhirnya ondel-ondel sudah tidak dianggap lagi sebagai hiburan seperti bagaimana pada zaman dahulu.
Untuk ondel ondel dijadikan sebagai sarana mengamen Om Hony mengatakan hal itu bisa dilihat dari bagaimana sudut pandang orang orang melihat ondel-ondel apakah sebagai sarana yang dapat menghibur atau bisa menjadi hal yang mengganggu.Â
Karena dari yang dilihat di masyarakat eksistensi pengamen ondel-ondel jalanan ini memiliki dua pandangan yaitu ada orang yang merasa terganggu dengan adanya pengamen ondel-ondel jalanan dan ada juga orang yang merasa senang saat melihat ondel-ondel jalanan, sehingga bagi om Hony baik buruknya pengamen ondel-ondel jalanan itu bergantung dari bagaimana masyarakat menyikapi.
Sehingga adanya pengamen ondel-ondel jalanan juga tidak bisa disalahkan dan menjadi hal yang wajar melihat dari besarnya kebutuhan ekonomi para pengamennya.Â
Dan untuk permasalahan perlibatan anak-anak dalam pengamen ondel-ondel jalanan seperti itu ia mengatakan bukan hanya ondel-ondel saja, namun banyak hal yang akhirnya melibatkan anak-anak terjun kejalan dalam kegiatan mencari penghasilan, dan hal itu jelas disalahkan karena eksploitasi anak sudah ada hukum dan undang undangnya sendiri yang mengatur.
Pendapat om Hony tidak menjadi akhir dari pencarian kami, dari jawaban yang sudah ada akhirnya kami mencoba mewawancarai seorang penyedia jasa ondel-ondel yang bukan merupakan orang betawi asli yang biasa disebut pakde Kusyanto, ia merupakan orang biasa yang tidak memiliki sanggar kebudayaan dan hanya sebagai penyewa ondel-ondel rumahan untuk festival-festival kebudayaan.
Tanggapan pakde Kusyanto untuk pengamen Ondel-ondel itu sudah mengurangi nilai sakral dari ondel-ondel itu sendiri, sedangkan sekarang ondel-ondel hanya tersisa nilai budayanya. Pakde Kusyanto berpendapat jika pengamen ondel-ondel jalanan sendiri itu biasanya disewa dari sanggar-sanggar menyediakan.Â
Pakde mengatakan, sekarang tradisi sudah berkurang, kegunaan Ondel-ondel yang biasanya di pakai untuk tolak bala, justru di pakai untuk mencari uang dijalanan.
Menurut pakde cara untuk melestarikan ondel-ondel yaitu dengan mengundang ondel-ondel ke acara-acara yang ada, ia merasa bahwa keterbatasan dana sangat mempengaruhi kelestarian kebudayaan Betawi ini. Dan untuk seniman sendiri yang melestarikan, tergantung mereka yang menyikapinya. Ia merasa bahwa tidak harus mengamen di jalanan cara untuk melestarikan, karna masih banyak panggung-panggung betawi yang bisa ia gunakan.
Setelah melakukan penelusuran dengan cara mewawancarai narasumber langsung untuk mencari tahu bagaimana sebenarnya mengenai fakta, pendapat, dan sikap mereka terhadap eksistenti pengamen ondel-ondel jalanan.
Akhirnya kami mencoba melakukan penelusuran melalui internet untuk mencari tahu apakah ada undang-undang yang mengatur mengenai pelarangan pengamen ondel-ondel atau tidak, lalu pada akhirnya kami menemukan PERDA DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi.Â
Setelah membaca isi dari PERDA tersebut, kami tidak menemukan adanya aturan spesifik mengenai larangan pengamen ondel-ondel jalanan. Dari pasal-pasal yang berlaku dapat dilihat pada pasal 2 dan pasal 4 yang membahas mengenai tujuan dan prinsip serta tugas dan wewenang pemerintah dalam melestarikan nilai budaya Jakarta yang hanya berfokus kepada bagaimana cara melakukan pelestarian.
Pada BAB IV bagian kedua yang membahas mengenai kesenian, pasal 11 juga tidak membahas secara spesifik mengenai cara masyarakat untuk tidak mempergunakan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen.Â
Akan tetapi setelah menelusuri lagi dari media jurnalistik online sebenarnya sudah pernah ada usulan dari DPRD DKI Jakarta untuk membuat larangan mengenai penggunaan ondel-ondel untuk mengamen.Â
Sayangnya sejak artikel tersebut diterbitkan hingga saat ini kami belum menemukan adanya perubahan dari PERDA DKI Jakarta Nomor 4 Tahun 2015 tersebut. Sehingga menjadi hal yang wajar jika pengamen ondel-ondel masih terus berkeliaran.
Setelah melakukan serangkaian penelusuran mengenai fenomena ondel-ondel jalanan kami akhirnya mengambil kesimpulan untuk menjawab pertanyaan kami di awal.Â
Pada dasarnya ondel-ondel merupakan sebuah warisan budaya yang memang harus dijaga keberadaannya, akan tetapi penggunaan dari ondel-ondel juga harus diperhatikan.Â
Dari jawaban para narasumber dan juga literatul yang telah kami pelajari, kami menemukan jawaban dari pertanyaan apakah pengamen ondel-ondel tidak merusak nilai budaya betawi dan apakah yang mendasari mereka untuk menggunakan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen adalah pengamen ondel-ondel jalanan jelas bisa merusak nilai budaya betawi karena pada dasarnya menggunakan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen merupakan suatu cara yang salah dalam mempergunakan ondel-ondel.
Hal tersebut didasari dengan ondel-ondel yang sering turun ke jalan tidak mampu menampilkan ciri khas ondel-ondel dengan baik seperti contohnya musik yang digunakan oleh pengamen ondel-ondel bukanlah musik yang dimainkan dengan alat musik asli betawi tetapi malah menggunakan audio.Â
Lalu mereka juga tidak mampu memberikan penampilan yang dapat menarik perhatian masyarakat sehingga hal tersebut jelas menghilangkan esensi daripada ondel-ondel tersebut.Â
Hal yang mendasari mereka untuk mempergunakan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen adalah karena faktor ekonomi yang mengharuskan mereka untuk menjadi pengamen ondel-ondel.
Selain itu rendahnya tingkat pendidikan mereka juga menjadi alasan karena disatu sisi mengamen ondel-ondel menjanjikan penghasilan yang cukup besar sehingga banyak anak-anak yang tergoda untuk menjadi pengamen ondel-ondel.
Untuk menjawab pertanyaan mengapa para oknum tersebut menggunakan ondel-ondel sabagai sarana untuk mengamen sedangkan banyak alat lain yang bisa digunakan adalah mereka menganggap mempergunakan ondel-ondel tidak serumit menggunakan alat musik lain seperti gitar yang pada umumnya digunakan oleh pengamen dan membutuhkan keahlian khusus.
Lalu ondel-ondel juga dapat disewa dengan biaya yang relative murah dan menjanjikan keuntungan yang besar ketimbang menggunakan alat musik asli yang mana mereka harus membeli dahulu alat musik tersebut.
Lalu mengenai Dimana dan kemana para oknum pengamen ondel-ondel ini biasa mengamen kita dapat melihat pada dasarnya para pengamen ondel-ondel tidak terpaku pada satu daerah saja, mereka rela berkeliling dengan jarak yang cukup jauh karena mereka menganggap dengan begitu mereka mampu mendapatkan hasil yang maksimal.Â
Sedangkan untuk menjawab siapa yang akan dirugikan dari adanya oknum pengamen ondel-ondel tersebut dapat dikatan jika hampir semua masyarakat dapat dirugikan, yaitu para masyarakat yang terkadang merasa terganggu dengan sikap para pengamen yang terkesan memaksa saat sedang meminta uang kepada masyarakat.
Para pengguna jalan yang kerap terganggu karena pergerakan ondel-ondel yang memakan lapak cukup besar, lalu para seniman asli yang tidak menyewakan ondel-ondel untuk mengamen karena mereka merasa hal tersebut malah mengurangi esensi dari ondel-ondel.
Dan yang pasti para pengamen ondel-ondel jalanan itu sendiri karena dengan mereka mengamen mereka malah akan membahayakan diri mereka sendiri karena besar kemungkinan mereka akan mengalami kecelakaan di jalan yang disebabkan oleh pengendara kendaraan.Â
Lalu untuk sejak kapan para oknum pengamen ondel-ondel tersebut mulai menjadi pengamen adalah biasanya mereka sudah menjadi pengamen sejak mereka masih anak-anak dari rentang usia 13 hingga 20 tahun dan mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya karena mereka telah merasakan kesenangan sesaat dari mengamen ondel-ondel.
Pada dasarnya mengamen ondel-ondel bukanlah merupakan hal yang dibenarkan oleh siapapun, hal tersebut dikarenakan dengan menjadi pengamen ondel-ondel masyarakat malah akan berpersepsi jika ondel-ondel hanya menjadi alat hiburan masyarakat kelas menengah ke bawah dan bukan merupakan suatu warisan budaya yang harus dilestarikan.
Dengan terbentuknya persepsi tersebut jelas membuktikan jika fenomena pengamen ondel-ondel jalanan mampu menggeser nilai budaya dan esensi dari ondel-ondel.
Maka dari itu sebagai masyarakat yang bijak ada baiknya jika seluruh masyarakat tidak memanfaatkan ondel-ondel sebagai alat untuk mengamen dan tidak memandang rendah ondel-ondel hanya sebatas alat untuk mengamen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H