Namun dengan cerdiknya, industri rokok didukung oleh pimpinan daerah dan anggota DPR setempat justru mengkambinghitamkan kebijakan pengendalian tembakau sebagai biang kerok yang membuat buruh tani, petani dan buruh linting menderita di lapangan, termasuk menyusutnya jumlah pabrikan rokok kecil-mungil. Sementara itu mereka yang besar-besar justru berkibar menikmati minimnya pembatasan dan pengendalian. Mereka bebas beriklan, memberikan bantuan via CSR, menjadi sponsor dan bahkan berpromosi dengan cara halus maupun terang-terangan. Melalui kekuatan lobby industri bahkan mampu merevisi Peta Jalan Produksi Industri Hasil Tembakau melalui Peraturan Menteri Perindustrian nomor 63/M-IND/PER/8/2015 untuk tahun 2015-2020. Lucu saja, jumlah pabrikan kecil menyusut, petani tembakau merugi, buruh linting di-PHK, tapi impor tembakau justru mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan laporan keuangan industri rokok untuk Semester I/2016 mengalami kenaikan laba dan target penerimaan cukai tahun 2015 masuk di atas 100%. Tapi industri rokok tetap saja mengeluh mengalami pembatasan di sana-sini dan selalu menyuarakan penderitaan petani, buruh, dan mengancam akan mengerahkan mereka jika pemerintah menaikkan cukai rokok.
Jika memang demikian, siapa yang justru menginginkan petani dan buruh tetap melarat dan menjadi mustahiq zakat maupun hewan qurban setiap tahun? Dimana keberpihakan pemerintah dan DPR setempat? Atau mereka malah bangga menyaksikan rakyatnya menjadi mustahiq tetap setiap tahun?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H