Topik tax amnesty (TA) sudah mulai menghangat. Ini ditandai dgn adanya upaya dari sekelompok masyarakat yang melakukan upaya judicial review terhadap UU TA dengan alasan UU ini tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat karena justru memberi ampunan kepada para pencoleng ekonomi dan pajak. Namun jika mau sedikit realistis, dari dulu kita cuma bisa teriak2 saja bahwa pencoleng dari jaman Orba sampai reformasi menyimpan uangnya di Singapura. Tapi tidak ada satupun yang beraksi ataupun menawarkan konsep repatriasi karena selalu khawatir bersinggungan dengan rasa keadilan publik. Dihadapkan pada sistem peradilan Singapura pun kita gagal menarik dana koruptor Ibnu Sutowo. Bahkan menarik harta gelap Soeharto di Swiss pun pejabat kejaksaan kala itu juga memble. Sekarang pun ketika keluarga Soeharto diminta mengembalikan dana 4 trilyun sesuai keputusan pengadilan, tak ada yang tuntas. Singapura secara praktik sudah merupakan tax haven country yg menawarkan berbagai skema yang membuat dana warga RI nyaman parkir di sana. Itu faktanya.
TA menawarkan insentif yang menarik sehingga dana parkir tadi diharapkan bisa masuk ke dalam negeri melalui berbagai instrumen. Mungkin ada yang berpendapat tidak adil karena itu duit hasil penggelapan yang belum dipajaki. Tapi kembali lagi, kita tidak bisa bicara keadilan semata2 sebagai nilai, tapi kita juga harus mewujudkan nilai keadilan tadi ke dalam sistem dan instrumen peradilan yang baik. Akui saja bahwa sistem peradilan kita bermasalah secara mendasar. Kalau tidak bermasalah, bagaimana bisa KPK menangkap-tangani para polisi, hakim, panitera, jaksa, pengacara, dll bahkan sampai menjelang Ramadhan berakhir beberapa minggu yang lalu?
Kita harus sadari bahwa menarik dana hasil korupsi atau penggelapan itu bukan perkara mudah. Lha wong melindungi TKI saja kita kedodoran di hadapan sistem hukum negara lain. Ini penting supaya kita tidak sekedar berwacana saja tentang keadilan sebagai sebuah konsepsi, tapi keadilan yang bersifat praktis dan membumi. Oke bahwa harta parkiran itu diampuni dan itu tidak adil, tapi jika dari harta yang kemudian masuk ke dalam instrumen keuangan atau modal itu bisa melipatgandakan pertumbuhan ekonomi, membuka lapangan kerja baru, menciptakan nilai tambah baru, memperkuat daya saing, bukankah setelahnya kita bisa memberikan hak dan keadilan yang lebih riil bagi rakyat miskin untuk memperoleh pendidikan lebih luas lagi, memberi kesempatan bagi para petani untuk bisa mengakses kredit dan pupuk murah agar mereka tetap bergiat untuk bercocoktanam, memberi peluang bagi buruh untuk menikmati kesejahteraan lebih baik, memberikan akses bagi warga desa untuk menikmati jembatan permanen yang menghubungkan desa ke kota dan sebaliknya, dan bahkan menyiapkan alutsita bagi penguatan pertahanan wilayah RI? Bukankah ini perwujudan dari sila ke-5, KEADILAN SOSIAL bagi SELURUH rakyat Indonesia? Atau kita mau tetap begini2 saja dan seperti yang sudah2 cuma bisa berkoar2 tentang konsep keadilan yang ideal cenderung utopis? Padahal kita saat ini berada di dunia yang sangat terbuka dan saling berkompetisi untuk memakmurkan warganya masing-masing
TA membuka pintu lebar2 bagi masuknya kembali dana parkir tersebut untuk kembali ke tanah air dan diinvestasikan di sektor riil. Singapura pun sudah kebat-kebit khawatir dengan eksodus besar2an dana yang selama ini parkir, kembali ke Indonesia. Australia sudah mulai meniup2kan isyu negatif tentang kepemimpinan ekonomi Indonesia padahal sebelumnya memuji setinggi langit. Ya gimana gak muji wong mereka melihat rakyat RI semata2 sebagai pangsa pasar konsumen saja. Tapi lihat nanti jika pendapatan per kapita penduduk Indonesia naik dan daya beli yang meningkat, negara tetangga pun akan memperoleh dampak positifnya, termasuk Singapura dan Australia.
Itu sebabnya dunia usaha optimis dengan konsep TA ini. Terbukti pergerakan saham di bursa pasca kick off TA oleh presiden Jokowi menguat. IHSG menguat, mata uang Rupiah juga menguat. Pendek kata sinyal positif kebijakan TA ini sudah tampak di depan mata. Ini belum pernah terjadi sepanjang kepemimpinan seorang presiden di Indonesia. Kita tidak dalam situasi dipaksa duduk di depan kapitalis2 dunia untuk menandatangani kontrak kaplingan jatah proyek balas jasa seperti di awal Orde Baru. Kita hari ini adalah benar2 jati diri kita sebagai bangsa mandiri yang berkehendak untuk maju dan sejajar dengan bangsa2 maju lainnya. Ini bukan sekedar masalah tercapai tidaknya target penerimaan pajak di APBN, tapi kesinambungan kehidupan bangsa kita ke depannya. Kita mau move on atau tetap menjadi bangsa yang cuma bisa berkoar2 marah meratapi masa lalu dan menyalahkan bangsa lain?
Mewujudkan keadilan itu penting, tapi menegakkan ketertiban itu jauh lebih utama, karena sejak selesai TA ini tak ada lagi hanky-panky, dunia usaha wajib tertib menata diri dalam mengelola usahanya, birokrasi pemerintahan juga wajib transparan dan melayani, dan tidak lagi bersikap santai layaknya ndoro. Jika salah satu atau keduanya melanggar hukum, balasannya jelas, tegas, lugas dan tidak ada kompromi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H