Mohon tunggu...
Cak Kartolo
Cak Kartolo Mohon Tunggu... -

Iklan rokok membuat masyarakat kita permisif terhadap asap rokok. Pendukung gerakan anti-JPL (Jaringan Perokok Liberal). Penggagas hash tag #buangsajarokokmu

Selanjutnya

Tutup

Money

KEBIJAKAN PENGENDALIAN ROKOK VS KEDAULATAN NEGARA

20 Juni 2015   21:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:21 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kalau sekilas kita baca berita2 tentang industri rokok di media2 besar kyk CNN, BBC, Guardian, NYT, Economist, FT, dll, rokok terlihat sudah berhasil didenormalisasi, sudah dipandang bukan barang normal lagi, wajib dijauhi, dst. Berita2nya justru lebih banyak dari sisi mudharat dari pada manfaatnya. Tampaknya, industri rokok tidak diberi tempat di negara2 maju. Mereka diusir dari negara asal untuk mendirikan basis2nya di negara2 berkembang. Produksi rokok di negara2 berkembang pun meningkat dalam 5-10 tahun terakhir. Tapi biaya kesehatan dan korban rokok pun meningkat 2-3 kali lipat dari sebelum2nya.

 

'Celakanya', negara2 maju mulai menerapkan kebijakan plain package. Kebijakan ini tentu saja bagus buat negara yang menerapkan karena rakyatnya bisa lebih sehat karena terlindung dari mengkonsumsi rokok. Sehingga konsumen rokok di negara2 maju pasca penerapan PHW dan apalagi plain package mulai menunjukkan angka penurunan. Kebijakan pengendalian rokok yang ketat di negara2 maju ini membuat negara berkembang seperti Indonesia yang lemah penegakan hukum dan pengendalian rokoknya menjadi tempat produksi sekaligus tempat pemasaran rokok. Ekspor rokok dari negara berkembang 'dihambat atau diblokade' dengan cara menurunkan minat konsumen rokok di negara2 maju, salah satunya dengan cara PHW dan plain package.

 

Akibat dari pola kebijakan pengendalian rokok yang berbeda antara negara2 maju dan berkembang mengakibatkan negara berkembang seperti Indonesia yang kebijakannya lemah menjadi terkepung dan hanya menjadi tempat sampah produk2 yang membahayakan kesehatan seperti rokok ini. Jumlah penduduk RI yang mencapai 250 juta ini merupakan pangsa pasar empuk produk rokok. Apalagi Indonesia enggan mengaksesi FCTC, padahal FCTC itu salah satu cara untuk melindungi rakyat RI dari agresivitas industri rokok. Tidak usah menyalahkan negara2 lain atas kebijakan mereka, karena mereka hanya melakukan apapun yang terbaik untuk melindungi rakyat mereka. Negara kita saja yang tidak punya kemauan politik yang kuat untuk melindungi rakyat RI dari ancaman bahaya asap rokok dan rakusnya kapitalis industri rokok.

 

Kondisi ini akan tetap demikian sampai rakyat RI dengan kesadarannya sendiri mau berhenti merokok demi terjadinya perubahan nasib, karena seperti bunyi ayat Qur'an yang mengatakan bhw Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu mau mengubah nasibnya sendiri. Berhenti merokok adalah bagian dari kemauan untuk mengubah nasib bangsa kita, agar bangsa kita menjadi bangsa yang kuat dan berdaulat.

 

So, mulailah dari diri sendiri. Berhentilah merokok sekarang juga. Di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Untuk selamanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun