Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membangun Sekolah Unggul di Wilayah Perusahaan

3 Oktober 2023   18:57 Diperbarui: 6 Oktober 2023   10:31 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehadiran sebuah korporasi di sebuah daerah pada umumnya disikapi masyarakat dengan pro dan kontra. Masyarakat yang menerima karena dianggap akan meningkatkan ekonomi mereka dan masyarakat yang menolak karena akan mengganggu aktivitas mereka yang sudah puluhan tahun bahkan ratusan tahun berlangsung. Dalam konteks pro dan kontra itulah sebelum perusahaan berdiri maka wajib dibuat dokumen lingkungan yang isinya analisis dampak kehadiran perusahaan terhadap lingkungan biotik, abiotik dan sosial masyarakat.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dijelaskan bahwa seluruh aktivitas pembangunan wajib memiliki dokumen lingkungan sesuai dampak penting yang ditimbulkan.

Dokumen lingkungan itu berupa Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL), Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Di dalam dokumen itulah ditulis kajian dampak penting kegiatan jangka pendek, menengah dan kegiatan jangka Panjang.

Dalam kajian dokumen lingkungan ada masalah yang sangat serius yang dilupakan para pakar lingkungan yang menyusun dokumen lingkungan yaitu masa depan anak-anak terdampak oleh proyek pembangunan.

Mereka yang menyusun dokumen lingkungan kesannya fokus terhadap ekonomi sesaat. Paradigma inilah yang membuat penyusun dokumen lingkungan cenderung menulis peluang ekonomi pasca proyek.

Saya pernah membaca dokumen lingkungan pembangunan pelabuhan di Sibolga tahun 2000-an yang menulis bahwa kehadiran pelabuhan akan membuka peluang masyarakat membuka usaha Warung Telepon (Wartel) dan rumah makan.

Ketika saya membaca dokumen itu, maka yang terpikir adalah usaha wartel bisa berubah dan rumah makan terbuka bagi mereka yang bukan terdampak proyek Pembangunan Pelabuhan. Mereka yang tergusur Pembangunan Pelabuhan adalah nelayan. Dan, kini Wartel lenyap karena disrupsi.

Dalam pengamatan saya selama ini bahwa dokumen lingkungan terkesan hanyalah prosedural hukum yang harus dilalui dalam rangka memperoleh izin lingkungan. Potensi pemilik proyek dengan pemerintah berkolusi dalam rangka memperoleh izin lingkungan sangatlah tinggi.

Dengan demikian dokumen lingkungan hanyalah formalitas belaka. Dengan kata lain dokumen lingkungan tidak memiliki makna apapun dalam rangka menyelamatkan lingkungan hidup.

Selain dokumen lingkungan hidup sebagai formalitas dan juga hampir tidak pernah dijadikan sebagai dokumen pengendalian kegiatan proyek dapat dilihat ketika terjadi konflik. Ketika terjadi konflik karena kehadiran proyek pejabat yang muncul di ruang publik memberikan keterangan berdasarkan pikirannya tanpa mengacu ke dokumen lingkungan sebagai kitab "suci" proyek. Kebiasaan inilah yang membuat informasi simpang siur. Sejatinya, semua bicara berdasarkan dokumen lingkungan yang sudah disahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun