Dulu waktu kuliah  sekitar tahun  90-an  saya senang berkeliling Danau Toba dan menjumpai  teman-temanku SD, SMP, dan SMA  ketika libur panjang sekitar  2 bulan.  Ibuku petani tetapi  ketika aku kuliah  tidak diperbolehkan  ikut ke sawah atau ke ladang  tanpa alasan tertentu.  Katanya, sawah sudah disewakan kea yang lain, jadi  fokus kuliah saja.  Karena tidak ada aktivitasku selama liburan panjang maka  saya sering berkeliling  Danau Toba dengan sepeda motor.  Saya  senang mengamati  Danau Toba dan kehidupan sosial masyarakat di sekitar Danau Toba.
Suatu pagi saya menjumpai seorang pria separuh baya yang sedang  ditinggal istrinya karena  cucunya lahir di Sibolga.  Pria separuh baya itu keluar rumah dan mengatakan  kita mau  minum  kopi tapi  tidak ada  air panas .  Tidak ada air panas karena nantulangmu (istrinya)  pergi ke Sibolga karena pahompu (cucunya) lahir di Sibolga.  Tadi malam, aku pulang dari lapo (kedai tuak)  dengan rasa lapar.  Kucoba memasak nasi pakai rice cooker tapi sampai sekarang belum masak nasinya.
Tadi malam sekitar pukul 24.00 WIB   aku lapar sekali, aku ke dapur  dan memasukkan beras ke  rice cooker. Kutunggu sampai pukul 4.00  tidak masak dan  emosi aku.  Hupasak (kubanting)  rice cooker  karena dibeli yang  rusak-rusak. Masa sudah 4 jam kutunggu tidak masak?  Dasar rice cooker bodong entah dibeli darimana, katanya menjelaskan.
Dari penjelasan itu, saya ajak ke dapur untuk melihat rice cooker itu. Saya kaget karena rice cooker sudah retak karena dibanting pakai kayu.  Alangkah kagetnya saya, nasi tidak masak karena tidak ditekan tombol cook.  Saya ketawa sambil sedih melihat keadaan itu.  Dia sendiri di rumah karena anak-anaknya sudah  pergi merantau.  Begitulah tulang (paman) kalau selama ini tidak baik sama istri. Andaikan tulang baik sama istri, sebelum ke Sibolga sejatinya  diajari cara masak dengan rice cooker.  Betul itu bere, katanya dengan sikap tertunduk.
Menurut pria separuh baya itu,  dia sudah mencoba  mencari kayu bakar untuk memasak seperti dahulu kala. Tetapi,  kayu-kayu di sekitar rumah  basah karena hujan kemarin sore.  Perutku bunyi-bunyi karena lapar dan tidak ada  lagi tempat untuk mencari makan.  Untunglah bere datang dan aku sudah bisa diajari cara masak pakai rice cooker.  Setiap pagi dan sore saya memeriksanya apakah sudah bisa atau tidak  agar tidak kelaparan.  Setelah dua hari kuperhatikan sudah lancar, maka  tidak lagi saya periksa.
Dua minggu kemudian  di  siang hari saya pergi lagi ke tempat itu. Istrinya sudah pulang dari  Sibolga membawa ikan asin yang  enak.  Saya kaget ternyata pria separuh baya itu sakit  dan berjemur di halaman rumah.  Kami bertiga bercakap-cakap di atas kursi  sambil menikmati  sinar matahari.  Nantulang (istrinya) itu menyodorkan kopi ke kami berdua.  Pembicaraan kami sering terganggu karena cukup banyak anjing yang menggonggong dan sejumlah ayam berkokok dan mengejar ayam betina untuk kawin. Â
Saya ceritakan ke nantulang itu bahwa saya sudah ingatkan tulang agar baik-baik  ke nantulang karena sudah menikmati dampaknya.  Nantulang itu mengaminkan dan memang sengaja tidak mengajari  memasak pakai rice cooker.  Tujuannya supaya  hidupnya tidak suka-sukanya saja.  Apakah tulang sudah sadar betapa  pentingnya nantulang dalam hidup tulang? Kusadarinya bere tapi susah melakukannya, kata tulang itu dengan lembut.
Nantulang itu cerita ketika  muda bahwa tulang itu jahat dan kejam.  Tulang itu pemabuk,  pemain judi dan suka  perempuan lain.  Nantulang itu melanjutkan ceritanya bahwa anak-anaknya ada  7 orang.  Ketika  mereka panen padi di ladang, tulang itu asyik-asyik di lapo dan goni toke datang untuk  diisi untuk membayar hutangnya tulang untuk judi, mabuk dan  untuk perempuan lain. Sedih kalilah hatiku jika kuingat perilaku tulangmu ini.
Bertahun-tahun kami  mengalami bahwa kami menanam padi dan ketika kami panen,  goni dari toke (pengijon) datang untuk mengambil hasil. Hasil panen lebih banyak  untuk toke daripada  sisa untuk kami.  Hatiku tersayat-sayat jika kuingat semua itu.  Saya tidak kuat juga mendengar  cerita nantulang  itu. Tulang itu tidak ada reaksi apapun dan justru menambah cerita jahatnya dia.  Jahat kali dulu aku bere sama nantulangmu, katanya dengan tanpa beban.
Bagaimanalah  perasaanmu nantulang melihat tulang  kini sakit? Ketika mengurus tulang yang dulu jahat ini harus diurus nantulang setiap hari?  Bagaimanalah perasaanmu tulang yang melakukan kejahatan sama nantulang tapi harus diurus karena sakit seperti ini?  Tulang itu dengan santai mengatakan bahwa aku sudah bilang nantulangmu agar , "putaslah aku hasian" ( racunlah aku sayang).  Sudah berulangkali  aku minta nantulangmu agar aku diracun saja. Ndang olo nantulangmu mamutas ahu (nantulangmu tidak mau meracun aku). Berulangkali aku minta ketika  aku taku tak kuat menahan sakit.