Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Polisi Sulit Rasional?

1 September 2022   19:14 Diperbarui: 1 September 2022   19:31 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Kasus Brigadir J  yang diduga   dibunuh  dengan sengaja oleh FS  di rumah  dinas FS merupakan puncak   cerita mengerikan di tubuh internal  polisi.  Bagaimana mungkin negara menggaji  polisi untuk membunuh polisi?  Kasus ini adalah tragedi  yang teramat memilukan.  Bagaimana bisa terjadi kasus yang mengerikan seperti  tewasnya brigadier J yang diduga  ditembak oleh pimpinannya?   Mengapa hal itu bisa terjadi?

Dalam keseharian saya sering bertanya dalam hati, "masihkah ada yang suka  dengan polisi diluar polisi  atau keluarga polisi?"  Pertanyaan itu muncul karena pengalaman saya sejak kecil  sangat mengecewakan kepada polisi ditambah dengan cerita-cerita pengalaman teman  berhubungan dengan polisi.  Bahkan berulangkali  teman mengatakan  jangan lawan polisi.   Mengapa muncul saran agar jangan lawan polisi?   

Hal itu terjadi karena pada umumnya polisi ingin menang sendiri.  Arogansi  kekuasaan yang menonjol.   Rasanya prihatin jika membaca polisi itu melayani, melindungi, mengayomi  itu.  Jika membaca itu cukup mengernyitkan dahi saja.

Jika kita mengatakan polisi  tidak bagus, ada yang mengatakan bahwa tidak boleh digeneralisasi.   Tetapi pengalaman saya  berurusan dengan polisi sangat mengecewakan.   Tahun 97  saya tinggal di Pekanbaru,  ketika itu  sepeda motor saya menyenggol seorang ibu.    Ibu itu tersenggol motor saya karena  ibu itu tiba-tiba menyebrang jalan raya.  Kami pun berdamai dengan  ibu itu.   Kami saling memaafkan.

Kami sudah saling memaafkan, tiba-tiba seorang  separuh baya pakai jeket memanggil saya  agar bertanggung jawab.    Saya tidak tau apa lagi yang harus kupertanggungjawabkan.  Karena baju jeket pakaian sipil saya bertanya  anda siapa?  Beliau menjawab saya polisi. Mana identitas anda  sebagai polisi?  Dia  menodongkan pistol ke wajah saya.   Saya katakana bahwa pistol bukanlah  identitas polisi, sebab penjahat juga bisa saja punya pistol.

Ketika kami bertengkar dan pistol masih  di wajah saya, polisi itu  makin marah.  Dia mengajak saya ke kantor polisi dan melaporkan saya.  Ketika  beliau selesai melaporkan bahwa  saya menabrak  seorang ibu, saya juga melaporkan balik tentang apa yang dia lakukan kepada saya.  Polisi tidak mau menerima laporan saya yang kemudian  terjadi pertengkaran lagi. Tahun itu saya  baru lulus kuliah dan masih sangat idealis.

Malam itu sepeda motor saya di kantor polisi  padahal ibu yang tersenggol sudah pergi entah kemana. Tersenggolnya  cukup  pelan. Pertanyaan saya adalah  apakah polisi itu berhak melaporkan saya ke polisi?   Polisi itu menyuruh saya mencari ibu yang tersenggol itu. 

Bagaimana cara mencarinya?  Ibu itu kan  sudah berdamai dengan saya, masalahnya apa?  Dengan siapakah saya berperkara?   Saya marah-marah di kantor  polisi. Polisi yang menerima laporan ketika itu  mengatakan sebenarnya tidak layak  lapaoran itu tetapi karena teman, tidak enak jika tidak diterima.

Hingga tengah malam  saya meminta agar sepeda motor saya dibebaskan karena tidak ada persoalan.   Tetapi  polisi berjanji akan memberikan sepeda motor itu    dibebaskan besok harinya.  Karena janji itu maka saya pun pulang dengan kuatir juga sepeda motor saya tidak aman.  

Cerita-cerita teman sepeda motor di kantor polisi tidak aman.  Besok  harinya,  sepeda motor saya dibebaskan.  Saya menumpang tidur di rumah pendeta kami yang dekat dengan kantor polisi. Rumah saya tinggal cukup jauh dari kantor polisi. Sulit pulang karena sepeda motorku ditahan.

Tahun 2000 an saya kuliah lagi  di Bogor dan tinggal di   Jalan Merdeka  persis di samping Polwil Bogor.  Di hari minggu pagi saya naik Vespa  ke Baronang Siang melewati Tugu Kujang.  Sebagi orang baru tidak begi menguasai   jalan di Bogor.  

Berulangkali saya naik sepeda motor melewati Tugu Kujang.   Ternyata di hari minggu  harus membelok ke kiri. Informasi itu tidak saya  pahami. Kemudian saya disemprit   dan dinyatakan melanggar  aturan.   

Saya minta maaf kepada polisi yang langsung datang membawa surat  tilang. Katanya bisa langsung dan lebih murah di tempat.  Tawaran itu  saya tolak dan sepeda motor saya ditilang.   Ketika  saya mengambilnya ke tempat yang ditunjuk dipintu masuk itu  saya Tanya dimana mengambil STNK yang ditilang. Mereka jawab yang lambat atau cepat, saya jawab yang sedang-sedang saja.

Jika saya ceritakan pengalaman saya  berhungungan dengan polisi sangatlah buruk.  Tetapi poin tulisan ini adalah  harapan kepada polisi untuk berubah.   Kita coba belajar   dari kasus FS.  

Bagi saya kasus ini adalah akumulasi kejadian.  Betapa dalamnya seorang FS  melakukan  kekeliruan. Bukankah otak dan tindakan kita hari ini akumulasi pengalaman empirik  kita sebelumnya?   Nurani kita  harus terbiasa kita latih jernih, mulut kita harus terbiasa bicara sopan, dan semua gerak tubuh kita harus kita latih untuk taat hukum dan etika.

Coba kita berpikir jernih,  kasus pembunuhan brigadir J  yang diduga dilakukan FS  menjadi sorotan semua mata.  Andaikan polisi  memiliki sikap  rasional dan  naluri sosial tidak mungkin rasanya pengacara keluarga  brigadir J dilarang  mengikuti reka ulang.  Jika polisi  memahami perasaan publik sejatinya larangan itu tidak ada. 

Jika kita rasionalisasi,  apa resikonya pengacara keluarga  Brigadir J dilibatkan dan tidak dilibatkan?  Dalam konteks inilah kelihatan belum mau rasional. Polisi dalam konteks  kejadian ini masih mempertahankan sikap mau menang sendiri dengan kekuasaannya yang luar biasa.

Kita menyadari bahwa  teknologi makin canggih, jika polisi tidak adaptif maka teruslah  ketinggalan dan menjadi polemik.  Contoh  perubahan teknologi yang  harus diikuti polisi misalnya. 

Andaikan seseorang lupa membawa SIM atau STNK,  lalu polisi bertanya, mana SIM dan STNK. Apakah  seseorang itu  bisa video call dengan keluarga di rumah untuk menunjukkan SIM dan STNK?  Jika polisi mengikuti kecanggihan  teknologi pastinya bisa karena di aturan mengatakan bisa menunjukkan SIM dan STNK.  Jika polisi  memiliki nurani yang terasah pastilah bisa, bukan?

Jika polisi ingin dicinta rakyat maka inilah momentumnya berubah.  Perlu dihindari pangkat naik tetapi kualitas nurani, intelektualitas,  empati dan cinta tanah air  tidak meningkat akan menjadi  masalah.  

Kualitas diri lebih baik daripada sekedar pangkat. Karena itu biarlah pangkat adalah dampak dari kualitas.   Betapa malunya kita  FS memiliki bintang 2 tetapi diduga membunuh anak buahnya.  Tidak ada yang lebih mengerikan daripada kasus semacam ini.    Mari berubah agar rakyat mencintai polisi.  Kedepan kita harus memiliki polisi yang  humanis.

             

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun