Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

W20 dan Keunikan Perempuan Batak di Danau Toba

21 Juli 2022   08:34 Diperbarui: 28 Juli 2022   07:43 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempuan Sigapiton melakukan perlawanan dengan pamong praja dan polisi ketika menjaga tanah ulayat mereka. Perempuan menjadi terdepan (KOMPAS.com)

Sejak mahasiswa tahun 90an saya tertarik dengan isu gender yang ketika itu dikenal dengan istilah emansipasi wanita. Dari emansipasi wanita berkembang atau lebih tenar kemudian dikenal dengan kesetaraan gender. Kini isu kesetaraan gender digaungkan lagi lewat pertemuan W20 di Sumut--yang sebetulnya akhir-akhir ini dikenal dengan istilah mitra kerja.

Ketika saya bicara bahwa perempuan dalam konteks sekarang ke istri saya tadi malam, anak saya yang usia 15 tahun protes dan mengatakan, "Tadi sore papa di jalan sempit bilang bahwa yang menyetir itu pasti perempuan". Maaf, nak, bapa masih bias gender.

Mendengar sikap kritis anak saya, istri saya tertawa. Karena bias gender masih kental dalam diri saya yang kadang tanpa kusadari.

Isu gender ini memang masih mengalami proses yang panjang dan mengalami kegamangan dan tidak ada konsep yang pas karena memang laki-laki dan perempuan berbeda.

Tidak mudah mengimplementasikan isu gender karena menimbulkan dampak sebab akibat. Karena menariknya isu ini Perguruan Tinggi (PT) membuat lembaga kajian perempuan hingga tingkat pascasarjana.

Fenomena isu gender sebetulnya kini sudah berbeda. Dalam keseharian sering kita dengar bahwa penghasilan perempuan yang bekerja di kota lebih tinggi dari laki-laki.

Konon, perempaun yang karirnya sukses susah mendapatkan jodohnya karena lak-laki minder mendekatinya. Tahun 2000an seorang ibu saudara kami meminta tolong kepada saya agar niat kuliah putrinya program magister di Jepang dibatalkan. Ibu itu mengatakan keponakanmu itu mendengar nasehatmu karena kalian dekat tolong nasehati agar beasiswa ke Jepang dibatalkan saja.

Alasan si ibu mengusulkan pembatalan karena keponakan saya itu bekerja di pemerintahan dan kalau nanti sekolahnya makin tinggi maka tidak ada lagi laki-laki yang mau menikahinya.

Sekarang saja masih srtara 1 dan bekerja di pemerintah sudah tidak ada lagi yang mau menikahinya. Kata ibu itu, cukup banyak perempuan yang sekolahnya S2 dan S3 kemudian memilih tidak menikah.

Saya mengatakan bahwa banyak juga yang pergi kuliah S2 dan S3 ketika di pesawat ketemu jodohnya. Si ibu itu kesal dan faktanya keponakan saya itu dapat jodoh ketika kuliah di Universitas yang sama di Jepang.

Dalam kehidupan sehari-hari isu gender berbeda dengan kenyataan. Suatu ketika saya berseloroh dengan aktivis perempuan Sumatra Utara yang seorang pengacara Maya Manurung.

Ketika itu kakak Maya Manurung menjadi Koalisi Perempaun Indonesia bergerilya menyampaikan pesan agar perempuan memperjuangkan hak-haknya.

Saya mengatakan hati-hati jika perempuan menyuarakan hak-haknya, bisa nanti meningkatkan perceraian. Jangan sampai kakak Maya berkontribusi meningkatkan perceraian di Sumut.

Mendengar seloroh saya, kakak Maya sedikit agak kesal. Tetapi namanya aktivis biasanya susah tersinggung tetapi membuat pertanyaan mengapa ito (panggilan saudara) berkata demikian?

Saya menjelaskan bahwa bukan perempuan yang tidak tau haknya tetapi laki-laki (suami) yang tidak memberi hak perempuan. Jika perempaun terus menuntut haknya maka potensi perceraian makin tinggi, bukan?

Lalu bagaimana solusinya? Saya mengatakan bahwa solusinya adalah gerakan kesadaran bagi laki-laki. Jika laki-laki sadar akan peran penting perempuan dalam keluarga maka hak perempaun itu akan diberi.

Saya pernah membaca hasil penelitian di Indonesia bagian Timur bahwa waktu berangkat laki-laki ke ladang lebih cepat dan pulang lebih lama, tetapi efektifitas perempuan bekerja 2 kali lipat dari laki-laki. Hal itu disebabkan karena waktu laki-laki minum kopi, merokok dan ngobrol dengan orang lain di sekitar ladang mereka cukup banyak.

Perempuan yang mengurus rumah seperti menyapu rumah, halaman, mencuci piring dengan segala perabot rumah, mencuci pakaian dan menyetrika pakaian ternyata waktu perempuan tetap lebih banyak bekerja di ladang.

Gambar : Bersama Pejuang Sigapiton (dok pribadi)
Gambar : Bersama Pejuang Sigapiton (dok pribadi)

Di Kawasan Danau Toba peran mengurus rumah umunya perempuan dan juga kaum perempuan rajin ke ladang. Kaum perempuan yang rajin disebut padot jika tekun, ulet dan cekatan mengurus sawah dan ladangnya.

Diksi padot biasanya di kampung kami dialamatkan kepada perempuan yang mengurusi urusan keluarga dengan baik dan juga mengurus sawah ladangnya dengan baik. Selain perempuan mengurusi rumah, sawah dan ladang kaum perempuan juga yang mengurusi anak.

Perempuan mengurus anak secara fisik seperti memikirkan makanan tiap hari, memandikan anak, memberi makan, belanja kemudian ikut ke ladang atau pergi ke kantor dan guru mengajar. Perempuan Batak di kawasan Danau Toba itu luar biasa hebat. Karena itu isu kesetaraan gender agak berbeda dalam konteks isu perempuan yang sedang dibahas. Makna kesetaraan gender apa yang kita perjuangkan? Perempuan yang memiliki peran strategis dan implementatif dalam kehidupan seharihari.

Hal yang mendesak agar terjadi keadilan gender adalah gerakan kesadaran agar kaum laki-laki mengambil peran penting dalam keluarga.

Gerakan ini tidak mudah karena budaya itu terkesan laki-laki menikah untuk tujuan mengurus laki-laki lahir dan batin. Bagi laki-laki seolah tujuan menikah adalah mendapatkan anak kemudian mengurus anak dan mengurus seluruh keluarga.

Lalu, apa yang menjadi peran laki-laki dalam keluarga?

Jadi, persepsi kita tentang kesetaraan gender bukan mendorong perempuan merebut haknya, tetapi laki-laki sadar memberi hak perempuan dan tidak membiarkan perempuan kesulitan.

Peran laki-laki dalam perempaun terus dipertegas dan kebijakan publik harus menyadari bahwa ada kebutuhan khsusus perempaun dan difabel sesuai tema W20 harus ditindaklanjuti. Ruang-ruang publik harus menyediakan ruang menyusui bagi perempuan dan kebutuhan khusus seperti toilet bagi difabel. Kebijakan publik itu membutuhkan kecerdasan sosial bagi pengambil kebijakan. Perempuan Sumatra Utara menyampaikan isu pengehentian deforestrasi. Sebab deforestrasi sangat berdampak bagi umat manusia.

Gambar : Tokoh Perempuan Sigapiton (dok pribadi) 
Gambar : Tokoh Perempuan Sigapiton (dok pribadi) 

Perempaun Sigapiton

Isu W20 tentang kesetaraan gender menarik dalam perjuangan masyarakat adat Sigapiton. Ketika masyarakat adat Sigapiton memperjuangkan tanah ulayat, mereka berbenturan dengan aparat pemerintah separti pamong praja.

Masyarakat Sigapiton juga benturan dengan polisi dan ditonton oleh tentara. Mereka dorong-mendorong hingga ada yang terluka. Escapator mereka hadang dengan kekuatan pamong praja dan polisi. Paling unik dari perjuangan itu adalah kaum perempuan terdepan termasuk lansia (umur 85 tahun). Kaum perempaun itu melawan dengan menghalangi escapator, pamong praja dan polisi.

Di dunia medsos ketika itu banyak yang bertanya dimanakah para laki-laki Sigapiton?

Saya melihat secara langsung kejadian itu bahwa perempaun berjuang dengan melarang para laki-laki ikut benturan. Kaum perempaun marah jika laki-laki ikut berjuang. Di tengah sengitnya bentrokan kaum perempuan dengan polisi dan pamong praja, mereka mencari suami. Kaum perempaun melarang para laki-laki didepan untuk berjuang.

Mengapa kaum perempuan Sigapiton melarang suaminya berjuang? Mereka mengatakan bahwa mereka mengkuatirkan suami mereka terluka.

Apakah kaum ibu tak kuatir akan dirinya? Tidak, kata kaum perempaun Sigapiton dengan Tegas.

Perempaun Sigapiton khawatir suaminya celaka tanpa sadar bahwa mereka juga potensi celaka dalam bentrok yang mengerikan itu. Perempaun Batak yang dilakonkan di Sigapiton ada dimana-mana.

Jika kita lihat fakta di kawasan Danau Toba kaum perempuan cekatan mengurus rumah tangga, tanggungjawab ekonomi dan serba bisa. Di dunia pemerintahan kaum perempuan berjaya. Di Danau Toba para pedagang di pasar (onan) umumnya kaum perempaun yang sebelum pergi dagang mereka mengurus rumah tangga. Setelah pulang berdagang mereka juga yang mengurus keluarga.

Peran utama keluarga ada pada perempuan. Di Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) seperti KSPPM pun sudah dipimpin perempuan berturutturut seperti Suryati Simajuntak digantikan Delima Silalahi.

Jadi, makna kesetaraan gender dalam konteks kekinian sebetulnya sudah berbeda dengan isu emansipasi wanita tahun 90 an.

Majulah perempaun hebat Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun