Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Seni Mendidik Anak di Masa Sulit (Kisah Masa Pandemi Covid-19)

23 April 2022   09:55 Diperbarui: 24 April 2022   12:20 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika masa pandemi Covid 19 di pertengahan tahun 2020 sangatlah menakutkan karena disebut belum ditemukan obat yang menyembuhkan virus itu.

Ketika itu suasana sangat mencekam dan hidup kita harus di rumah. Kala itu kami sekeluarga di rumah pagi sore berjemur ke tempat-tempat yang sepi. Diyakini bahwa berjemur salah satu cara terhindar dari Covid-19.

Kami sekeluarga taat secara total protokol kesehatan dengan bertahan di rumah pakai masker jika keluar rumah dan minum Vitamin C, D3 dan berbagai suplemen lain untuk menguatkan imun tubuh.

Di tengah pergumulan pandemi Covid -19 tetangga kami di kiri, di kanan dan di depan rumah terpapar Covid-19. Karena kuatir kami terpapar Covid -19 maka istri saya mengajak kami liburan ke sebuah Villa yang dikelilingi kolam di sebuah desa di lereng gunung di Bogor.

Untuk mengatasi rasa sepi kami ajak anggota keluarga lain agar anak-anak kami bisa bermain bola, memancing, berbagai jenis olah raga dan kesempatan mengajari mereka cara bertani.

Sebelum kami berangkat semua keluarga wajib swab antigen dengan cara drive thru di sebuah Rumah Sakit (RS) dekat rumah kami. Semua diswab antigen dan hasilnya cukup lama. Padahal, biasanya hasilnya hanya 30 menit.

Hasil Swab antigen hampir 2 jam menunggu di rumah, saya ajak mereka sambil menunggu hasil swab antigen sekaligus jalan saja menuju villa. Kalau nanti hasilnya ada yang positif kita kembali.

Dari penampilan fisik tidak ada diantara kami yang mencurigakan. Tidak ada ciri sedikit pun gejala terpapar Covid-19. Kami pun berangkat dengan 2 kendaraan.

Kendaraan kami ada saya, istri saya, Daniel, Dora anak kami dan mba Padmi. Di kendaraan satu lagi adalah si Ujang sopir kami dan kakak ipar bersama 3 anaknya. Kami menuju lereng gunung dengan cara saling tukar informasi di perjalanan.

Sekira pukul 12.00 Siang kami tiba di vila di lereng gunung yang dingin, hasil test swab antigen belum terkirim ke WA. Istri saya menghubungi RS agar segera diberikan informasi. 

Kami duduk di teras Vila yang amat luas dengan pemandangan yang indah. Kaka saya mengatakan tempat ini indah banget sambil merebahkan badannya di kursi yang panjang. 

Tiupan angin sepoi-sepoi, hamparan sawah sejauh mata memandang dan bunyi air di sungai kecil di sekitar Villa sangat menyenangkan. Seminggu kita di sini sangatlah menyenangkan kata istri saya.

Kaka saya baru saja merebahkan badan, istri saya membaca WA dan mengatakan kaka saya positif Covid-19. Dari 9 kami yang test swab antigen hanya kakak yang positif. Bagaimana dengan anak-anaknya dan sopir kami si Ujang yang sudah sempat satu mobil?

Oh Tuhanku, maksud hati menghindar dari Covid justru kita ajak yang positif Covid-19. Betapa sedihya hati kami ketika itu karena dalam pikiran kami adalah kemungkinan ketiga anak kami sudah positif. Membaca hasil test swab antigen itu kami tarik nafas sambil memikirkan keputusan apa yang akan kami ambil.

Tidak ada gejala dalam diri kakak kami ketika itu, tetapi untuk menghindari penyebaran ke kami, maka diputuskan kakak harus pulang ke rumah dan kami tinggal di lereng gunung yang cukup dingin itu.

Kaka pulang diantar Ujang dengan masker lapis 2. Ujang sopir kami yang masih muda tak sedikit pun takut untuk mengantar pulang kakak. Ujang sebelumnya sudah menyetir mereka dari rumah hingga ke Villa di kaki gunung di tengah sawah itu.

Ujang asal Serang Banten itu memang tidak pernah takut Covid 19. Bagi Ujang, Covid itu adalah penyakit musiman saja. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari Covid-19.

Selama Covid 19 sebetulnya si Ujang sudah pulang ke rumahnya di Serang. Menurut Ujang, tetangganya sudah menyangka bahwa Ujang sudah di-PHK. Mana mungkin ada orang bekerja berbulan-bulan tidak bekerja gajinya lancar?

"Tetanggaku tak yakin lagi bahwa aku masih kerja pak," kata Ujang.

Jadi, ketika si Ujang kami panggil mengantar kami ke mengungsi ke sebuah Villa di tengah sawah Ujang senang karena tidak kuat gosip tetangga.

Dokumen pribadi 
Dokumen pribadi 

Dua hari kami tinggal di Villa lereng gunung yang dikelilingi sungai dengan air yang amat jernih itu, anak pertama kakak kami mulai batuk. Kami curiga karena batuk dan Ujang mengantarnya untuk swab antigen dan hasilnya positif.

Anak kakak kami pulang ke rumah dan abang kami suami kakak juga positif Covid 19. Mereka bergabung tiga orang di Kebun Jeruk. 

Dalam membangun percaya diri anak-anak, saya ajari mereka mencangkul sawah sambil mencari cacing untuk umpan pancing di kolam-kolam yang cukup luas dengan kedalaman sekitar 160 cm. Saya ajari anak-anak kami cara mencangkul dan mengajari cara menangkap cacing.

Setiap pagi saya ajak anak-anak mencangkul di sawah sambil mencari cacing kemudian kami pergi memancing dan hasil pancingan kami goreng untuk makan siang. Mereka kami didik untuk membersihkan ikan hasil pancingan untuk digoreng.

Momentum itu kesempatan kami untuk mendidik anak memahami proses menangkap ikan, membersihkan ikan, menggoreng ikan hingga menyantapnya.

Suasana yang menyedihkan kita kondisikan bisa agar menyenangkan. Kami terus menerus komunikasi dengan kakak dan abang kami yang isolasi mandiri di rumah.

Hari ketujuh setelah kami menggunakan cacing sebagai umpan memancing, kami membeli pellet ikan dan kami buat adonan kemudian dibuat bulat-bulat menjadi umpan pancing.

Hasil pancingan cukup seru dan tiba waktunya ikan besar memakan umpan pancing saya dan kutarik dengan kuat. Posisiku duduk di atas gubuk di samping kolam.

Ketika saya tarik pancing dengan tiba-tiba, ternyata tali pancing terseret dan mengenai telepon genggam (HP) saya. Telepon saya terlempar ke dalam kolam.

Kami kaget dan sedih. Anak saya Daniel menyelam ke kolam bersama saya. Cukup lama kami mencarinya dan tidak ketemu. Ikan dapat HP melompat kataku dengan rada kesal tapi terkesan melucu sehingga anak-anak kami ketawa.

Tertunduk lesu karena saya tidak bisa komunikasi dengan kantor, teman dan keluarga. Istri saya langsung pesan HP dan meminta si Ujang untuk menjemput HP itu ke rumah kami.

Sekitar 24 jam saya tidak memiliki HP. HP hilang tidak begitu masalah tetapi yang menjadi masalah serius adalah data-data di dalam HP dan komunikasi terputus.

Hari ke 14 kami meninggalkan Villa menuju rumah kami. Kedua anak kami dan kedua anak kakak kami tinggal di rumah kami hingga abang dan kakak kami dinyatakan negatif Covid 19. Hidup memang acapkali demikian.

Maksud hati menghindari Covid-19 justru kita mendatangkan terpapar Covid 19 . Hidup harus kita syukuri dan kita harus bersikap benar dalam kondisi apapun.

Bersyukur kepada Tuhan melewati masa-masa sulit dengan ucapan syukur dan hati yang gembira dan terus belajar. Hidup memang harus belajar sepanjang hayat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun