Sejak kuliah tahun 90 --an profesi paling sering konflik dengan saya adalah polisi lalu lintas. Mengapa polisi?, karena saya orang yang belajar taat aturan tetapi dihentikan di jalan dan diminta "damai". Makna "damai" tidak perlu saya utarakan dalam tulisan ini.
Saya menilai, ada akal-akalan yang bertujuan untuk "damai". Kalaupun itu salah, hanya butuh diingatkan atau dinasehati dengan kata lain pendekatan yang humanis. Pembaca saya kira memahami makna "damai" yang saya maksud.
Saya melakukan konflik karena saya belajar makna demokrasi sejak kuliah. Tentu saja komitmen akan taat hukum tidak ada tawar menawar.
Puluhan tahun saya melihat dan mencoba memberi makna demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal yang paling sulit dalam membangun demokrasi adalah rendahnya partisipasi rakyat atau kurangnya keberanian rakyat memahami dan menuntut haknya. Tentu juga tidak disiplin menjalankan kewajibannya.
Mereka yang takut menuntut haknya adalah yang kuatir akan resiko keberanian itu. Padahal keberanian itu akan membuat pribadinya naik kelas dan membangun peradaban bagi umat manusia.
Mengapa orang ketakutan mengungkapkan perasaan dan pikirannya secara merdeka? Mengapa takut melawan kekuasaan? Kekuasaan dalam konteks kehidupan keseharian dan juga berbangsa dan bernegara.
Dalam kehidupan sehari-hari acapkali korban kekerasan ketakutan terhadap orang yang melakukan kekerasan. Sedihnya, dikalangan terpelajarpun ketakutan itu masih kental. Di birokrasi masih terkesan ada rasa takut menyampaikan isi hatinya dan ketika diperlakukan zolim pun masih diam saja.
Mengapa dikalangan birokrasi masih banyak yang belum merdeka berpikir? Resiko birokrat untuk berani bersuara kan hanya dimutasi saja? Lagipula, kalau bersuara dengan lantang, bukankah pelaku zolim akan berkurang bahkan akan terjungkal dari kekuasaannya?
Dalam pengamatan saya seharihari dan menjadi pertanyaan bagi saya adalah mengapa mereka yang pendidikan formalnya rendah terkesan lebih berani dibandingkan mereka yang pendidikannya tinggi secara formal?.
Sebagai contoh adalah kaum ibu di Sugapa yang melawan perusahaan pulp raksasa di Kabupaten Toba dan kaum ibu di Sigapiton yang melawan kehadiran BODT di Sigapiton Kabupaten Toba. Mereka sangat berani melawan ketidakadilan.