Sahabat saya sejak muda  Ita Siregar penulis idolaku  yang  sekaligus pengasah nurani kelahiran Sukabumi  dan fasih bahasa Batak itu pernah  mengajak aku agar membuat  majalah. Majalah itu isinya adalah bagaiman a  menuliskan isi Alkitab  dalam bahasa dan  kehidupan seharihari.  Cerita Alkitab tidak hanya cerita Jerusalem tetapi bahasa dan konteks kehidupan seharihari.  Ajakan itu sangat menarik dan akhirnya majalah itu  berdiri bersama  Yayasan  Komunikasi Bina Kasih (YKBK).  Sejak ajakan itu, saya senang membahasakan  cerita Alkitab secara kontekstual.  Salah satunya adalah bagaimana  menerjemahkan kehadiran Yesus  di tengah perempuan Sigapiton, Tobasa Sumut membuka bajunya untuk mempertahankan tanah adat/ulayatnya dari klaim tanah Negara  dan disiapkan untuk investor.
       Ketika saya membaca medsos  yang isinya bahwa perempuan Sigapiton sampai menyingsingkan bajunya melawan  aparat  hukum seperti polisi, pamong praja,  tentara  maka saya langsung ke Sigapiton untuk melihat fakta yang sebenarnya.  Kami di lokasi kejadian hingga larut malam.  Kemudian kami pulang dan paginya kembali ke lokasi.  Pagi harinya para ibu Sigapiton menceritakan apa yang terjadi dengan air mata yang mengalir. Mereka mengaku diperlakukan  dengan kekerasan dan mereka buka baju dengan harapan aparat meninggalkan mereka  setelah buka baju.
       Pagi itu sekitar pukul 7.00 WIB para ibu dan kaum bapak berkumpul di lokasi kejadian  dan mereka meneteeskan air mata dan komitmen untuk melawan pamong praja, polisi, tentara, dan alat berat seperti escapator.  Skenario menakutkan pun terjadi dengan  kejadian berantam yang tidak jelas. Suasana sangat mencekam. Apakah suasana mencekam disenagaja atau tidak, saya kurang paham.  Faktanya, seorang polisi mengatakan, " dalam waktu dekat aka nada massa datang yang juga menyebut bahwa tanah ini miliknya, karena itu polisi menghindari  konflik horizontal".  Saya mengetahui kemudian bahwa polisi itu polpos di Ajibata.  Polisi itu menakutnakuti  rakyat yang sudah takut. Sampai rakyat bubar, tidak ada rakyat yang ingin konflik seperti yang diinformasikan polisi.  Menakutkan sekali  jika terjadi konflik horizontal.
       Dalam suasana  mencekam masyarakat  menyanyikan lagu-lahu rohani seperti Jesus ngolu ni tondikku dan banyak sekali lagu-lagu rohani yang mereka nyanyikan.  Mereka juga bernyayi  lagu-lagu kebangsaan seperti maju tak gentar membela yang benar.  Dalam kondisi air mata berlinang, hatiku bertanya,  Yesus dimanakah engkau?.  Seorang  anggota pamong praja mendekati saya dan panggil abang.  Apakah abang mengenalku?.  Abang sangat kukenal.  Abang itu kakak kelasku waktu kuliah.  Aku tahu abang sejak kuliah. Anggota pamong praja itu berbisik, "bang, perjuanganmu benar".  Bagaimana aku bersikap selaku anggota pamong praja?.  Posisi kami sulit.  Baiklah dek, bekerjalah tapi jangan lakukan kekerasan.  Baik bang, jawabnya.
       Setelah lama berdebat dan tarik menarik,  menjelang makan siang  escapator bergerak bersama  pamong praja, polisi, tentara bergerak ke lokasi.  Para perempuan meminta kaum bapak  untuk tidak melawan.  Kami kaum perempuan saja yang melawan.   Kaum perempuan dan pemuda Sigapiton menghadang aparat dan escapator.  Benturan dahsyat tak terelakkan.  Beberapa perempuan yang usianya uzur melawan.  Beberapa diantara mereka  berkata, "Yesus, bantu kami".
       Betapa traumanya saya melihat trgadei itu.  Malamnya,  Kapolres Tobasa dan Bupati Tobasa  dan rombongan ketika itu  hadir. Kapolres berkata, " mengapa ada orang dari luar menjadi provokator?". Apa kepentingannya disini?.   Dalam hatiku  berkata, "Yesus mengajarkan agar kita  hadir di tengah orang-orang  yang mengalami kesulitan".   Siapa yang bisa melarang perintah Yesus itu?.  Saya kira beberapa pendeta, kaum humanism yang hadir di tempat itu karena pergumulan imannya akan perdaban.  Saya melihat para pendeta yang berempati itu karena pergumulan imannya.  Siapa yang bisa melarang itu?. Betapa dangkalnya  pemahaman Kapolres Tobasa, ketika itu.  Sejatinya, yang dicari adalah sumber masalah, bukan  orang  yang hadir menunjukkan empati.
       Sumber masalahanya  adalah rakyat  Sigapiton  telah  tinggal di Sigapiton ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka. Menurut  guru besar ITB Prof (em) Tunggul Sirait ketika dia tentara pelajar  bahwa rakyat Sigapiton ikut andil  melawan belanda. Rakyat Sigapiton memiliki kontribusi penting dalam melawan Belanda. Mereka melawan Belanda untuk menjaga tanahnya. Dan, mereka bergabung  dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) agar  Negara ini menjaga tanah ulayatnya.  Kini, tanah mereka dijadikan  hutan lindung padahal bukan hutan dan dikeluarkan  Kementerian Kehutanan dan Lingkungan (KLHK)  untuk Badan Otorita Danau Toba (BODT) dan disiapkan untuk investor.  Siapakah  diantara kita yang mau diperlakukan demikian?.
       Secara teologis, ratusan tahun nenek moyang mereka tinggal di pinggir Danau Toba dan di tengah gunung itu adalah anugrah Tuhan.  Mereka hidup bersyukur atas pemeliharaan Tuhan.  Mengapa harus diganggu?.  Jika Sigapiton hendak  dijadikan tujuan wisata, sejatinya Negara mengajak mereka berdilaog. Konsep seperti apa yang cocok untuk mereka.  Faktanya adalah  tanah mereka dijadikan hutan lindung kemudian disiapkan untuk investor. Siapa tidak marah?.  Guru besar hukum agrarian  Prof. Maria Sumardjono  mengatakan bahwa  hukum perlindungan masyarakat adat adalah hutang Negara kepada masyarakat adat. Jika perlindungan itu hutang Negara, mengapa rakyat adat Sigapiton menerima kekerasan itu?
Ketika waktu terus berlalu, muncul pertanyaan dalam hati saya.  Mengapa rakyat Sigapiton khususnya perempuan yang sudah uzur (85) tahun berani dan mampu mengusir pamong praja, polisi, tentara, escapator ketika itu?.  Mengapa mereka menyanyikan lagu-lagu rohani dan lagu perjuangan?.  Betapa dahsyat lagu-lagu itu menguatkan mereka.  Bagi saya,  apa yang mereka lakukan  sebagai bukti mereka memahami kematian  dan kebangkitan Yesus.  Mereka memahami makna  tanah bagi kehidupan dan makna pertolongan Tuhan Yesus yang bangkit itu.
       Karena itu, sangatlah miris melihat para pendeta yang memihak  penguasa yang tidak memiliki konsep yang jelas terhadap pembangunan yang  beradab seperti yang termaktub dalam pembangunan berkelanjutan (sustainable development)  yang diratifikasi Indonesia dari Perserikatan Bangsa  Bangsa (PBB).  Kini, pendeta  dan rohaniawan  perlu bertanya, "kepada siapakah hatimu agar terjadi keadilan?".  Jawabnya adalah perjuangkan hak warga Negara sebagaimana tertulis dalam konstitusi kita.Â
Di hari raya kebangkitan Yesus ini  kita  merenungkan, bagimana makna kebangkitan itu dalam kehidupan seharihari?.  Makna kebangkitan dalam diri kita, rumah kita, komunitas kita dan kontribusi kita untuk negeri tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H