Sore hari beberapa hari yang lalu,  istriku mengajakku keliling wilayah rumah kami untuk membeli kopi kesukaannya. Setelah kami membeli kopi dengan cara drive thru saya minta istri saya mengarahkan setirnya ke daerah lahan yang cukup luas yang  di lahan itu masyarakat  banyak yang bermain bola, Voly dan berbagai permainan.
Lapangan itu ada tiga lapangan bola, tiga lapangan Voly dan banyak yang melakukan joging. Di pinggir lapangan ada seorang lelaki separuh baya duduk termenung. Kata istri saya, lelaki itu orang Batak dan kemungkinan  marga S atau P.  Saya mengatakan bahwa lelaki itu bukan Batak. Kamipun taruhan. Untuk membuktikan apakah Batak atau tidak Batak, saya turun dari mobil.
Saya menyapa lelaki separuh baya itu.  Kami  berkenalan dan ternyata benar orang Batak marga S.  Marganya sama dengan prediksi istriku.  Aku tersadar bahwa istriku potensi jadi dukun.  Konsekuensinya saya akan bayar taruhan demi  sportivitas dan dipercaya taruhan di kemudian hari.  Sebab pelanggan taruhan harus dijaga, bukan? Keasyikan ngobrol,  mungkin istri saya kopinya sudah habis, maka istri saya ajak pulang dari mobil. Istri saya mendekati kami  dan saya  katakana agar istriku pulang duluan karena obrolan kami masih asyik.
Dalam pembicaraan kami bahwa lelaki separuh baya itu baru pulang dari kampung di Toba. Â Dia menyetir sendiri dari Tangerang ke Toba. Mengapa tidak ikut keluarga?Â
Lelaki itu menceritakan bahwa dia pulang jiarah ke anak laki-laki satu-satunya. Dua tahun lalu anak laki-lakinya meninggal. Anaknya yang ganteng, pintar, baru lulus magister hukum  meninggal karena pendarahan di otak. Sejak anakku itu meninggal, hidupku tidak tentu arah.  Maaf, jika aku disini pikiranku kemana-mana, katanya. Iya, saya melihatnya begitu pak, karena hal itulah maka saya tidak pulang bersama istri saya tadi.
Ibu marga S sama dengan lelaki separuh baya itu. Karena ibuku sama  marganya, maka  saya panggil tulang.  Tulang itu menceritakan bahwa 2 tahun sebelum meninggal, anak kebanggaannya itu  jatuh dari sepeda  motor.  Anakku yang tinggi, tampan, baik dan pintar itu  tidak mengeluh sama sekali. Ternyata 2 tahun kemudian diketahui bahwa ketika jatuh dari motor kepalanya terbentur.  Ketika diganosa dokter  pendarahan di otak maka saya minta kepada Tuhan agar anakku hidup. Doaku, "Tuhan, aku memang orang berdosa, tak layak padamu, tapi tolonglah Tuhan sekali ini saja kabulkan permintaanku".  Permintaanku tidak diterima Tuhan, kata tulang itu dengan suara kaku.
Ketika anakku meninggal,  jenazahnya saya bawa ke kampung halaman dan saya merasa gagal merantau. Dari hidupku yang sangat bahagia berubah menjadi tak karuan. Selama 2 tahun ini hidupku tidak jelas arahnya.  Aku sering pulang dari  Tangerang  ke kampung dan tidur disamping kuburan anakku. Jika aku tidur di kuburannya  aku merasa puas dan memiliki energy memikirkan kelanjutan hidup untuk istri dan ketiga putriku.  Ketika kutinggalkan, aku  rindu lagi.  Apalagi yang kucari dalam hidupku, Tuhan?,  cerita tulang itu.
Lelaki separuh baya itu memiliki istri dan tiga putri. Putrinya sudah dua menikah dan satu lagi tidak menikah. Putrinya yang tidak menikah baru lulus dari Sekolah Tinggi Farmasi dan sudah bekerja.  Karena putri bungsunya wisuda maka dia pulang dari kampung.  Saya datang kesini untuk  mendampingi putriku wisuda.Â
Saya menyadari sikap saya tidak adil kepada istri, ketiga putriku, menantuku dan cucuku. Cucuku pernah menasehatiku agar jangan suka melamun. Tetapi, aku tidak bisa mengendalikan diriku untuk tidak melamun.  Istriku, tiga putriku, dua menantuku dan cucu cucuku sangat membanggakan.  Tetapi, mengapa pikiranku kosong?. Masihkah ada bahagia hadir dalam hidupku?, tanyanya.  Berapa tahun lagi  aku seperti ini?.  Banyak pertanyaan-pertanyaan yang disampikannya yang tidak bisa kujawab. Saya hanya bisa mendengar dan membuat pertanyaan-pertanyaan.
Tidak terasa sejak pukul 4.00 WIB sore hari tulang itu cerita tanpa henti.  Cerita kebahagiaan dan kepahitan hidup.  Tulang itu menceritakan  suka citanya mencari uang untuk biaya kuliah anaknya dan biaya magang anak kesayangannya di Singapura dan Malaysia.  Saya suka sekali  melihat kerja keras dan kebaikan hatinya. Di tengah kebahagiaanku yang memuncak, dia pergi. Sudah dua tahun dia pergi, saya hidup tanpa arah. Aku tidak bisa melupakannya.
Cerita yang fokus kepada anak yang meninggal, saya ajak dia menceritakan  dimana kenalan dengan istrinya?.  Bagaimana kisah cintanya dengan istrinya?.  Bagaimana kisah cerita kelahiran dan kisah pertumbuhan ketiga putrinya.  Bagimana kisah-kisah sukses ketiga putrid an dua menantunya?.  Bagaimana kisah cucu-cucunya. Â
Istrinya berasal dari Kabupaten tetangga, Samosir?. Â Kenalan di Jakarta, padahal kampungnya berdekatan. Â Istri yang baik dan pekerja keras. Ketiga putrinya sangat baik dan menantunya orang sukses. Â Ketika cerita cucunya, dia ketawa. Cucunya lucu-lucu. Masa cucu saya menegur saya agar jangan suka melamun?. Cucu saya masih sangat kecil.
Setelah hampir tiga jam bercerita dan saya posisikan telinga saya bagaikan  gorong-gorong tempat pembuangan air,  saya mengatakan,  " 2 jam lebih tulang menceritakan kepedihan,  hanya setengah jam cerita bahagia,  terima kasih tulang".  Bagaimana kalau  tulang lebih banyak memberikan perhatian kepada istri,  tiga putri, 2 menantu  dan cucu-cucu  dibandingkan pergi jiarah berlama-lama dan menyetir pulang sendiri dengan resiko yang tinggi?.  Senang sekali melihat tulang tertawa menceritakan cucu.
Bagaimana jika energy yang sisa tulang habiskan untuk kebahagiaan istri dan semua keluarga?.  Sudahlah tulang, kita sudah percaya anak tulang  sudah bahagia bersama Bapa kita di surga. Alangkah indahnya kita mengerjakan  tugas kita dan hal itulah yang membuat tulang bahagia. Tidak mungkin tulang bahagia jika fokus kepada kepahitan itu.  Kita pilih saja kegiatan yang membuat kita bahagia. Malam makin larut, kami sepakat pulan dengan saling memberi nomor telpon.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H