Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Petani Tulus Itu Beramal Bukan Penerima Sembako

12 Oktober 2020   08:48 Diperbarui: 13 Oktober 2020   05:56 1719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi | Duc Nguyen Van/Pixabay via KOMPAS.com

Jika kita inventarisasi seluruh profesi atau kegiatan manusia di kolong langit ini maka kegiatan atau profesi paling enak adalah petani. Petani itu hidup di alam bebas dan terus berolah raga sambil mengerjakan pertaniannya.  

Dalam kehidupan petani tidak perlu intrik, tetapi hanya fokus kepada pertaniannya supaya tanamannya bertumbuh dengan baik.

Ironisnya, petani di negeri ini identik dengan penderitaan karena mahalnya bibit, pupuk, iklim yang  tidak menentu dan harga hasil pertanian yang tidak menentu. 

Kesulitan yang selalu berulang adalah harga hasil pertanian yang tidak menentu. Harga yang tidak menentu membuat biaya panenpun tidak cukup jika hasilnya dijual. Dalam konteks harga yang tidak stabil, dapatkah petani tetap panen dan hasil panen dijadikan amal jariah?

Ketika saya kecil hingga remaja, doa dan harapan ibu saya sebagai petani adalah harga hasil pertaniannya mahal atau minimal tidak jatuh harga. Kalau ayah saya tidak begitu peduli karena bekerja di ladang adalah kesenangannya. Mahal atau tidak itu urusan ibu saya. 

Ayah saya mengerjakan ladangnya setiap hari. Bagi ayah saya, disyukurin saja. Bekerja terus menerus  untuk menanam dan memperluas lahan pertaniannya. Itu saja.

Sementara ibu saya selalu degdegan jika menjelang panen. Pikiran ibu saya, jika harga jatuh maka kemungkinan sulit dia membiayai anaknya sekolah dan kuliah.

Ketika saya dewasa dan kuliah, saya sering merenung ketika membaca dan melihat petani membiarkan hasil panennya karena merugi. Di berbagai media, beberapa petani membuang hasil pertanian di jalan raya sebagai protes ke pemerintah karena tidak mampu menjaga kestabilan harga. 

Abang saya ada yang menjadi petani dan menurut saya dia itu unik. Dia berkeyakinan bahwa ketidakstabilan harga diatasi dengan terus menerus berproduksi. 

Karena tidak mungkin harga tidak naik. Dalam setahun pasti turun naik. Dengan pola itu maka kita pasti mendapatkan harga yang naik dan turun. Dengan pola itu hidup kita tetap stabil.

Jika hasil pertanian abang saya teramat jatuh, maka tidak dijual. Tetapi hasil panen dijadikan bibit. Karena kemungkinan harga jatuh itu, maka kualitas pertaniannya harus unggul karena akan dijadikan bibit dan bisa dijual dalam bentuk bibit untuk periode berikutnya.

Dengan pola ini, perilaku petani yang membuang hasil panen ke jalan raya tidak terjadi. Dari aspek humanisme  dan kecintaan kita kepada alam, membuang hasil panen ke jalan raya sangat tidak baik ke psikologis petani. 

Jika kita merenungkan penderitaan petani karena fluktuasi harga yang tidak terkendali, bagimana jika menjual hasil panen dengan harga jatuh dianggap sebagai amal atau disebut juga amal jariah?

Setelah beramal, kemudian kerja keras lagi untuk menemukan harga yang tinggi. Mengapa petani harus menganggap hasil pertanian yang jatuh harga sebagai amal?

Karena sikap beramal memberikan semangat yang tinggi. Sebaliknya, membuang hasil pertanian sebagai wujud protes ke pemerintah melukai nilai-nilai luhur petani. 

Bagi petani, makna hasil pertanian adalah anugerah Tuhan. Betapa bahagianya petani jika hasil pertanian jatuh harga dan diberikan ke orang lain dianggap sebagai amal 

Persoalan petani kita memang pelik karena keberpihakan pemerintah ke petani tidak terwujud. Subsidi pupuk terus menurun sementara negara memberikan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk membayar hutang asuransi jiwasraya sekitar Rp 22 T. 

Padahal, Jiwasraya bangkrut karena korupsi pejabat Jiwasraya. Ada 18 lembaga negara yang membina Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Tumpang tindih Lembaga membina UMKM yang tidak ada kaitan dengan penyediaan pangan. 

Organisasi pangan dunia Food Agriculture Organization (FAO) telah memberikan sinyal akan keterancaman pangan dunia. Tetapi Indonesia fokus ke UMKM dengan berbagai Penyertaan Modal Negara (PMN) di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti PT. Permodalan Nasional Madani yang diberikan negara puluhan triliun. (PT. PNM) dan dana Corporate Social Responsibilty (CSR) habis untuk pembinaan UMKM.

Padahal, semua kehidupan ini bermuara kepada petani. Hasil pertanian yang harus dikelola dengan baik agar hidup kita tidak terancam oleh krisis pangan?.

Pertanyaan yang muncul adalah jika pertanian adalah sumber utama agar kita tidak terancam krisis pangan mengapa semua kita fokus ke UMKM, industri, perdagangan, dan berbagai sektor lain dalam kondisi krisis?

Dalam konteks inilah kelihatan sekali kekuatan politi petani teramat lemah. Aliran dana ke UMKM banyak karena dorongan politik, bukan? Kekuatan politik pelaku UMKM sangat kuat. Jumlah petani itu sangat banyak, tetapi kekuatan politiknya teramat rendah.

Food estate

Rencana pemerintahan Jokowi membuka food estate menimbulkan pertanyaan  apa persoalan  pertanian kita sehingga muncul ide food estate?

Persoalan pertanian kita adalah banyaknya petani gurem yang tidak memiliki lahan, petani memiliki lahan tidak memiliki tenaga/teknologi untuk mengelola, petani tidak memiliki pupuk atau tidak memiliki keterampilan untuk membuat pupuk organik,  harga yang tidak jelas dan petani tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah pertanian.

Petani kita pada umumnya mengolah tanah dengan cangkul atau alat lain yang menggunakan tangan, bekerja dengan bantuan kerbau atau sapi, dibantu dengan traktor kecil, dan menanam dengan teknologi sederhana. 

Tiba waktunya masa pemupukan, petani mengalami pupuk langka atau bahkan tidak ada, ketika panen harga jatuh. Siklus petani inilah yang berulangkali. Persoalan petani selalu berulang karena tidak ditangani dengan kebijakan yang serius.

Melihat persoalan petani yang selalu berulang, apakah food estate menjadi jawaban akan ancaman krisis pangan?.  Persoalan pangan kita tidak ada kaitannya dengan food estate. 

Jika food estate berhasil maka harga di pasar akan terganggu. Jika produk food estate dijual ke luar negeri, maka jangan disebut food estate untuk menghadapi krisis pangan.

Persoalan utama petani adalah ketidakstabilan harga, maka food estate menyumbang produknya ke pasar maka petani makin menderita. Penderitaan ini tidak bisa lagi disebut amal jariah karena produksi di pasar akan berlebih. Kualitas produk petani kalah saing dengan food estate karena kalah dalam teknologi.

Jika food estate berhasil sukses, produk petani makin tidak laku, maka petani tidak lagi amal jariah karena menjual dengan murah, tetapi menerima amal jariah berupa sembako dari pemerintah. Mengapa?, petani pasti terseok-seok bertanding dengan food estate.

Karena itu, jika pemerintah serius mengatasi ancaman krisis pangan maka, pendampingan petani dengan pelatihan teknologi, ketersediaan lahan, ketersediaan pupuk, dan menjaga harga stabil.

Kemudian, petani didampingi secara kontinu untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertanian. Jalan terbaik bagi bangsa ini untuk menyiasati krisis pangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun