Berbagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk memajukan Pendidikan. Salah satu usaha itu adalah sertifikasi guru. Di awal sertifikasi guru justru bergejolak karena pemerintah terlambat dana sertifikasi guru.Â
Jumlah guru yang diluluskan asesor tidak sesuai dengan jumlah yang tersedia dari kementerian keuangan. Kebijakan dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) ketika itu tidak nyambung dengan Kementerian Keungan (Kemenkeu).Â
Akibatnya, dana sertifikasi guru menahun tidak dibayar. Apakah sertifikasi guru berdampak kepada esensi sertifikasi guru untuk meningkatkan kompetensi guru? Bagaimana sesungguhnya cara untuk membangun Pendidikan yang unggul?
Tujuan sertifikasi guru adalah meningkatkan kompetensi guru. Tetapi dalam realitanya, sertifikasi itu hampir dipastikan tidaj ada korelasinya dengan kompetensi guru.
Kita boleh uji, sekolah yang memiliki guru yang memiliki sertifikat guru dengan kualitas siswa dibandingkan dengan sekolah yang sedikit memiliki sertifikat guru.Â
Apakah siswa yang memiliki guru yang memiliki sertifikat guru lebih unggul dengan siswa yang memiliki guru yang tidak memiliki sertifikat? Pengalaman di lapang tidak ada korelasi kompetensi siswa yang memiliki sertifikat dengan tidak memiliki sertifikat guru.
Dalam prakteknya, sertifikasi guru hanya berkaitan dengan uang semata. Sebagai bukti, siswa-siswa yang lulus ke Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang kini berubah menjadi Kompetisi Sains Nasional (KSN) tidak ada jaminan siswa dari guru yang memiliki sertifikat guru.Â
Berbagai kompetisi siswa dibidang sains dimenenangkan oleh guru yang tidak memiliki sertifikat. Siswa yang unggul dihasilkan guru yang berkomitmen sebagai guru.Â
Guru yang unggul adalah guru yang menyadari dirinya guru dan menjalankan tugasnya sebagai guru. Guru yang memiliki kompetensi ilmiah, hati seorang guru yang memperhatikan siswanya secara utuh.
Dampak dari sertifikasi guru selama ini adalah ketika dana sertifikasi guru tidak dibayar menahun, maka dana yang dibayar sekaligus digunakan membeli barang yang tidak ada kaitannya dengan kompetensi guru.Â
Di beberapa daerah ada yang membeli sawah, modal dagang dan untuk kendaraan keluarga. Ketika luas sawah bertambah, modal dagang tersedia maka waktu atau fokus mengajar berkurang.
Kasus lain adalah beberapa guru mengagunkan SK sebagai guru ke bank untuk bangun rumah atau modal bisnis. Dalam pengamatan saya, dana sertifikasi guru hampir tidak ada kaitannya untuk kompetensi guru.
Bagaimana menghasilkan guru yang berkompeten dan memiliki hati seorang guru yang memperhatikan siswa secara utuh? Guru yang berkompetensi adalah guru yang memiliki sikap terus menerus belajar.
Guru berkompeten adalah guru yang mencari cara mengajar dan ilmu paling mutakhir agar ada hal-hal baru diajarkan kepada siswanya. Artinya, guru yang seluruh hidupnya untuk mengajar atau menyerhakan hidupnya untuk Pendidikan. Jikalaupun ada penghasilan tambahan sejatinya dampak dari profesinya sebagai guru.Â
Misalnya, guru menghasilkan buku dan bukunya menimbulkan dampak uang. Guru yang mengajar di luar tugasnya di sekolah mendapatkan uang dan lain sebagainya. Jika guru menjadikan dagang, bertani dan berbagai bisnis lain, maka fokusnya sebagai guru akan terganggu.
Jika kita amati kualitas siswa selama ini, maka siswa yang berprestasi berasal dari beberapa sekolah yang itu-itu saja. Dulu, Nilai Ebtanas Murni (NEM) SMA tertinggi di DKI Jakarta hampir dipastikan dari BPK Penabur 1 Jakarta. Selalu berulang.
Di Medan siswa yang unggul selalu berulang dari sekolah St. Thomas Medan, SMAN1 Medan, SMAN 4 Medan dan lain sebaginya. Di Banten, hampir dipastikan sekolah BPK Penabur, Pahoa, dan sekolah negeri yang selalu berulang. Mengapa sekolah yang berprestasi selalu sama? Mungkinkah Pendidikan merata?
Fisikawan Indonesia yang berulangkali membawa nama harus Indonesia di pentasi Olimpiade Sains dunia Prof. Yohanes Surya, Ph.D selalu mencari siswa dianggap bodoh di sekolah-sekolah.
Anak-anak yang nilainya paling buruk di sekolah dikumpulkan dan dilatih. Setelah dilatih satu bulan, mereka menjadi anak-anak yang unggul dalam memahami pelajaran.
Ketika digabungkan dengan teman sekelasnya yang lama, mereka langsung kelihatan menonjol dalam pelajaran yang dilatih. Prof. Yohanes Surya, Ph.D mengatakan ada kesalahan guru dalam metode penyampaian dan ada pula guru yang keliru memahami esensi mata pelajaran. Dan, kita tidak melihat siswa secara utuh. Siswa harus dilihat keunikan masing-masing.
Konsep sekolah unggulan dapat dipahami keberadaanya tetapi sekolah unggulan akan menimbulkan kesenjangan sosial. Sejatinya produk sekolah unggulan diperlakukan sebagai tutor sebaya. Mereka yang unggul mengajak teman seusianya untuk belajar secara Bersama.
Demikian juga, guru yang unggul mengajak temannya guru sama belajar untuk saling mengasah. Guru belajar satu sama yang lain dari esensi pelajaran dan juga membicarakan kendala-kendala yang dialami. Faktanya, banyak guru yang bersaing agar siswanya lebih unggul. Hal ini sebetulnya tidak sehat.
Mengingat bahwa anak-anak unggul lahir dari sekolah tertentu, maka dalam rangka pemerataan keunggulan itu maka kebijakan pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah (Pemda), kebijakan yang tepat adalah melatih ulang semua guru di daerah.
Sebagai contoh Kabupaten Samosir, memiliki SMP 35 sekolah, SD 187 sekolah. Jumlah guru SD dan SMP sekitar 2700 orang. Sekolah Dasar (SD) ada di hampir setiap desa dan SMP umumnya ada di kecamatan.
Guru ini dapat difokuskan pelatihannya di tiap kecamatan yang dilatih oleh trainer-trainer yang telah teruji. Para trainer berasal dari Lembaga Pendidikan dan melibatkan Perguruan Tinggi (PTN) yang memiliki kompetensi melatih guru unggul.
Jika guru-guru yang dilatih kemampuannya merata, maka dipastikan setiap sekolah melahirkan siswa yang unggul secara merata pula. Ibarat mangga yang bibitnya dipilih unggul, ditanama dengan cara yang benar, disiram dan dipupuk dengan dosis dan waktu yang tepat maka buang mangga itu pasti ungggul. Di semua aspek kehidupan, jika dijalani secara serius secara otomatis hasilnya optimal.
Pemerataan guru yang unggul secara otomatis menghasilkan anak-anak Indonesia yang unggul secara merata. Dampaknya, dialog siswa di kota, desa, perbatasan akan berdialog dengan baik untuk membahas pengalamannya masing-masing.Â
Selama ini, siswa kota sulit dialog dengan siswa di desa karena kemampuan yang berbeda. Pemerataan Pendidikan menghasilkan yang sama-sama percaya diri dengan keunikan masing-masing.
Komitmen Dana Pendidikan
UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memerintahkan agar 20 % Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dialokasikan untuk biaya Pendidikan. Regulasi itu secara tegas menagatakan kepada kita bahwa Pendidikan itu teramat penting maka alokasi biayanya tertinggi.
Bagaimana dengan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah?
Di hampir setiap daerah, tidak ada yang menangkap esensi Undang-Undang (UU) itu. Pemerintah Daerah (Pemda) pada umumnya fokus kepada pembangunan infrastruktur.Â
Tidak jelas, mengapa Pemda tidak menyadari bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai masa depan bangsa hari esok ditentukan keseriusan kita terhadap Pendidikan saat ini. Ketidakseriusan kita dalam dunia Pendidikan menjadikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kita rendah.
Di Pilkada 9 Desember 2020 ini waktunya rakyat mempertanyakan kandidat Pasangan Calon (Paslon) untuk biaya Pendidikan dan strategi membangun pemerataan kualitas guru.Â
Kualitas guru harus merata agar kualitas siswa merata. Jika kelak kualitas SDM yang tidak merata akan menghasilkan kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial akan berdampak konflik sosial yang tidak pernah selesai.
Jika SDM manusia merata, maka warga negara kita komunikasinya lancar dan keadilan pun menjadi milik bersama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H