Kasus lain adalah beberapa guru mengagunkan SK sebagai guru ke bank untuk bangun rumah atau modal bisnis. Dalam pengamatan saya, dana sertifikasi guru hampir tidak ada kaitannya untuk kompetensi guru.
Bagaimana menghasilkan guru yang berkompeten dan memiliki hati seorang guru yang memperhatikan siswa secara utuh? Guru yang berkompetensi adalah guru yang memiliki sikap terus menerus belajar.
Guru berkompeten adalah guru yang mencari cara mengajar dan ilmu paling mutakhir agar ada hal-hal baru diajarkan kepada siswanya. Artinya, guru yang seluruh hidupnya untuk mengajar atau menyerhakan hidupnya untuk Pendidikan. Jikalaupun ada penghasilan tambahan sejatinya dampak dari profesinya sebagai guru.Â
Misalnya, guru menghasilkan buku dan bukunya menimbulkan dampak uang. Guru yang mengajar di luar tugasnya di sekolah mendapatkan uang dan lain sebagainya. Jika guru menjadikan dagang, bertani dan berbagai bisnis lain, maka fokusnya sebagai guru akan terganggu.
Jika kita amati kualitas siswa selama ini, maka siswa yang berprestasi berasal dari beberapa sekolah yang itu-itu saja. Dulu, Nilai Ebtanas Murni (NEM) SMA tertinggi di DKI Jakarta hampir dipastikan dari BPK Penabur 1 Jakarta. Selalu berulang.
Di Medan siswa yang unggul selalu berulang dari sekolah St. Thomas Medan, SMAN1 Medan, SMAN 4 Medan dan lain sebaginya. Di Banten, hampir dipastikan sekolah BPK Penabur, Pahoa, dan sekolah negeri yang selalu berulang. Mengapa sekolah yang berprestasi selalu sama? Mungkinkah Pendidikan merata?
Fisikawan Indonesia yang berulangkali membawa nama harus Indonesia di pentasi Olimpiade Sains dunia Prof. Yohanes Surya, Ph.D selalu mencari siswa dianggap bodoh di sekolah-sekolah.
Anak-anak yang nilainya paling buruk di sekolah dikumpulkan dan dilatih. Setelah dilatih satu bulan, mereka menjadi anak-anak yang unggul dalam memahami pelajaran.
Ketika digabungkan dengan teman sekelasnya yang lama, mereka langsung kelihatan menonjol dalam pelajaran yang dilatih. Prof. Yohanes Surya, Ph.D mengatakan ada kesalahan guru dalam metode penyampaian dan ada pula guru yang keliru memahami esensi mata pelajaran. Dan, kita tidak melihat siswa secara utuh. Siswa harus dilihat keunikan masing-masing.
Konsep sekolah unggulan dapat dipahami keberadaanya tetapi sekolah unggulan akan menimbulkan kesenjangan sosial. Sejatinya produk sekolah unggulan diperlakukan sebagai tutor sebaya. Mereka yang unggul mengajak teman seusianya untuk belajar secara Bersama.
Demikian juga, guru yang unggul mengajak temannya guru sama belajar untuk saling mengasah. Guru belajar satu sama yang lain dari esensi pelajaran dan juga membicarakan kendala-kendala yang dialami. Faktanya, banyak guru yang bersaing agar siswanya lebih unggul. Hal ini sebetulnya tidak sehat.