Pengalaman saya di medsos, teman-teman yang bergelar doktor  yang  memiliki komitmen pencerahan di medos sering mengalami bulli. Dengan mudahnya orang awam mengatakan kepada seorang akademisi, bodoh kali kau, percuma dosen dan lain sebagainya. Dalam kondisi medsos  kita seperti ini jarang kaum cendekia enggan terjun langsung untuk melakukan pencerahan. Pertanyaanya adalah model apa yang kita lakukan untuk pencerahan?
Dalam dialog dialog kita sepakat bahwa kita menulis dengan bahasa yang dapat dipahami orang awam. Pertanyaanya adalah apakah orang awam kita masih mau membaca? Jika tidak mau membaca, apakah sikap itu akan turun temurun? Siapakah yang mau menyelesaikan persoalan mereka yang berkelanjutan? Sejatinya, medsos merupakan media tanpa batas  komunikasi para cendekia untuk orang awam. Persoalannya adalah orang awampun tidak mau belajar.  Sikap tidak mau belajar dipertahankan dan cenderung tidak mau bersikap belajar untuk diteladani anak-anaknya.
Guru besar Fisika  Prof. Yohanes Surya, Ph.D  mengatakan,"kita harus memulai  mengajar secara intensif orang-orang yang dianggap bodoh karena jika tidak negara akan terbeban dengan warga Negara yang bodoh secara berkelanjutan". Jika orang yang dianggap bodoh itu masih anak-anak, maka mudah kita kumpulkan agar kita mencari cara mengajar yang mudah, asyik dan menyenangkan. Persoalan kita di medsos adalah kita berinteraksi dengan sikap  bodoh, sombong, merasa pintar dan tidak ada sikap mau belajar. Karena itulah banyak kaum cendekia ambil jarak  dan  membiarkan kondisi ini.
Apakah kita  menyadari  kendala pembangunan kita adalah banyak para awam yang menolak pembangunan? Padahal, demokrasi yang kita  bangun adalah  politik rasional. Demokrasi dapat berjalan dengan baik jika pemilihnya cerdas dan rasional.  Jika demokrasi yang kita bangun berjalan dengan asumsi pemilih cerdas, mengapa kaum cendekia membiarkan?
Kita harus menyadari demokrasi tidak akan berjalan dengan baik jika pemilih irasional lebih banyak dari pemilih rasional. Jika pemilih rasional maka demokrasi kita berjalan dengan baik. Demokrasi tidak dapat kita harapkan jika pemilih irasional lebih banyak. Politik uang bisa dihentikan jika pemilih kita mau belajar dan mengasah nurani dan tentunya makin rasional.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H