Mohon tunggu...
Gurgur Manurung
Gurgur Manurung Mohon Tunggu... Konsultan - Lahir di Desa Nalela, sekolah di Toba, kuliah di Bumi Lancang Kuning, Bogor dan Jakarta

Petualangan hidup yang penuh kehangatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Daerah Sulit Bangkit dari Kubangan Kemiskinan?

29 Agustus 2020   11:20 Diperbarui: 29 Agustus 2020   11:58 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembagian sembako dan Bantuan  Langsung  Tunai (BLT) ke masyarakat akibat dampak Covid19  menunjukkan ekonomi rakyat Indonesia khususnya daerah sangat lemah.  Daya tahan ekonomi rakyat di daerah termat lemah. 

Mengapa ekonomi rakyat di daerah khususnya di Desa lemah padahal kita memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang  sangat baik. Secara logika,  desa sebetulnya memiliki daya tahan yang lebuih kuat dibanding kota karena di desa tersedia  berbagai macam kebutuhan pokok.  Faktanya, desa rapuh  sehingga diberikan sembako dan BLT.

Desa tidak kuat  karena pemerintah daerah gagal membangun ketahan ekonomi  yang kuat dan pangan karena : Pertama,  Pembangunan berorientasi proyek.  Perencanaan  pembangunan yang  berdasarkan musrembang hanyalah sebuah prosedural.   

Musrembang belum mampu melihat rencana kebutuhan berdasarkan kebutuhan mendesak rakyat. Karena rencana pembangunan di musrembang berdasarkan siapa yang kuat mengusulkan rencana pembangunan.  

Jika ada kelompok masyarakat yang ingin membangun di suatu daerah  jika bupati atau walikota tidak mendapat bagian  belum tentu program itu dilaksanakan.  

Orientasi proyek menyebabkan Bupati atau Walikota  fokus kepada pembangunan fisik karena pembangunan fisik. Padahal, suatu daerah akan maju pesat jika  Sumber Daya  Manusia  (SDM)  sangat baik. SDM yang baik dan memiliki integritas, semangat melayani, inovasi dan kreatifitas menjadi modal utama daerah akan maju.

Kedua, tidak dapat dibantah bahwa biaya politik ketika Pemilihan Kepala Daerah  (Pilkada) secara lansung  sangat tinggi (high cost).   Modal pribadi, hutang politik ke pendukung dan hutang politik ke partai politik juga menjadi beban Bupati atau Walikota.  

Sejatinya modal pribadi, utang politik kepada sponsor dan hutang politik ke  Partai Politik tidak sulit dibayar jika dikeola dengan baik.   Pembayaran hutang politik kepada pendukung  dapat diselesaikan jika Bupati atau Walikota bukan bayangan. Karena itu Bupati dan Walikota memiliki kapabilitas yang baik.  Hutang-hutang itu dapat diselesaikan jika  kemampuan memimpin seorang Bupati dan Walikota. 

Faktanya, setelah terpilih  muncul "keributan" internal para pendukung.  "Keributan" itu  menghabiskan energy dan mengorbankan rakyat. Hampir tidak ada sisa energy bagi rakyat. Karean itu, ketika Pilkada tiba, tak satupun program petahana yang dapat dijelaskan kepada rakyat. 

Akibatnya,  modal politik yang dikumpulkan menjadi modal Pilkada berikutnya.  Karena "keributan" internal  maka tim sukses dan Parpol pendukungpun berganti.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun