Akhir-akhir ini dikawatirkan  anak milenial  jarang yang mau menjadi petani. Anak milenial desa  pergi ke kota sebagai urban untuk  mencari pekerjaan. Sebagai anak petani ketika lulus  sarjana saya bersama 3 sahabat waktu kuliah  mencoba membuka lahan pertanian dengan motivasi bahwa petani itu bisa bertahan dalam  kehidupan yang jujur dan tidak banyak potensi  berbuat curang. Bagi kami petani itu bekerja keras dengan menghasilkan produksi, menjual, kemudian menikmati hasil kerja keras. Hidup damai, jauh dari belenggu dosa kata kami di sebuah kamar kost ketika itu. Berharap, kami petani yang sejahtera dan mensejahterakan orang banyak ketika itu.
Ketika kuliah kami menyewa rumah  tiga kamar. Kami hidup bersama teman-teman dengan berlangganan  harian Kompas dan majalah gatra dan sekali-sekali membeli majalah Forum dan media lain. Kami memiliki selera sama menyukai berita politik dan ingin mengetahui perkembangan politik di Indonesia. Hanya satu yang suka berita bisnis, marganya Tarigan.  Cita-citanya menjadi pengusaha, kini  Tarihgan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Suatu sore, di kamar  Tarigan kami berkumpul. Kemanakah kita setelah lulus?. Ketika itu  kami sama-sama menunggu sidang skripsi.  Seorang marga Sihombing melontarkan ide agar menjadi petambak udang, si Manik bertanya, darimana modal?.  Saya lupa, siapa yang melontarkan  sarannya agar menjadi Pegawai Negeri Sipil  (PNS kini ASN) agar bisa memperbaiki birokrasi.Â
Sihombing langsung memotong pembicaraan, boro-boro memperbaiki birokrasi, mana mungkin PNS baru masuk  memperbaiki birokrasi?. Memperbaiki birokrasi itu butuh kekuasaan (power). Apalah kekuasaan seorang PNS baru masuk?.  Empat bulan kemudian, Sihombing lulus PNS. Dia ikut test PNS hanya untuk menguji kemampuan. Iseng istilahnya. Sampai kini, Sihombing menjadi ASN.
Sihombing lulus PNS, kami tinggal berempat.  Kami sepakat membuka kolam ikan dengan teknologi logyam (kolong ayam). Ide longyam adalah  ide Tarigan. Ketika itu saya menurut saja, karena naluri bisnis  dan pengetahuan bisnis kelihatan sama Tarigan. Bacaanya adalah rubric bisnis di harian Kompas dan majalah Gatra dan tentu media lain yang tidak langganan. Hakul yakin, pengethuan dan naluri  Tarigan membawa kami sukses.Â
Saya sukanya baca politik dan teman  Sitanggang dan  si Manik rajin baca rubrik budaya, sosial  dan  buku-buku agama.  Si Manik itu rajin berdoa sejak kuliah. Mungkin karena rajin doa, seorang gadis idaman jatuh hati padanya ketika itu.  Dia pemenangnya di tengah persaingan yang ketat untuk menaklukkan hati  putri bagaikan ratu Inggris itu.
Kami membuka kolam  sekitar 2 ha dengan tangan sendiri. Saya yang paling kuat mencangkul karena anak Desa. Tarigan dan  si Manik sudah lahir di Medan, jadi baru belajar cara mencangkul.  Walaupun baru belajar mencangkul, mereka berdua cepat  beradaptasi menjadi petani berlumpur. Â
Tidak lama, kami membuat pematang kolam. Cukup mudah, karena sudah kolam bekas.  Sitanggangg dari Pangururan Samosir,  tetapi  SMA sudah di Aceh sebagai siswa kejuruan. Jadi, mudah beradaptasi. Si Manik dan Tarigan lahir di Medan tetapi jago membuat kandang ayam.  Saya tak begitu suka bertukang, jadi saya mengambil kayu ke hutan  dan kawan-kawan.
Ketika kami ambil kayu di hutan rakyat untuk tiang kandang ayam, kami menemukan banyak monyet. Anjing yang kami pelihara kami bawa ke hutan dan ketika berjumpa,  anjing itu  mengejar monyet dan  monyet itu memanjat. Anjing kami menggonggongi monyet itu. Ketika anjing kami menggonggongi monyet itu, tiba-tiba monyet menarik ekor  anjing kami dan anjing itu digantung monyet.Â
 Anjing-anjing kami itu kucar-kacir mendengar jeritan anjing kami yang ditarik ekornya ke atas kayu. Dasar monyet, pikirku. Monyetnya nakal dan luar biasa cerdas. Strategi perlawanannya  lebih hebat dari ahli perang yang sesungguhnya. Ekor salah satu anjing kami ditarik dan anjing-anjing lain berlarian karena kaget. Cerdas niat monyet itu.
Kami menikmati hidup kami menjadi petani. Tetapi krisis ekonomi 98 membuat kami hancur lebur. Ayam yang kami pelihara terancam kelaparan.  Harga pakan naik sekitar 350 % sementara harga daging hanya 20-50 %.  Setiap ekor ayam harus disubsidi.  Modal awal kami adalah patungan dan sudah habis membeli bibit ikan, membuat kandang ayam, peralatan kandang ayam dan membeli  pakan ikan.  Peternakan ayam yang hanya 30 hari panen diharapkan diputar keuntungannya untuk pakan ikan justru terbalik. Ayam yang diharapkan untung mengalami buntung karena kenaikan harga pakan.Â
KENDALA BAGI PETANI PEMULA
Kedala utama ketika itu adalah keluarga dan lingkungan. Di lingkungan kami bertani, ada semacam persepsi masyarakat untuk apa sarjana kalau menjadi petani?. Â Tidak perlu sarjana untuk menjadi petani. Habis uang kuliah hanya untuk menjadi petani berlumpur.Â
Suatu ketika, ada saudara kami  satu desa saya ajak ke kolam kami itu. Kami panen dan menikmati hasil panen.  Tetapi, ketika pulang ke desa kami saudara itu memberitahu ibu saya bahwa saya menjadi petani. Ibu saya sedih dan memberitahu abang dan kakak saya. Semua keluarga tidak setuju dan nada suaranya adalah  "untuk apa sarjana menjadi petani?". Kendala itu tidak  hanya pada saya.  Tetapi ke teman-teman saya juga.
Tekanan dari ekonomi global, lingkungan dan keluarga membuat saya memutuskan kuliah di pascasarjana IPB Bogor. Kawan saya yang lain 2 orang lulus ASN dan 1 orang lain menjadi pengusaha di bidang jasa. Kami gagal menjadi petani. Walaupun kami gagal menjadi petani, berharap niat awal hidup yang jujur masih terjaga. Â Menjadi jujur tidak harus petani.
Dari pengalaman kegagalan kami menjadi petani, satu hal yang membuat petani  tak berdaya adalah kartel.  Pengusaha penghasil anak ayam (DOC) memiliki data kapan petani panen. Jadi, pengusaha DOC yang juga pengusaha daging ayam dapat mengutak atik harga. Berbagai alasan ke pemerintah. Dan, pemerintahpun tak berdaya.
Kami ingin berjuang, tapi tak mampu karena tidak punya kuasa. Bagimana mampu memperjuangkan nasib petani, menajdi petani saja kami gagal. Walaupun gagal, senang melihat aktivitas masing-masing dan memiliki keluarga bahagia. Â Salam bahagia untuk Sihombing yang iseng saja lulus PNS, Tarigan yang ambisi pengusaha juga menjadi ASN, Â Sitanggang juga ASN, si Manik menjadi pengusaha yang terus konsisten melayani di gereja. Tinggal saya menjadi petualangan yang tak berujung. Â
Di tengah petualangan hidup tak berujung, kita menitipkan nasib petani kepada Jokowi. Petani itu  akan sejahtera jika Negara hadir membawa kebijakanya.  Jika Negara hadir  dikehidupan petani, maka secara otomatis pemuda milenial akan tertarik menjadi petani. Jika Negara hadir bagi petani, maka menjadi petani itu keren bagi milenial. Negara harus membangkitkan semangat milenial untuk menjadi petani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H