Tanggal 9 Desember  2020 di masa  yang amat sulit karena Covid 19  mau tidak mau, suka atu tidak suka kita melakukan pesta  demokras i yaitu  Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seluruh Indonesia.Â
Kepala Daerah seperti Gubernur, Walikota dan Bupati akan dipilih. Â Pemilihan Kepala Daerah ini berisiko karena berkumpul ke TPS dan paniti seperti KPU dan Bawaslu akan mengawasi. Â
Proses Pilkada ini beresiko tetapi resiko tertinggi adalah pemimpin yang terpilih adalah pemimpin yang masih bermental orientasi proyek, memperkaya diri dan tidak memiliki inovasi dan kreativitas untuk menemukan solusi di tengah pemangkasan postur tubuh anggaran nasional maupun daerah karena biaya tersedot ke penanganan Covid 19.
Jika kita melihat Rencana Keja Kementerian dan Rencana Kerja Pemerintah dan Lembaga RKK/RKP/L  tahun 2021 yang semuanya anggaran menurun drastis maka kebutuhan mendesak kita adalah pemimpin yang bijak, energik, kreatif untuk mengarungi badai dahsyat Covid 19.  Fakta kekinian adalah  semua sektor ambruk karena Covid 19.  Â
Sektor UMKM, produksi pertanian, perikanan, peternakan lesu karena kesulitan  distribusi pakan dan pupuk. Petani kesulitan pupuk dan harga anjlok, peternak kesulitan memperoleh pakan dan penggiat budidaya perikanan kesulitan pakan dan nelayan pun terganggu melaut.  Semuanya serba gamang.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saja mengajukan Penyertataan Modal Negara  (PMN) sebesar 19 Triliun dan Menteri BUMN meminta alokasi tambahan Rp 73 T.  Â
Perusaahan raksasa Garuda meminta dana talangan sebesar Rp 8,5 T. Jika Garuda  yang didukung BUMN seperti  Angkasa Pura  yang juga BUMN bagaimana dengan perusahaan penerbangan swasta seperti Lion, Air Asia, Srwijaya dan  yang lain?
Dalam konteks inilah kita bisa melihat makna manajemen tanpa dukungan Negara dan perusahaan milik Negara. Jika PT. Kereta Api Indonesia  PT. KAI) dibantu Negara  memang sebuah keharusan karena  Public service Obligation (PSO) dan tugas sosial lain yang ditugaskan oleh Negara. Tetapi, Garuda itu tiketnya mahal dan tidak perlu biaya marketing karena  pejabat Negara dan para elite  sudah langganan Garuda.
Gambaran manajemen garuda bisa menjadi potret bagi kita bahwa mengelola perusahaan dan pemerintahan tidak  tergantung kepada kemudahan-kemudahan.Â
Garuda yang dianggap kebanggan Negara itu selalu dipermudah oleh Negara. Â Sejatinya, kemudahan fasilitas dan jejaring akan menghasilkan efisisensi dan efektivitas kinerja perusahaan.
Bagaimana dengan Pilkada  yang akan berlangsung 2020?.  Kriteria apa yang kita pilih menjadi pemimpin daerah?. Gambaran atau potret Bupati/Walikota/Gubernur sekarang adalah hamper semua orientasi proyek. Pemimpin daerah belum menunjukkan distribusi keadilan. Kesan yang kita lihat adalah pemimpin daerah bekerja untuk mengembalikan biaya kampanye.
Prioritas pemimpin daerah adalah mengerjakan sebuah proyek yang dapat menghasilkan  komisi.  Apa indikator bahwa pemimpin daerah sekarang  orientasi proyek?Â
Indikatornya adalah kita tidak melihat pendidikan demokrasi, pendidikan tidak dikelola dengan baik. Hampir tidak ada korelasi  keberadaan dinas pendidikan dengan mutu siswa. Siswa berprestasi an sih karena kualitas guru. Guru berkualitas karena inisiatif guru. Â
Masih jarang fasilitas atau kegiatan dinas pendidikan di daerah  mempengaruhi kualitas guru. Bahkan  dinas pendidikan bisa menjadi beban bagi guru.  Hubungan guru dengan dinas pendidikan panas dingin.  Jika dinas pendidikan memiliki visi pendidikan yang jauh kedepan maka hubungan guru dan dinas pendidikan akan hangat.
Kunci utama majunya suatu daerah sangat ditentukan oleh siapa Gubernur, Walikota dan Bupati.  Karena pertanyaan siapa sangat penting maka  partai politik dan rakyat harus sama-sama menyadari konteks kekinian adalah kondisi darurat. Â
Dalam kondisi darurat  tidak mungkin Gubernur/Bupati/Walikota yang pikirannya proyek untuk memperkaya diri mampu menyelesaikan masalah yang amat rumit ini.
Dalam konteks masa sulit ini maka kita membutuhkan pemimpin yang kepekaan sosialnya telah teruji,  rekam jejaknya  sangat baik dan integritasnya sangat baik. Â
Gambaran pemimpin di masa sulit ini adalah pemimpin yang energik karena kegiatan prioriytas adalah kegiatan sosial karena dampak ekonomi Covid 19 adalah berkelanjutan dan butuh waktu lama. Dampak Covid 19 ini sangat berbekas dan masih berlanjut.
Coba kita lihat petahana yang mencalonkan kembali tahun 2020 membagikan Bansos saja lelet dan manajemennya sangat buruk. Ditambah lagi politisasi agar  seolah-olah Bupati atau walikota yang memberi Bansos itu. Â
Penjadwalan agar Bupati/Walikota yang memberi membuat distribusi bansos lambat. Atau sengaja mengulur waktu agar bantuan itu  mendekati Pilkada?
Jika ada niat-niat seperti itu maka sangat tidak layak menjadi pemimpin. Cara berpikir seperti itu sangat melukai kemanusiaan.
Memahami kondisi sekarang yang amat sulit maka semua kita sadar sesadar-sadarnya untuk memilih pemimpin daerah yang energik, cerdas, bijak, kepekaan sosial yang tinggi, memahami distribusi keadilan dan kemampuan manajemen interkoneksitas yang baik.Â
Di tengah terjun bebasnya dana Negara menangani Covid 19 ini maka pemimpin daerah harus memiliki kemampuan mengoptimalkan jejaring.  Jejaring, koneksitas, komunikasi dan daya tempur yang tinggi untuk keadilan  menjadi ciri pemimpin  yang terpilih di Pilkada 2020.
Partai Politik dan rakyat harus menyadari kondisi kita darurat. Darurat keuangan, kesehatan, budaya, lingkungan dan sosial. Â Dalam kondisi darurat, apakah kita masih mempertahankan pemimpin yang oportunis, orientasi proyek demi kepentingan diri dan hamper tidak ada proteksi bagi rakyat miskin?
Bukankah kini kita mengalami kondisi yang amat sulit dan butuh pemimpin yang mampu membawa solusi?. Â Inilah momentum bagi kita berubah untuk sebuah keadilan bagi rakyat. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H