Setiap tahun ajaran baru orang tua siswa sibuk tak menentu karena sistem zonasi. Para orang tua berupaya untuk memasukkan anaknya ke sekolah unggulan. Orang tua banyak yang merasa sistem zonasi tidak proporsional atau ada yang menyebut tidak adil. Zonasi yan dikaitkan dengan umur dianggap tidak fair. Penerimaan dianggap fair jika berdasarkan prestasi siswa.  Mengapa sebenarnya orang tua  memaksakan diri  dengan cara demo agar anaknya masuk sekolah unggulan?.
       Tujuan kita menyekolahkan anak adalah agar anak itu  memiliki afektif, motoric dan kognitif yang baik sehingga anak itu mampu mandiri untuk dirinya sendiri dan berkontribusi untuk keluarga, komunitas, bangsa dan Negara. Apakah dengan demo  bagian dari teladan  kita untuk memperoleh afektif, motoric dan kognitif bagi anak kita?.  Jika anak kita kalah dengan siswa lain karena perbedaan umur, tidakkah sangat baik kita ajarkan nilai kepada anak kita agar menghormati anak umurnya lebih banyak?. Nilai menghormati umur yang lebih banyak secara langsung kita sudah mengajarkan pendidikan afektif kepada anak kita. Bukankah anak yang kognitifnya bagus, ketika afektifnya tidak bagus akan berbahaya masa depannya?.
       Kesalahan zonasi yang fatal sebenarnya adalah pemerintah berbicara pemerataan kualitas pendidikan. Sejatinya, langkah awal pemerataan  pendidikan aadalah  membangun kualitas guru dengan pelatihan yang kontinu. Guru-guru semua diperbarui (up grade) agar kreatif  cara mengajar da isi yang diajarkan. Guru-guru yang rajin dan kontinu di up grade pasti kreatif, inovatif dan gairah mengajar.  Jika guru yang tidak mau up grade diri maka lebih baik ganti kegiatan saja karena sangat berbahaya bagi masa depan pendidikan. Guru yang stagnan hanyalah merugikan diri sendiri dan dunia pendidikan kita.Â
       Jika guru di up grade, fasilitas pendidikan disamaratakan  seperti infrastruktur sekolah, laboratorium dan berbagai  fasilitas untuk merangsang kreatifitas siswa maka secara otomatis orang tua memilih sekolah yang dekat dengan rumahnya.  Siswa tidak perlu lelah ke tempat yang jauh dan memilih yang dekat dengan orang tua. Tetapi, orang tua rela menyekolahkan anak ke tempat yang jauh dari rumah bahkan dijadikan kost karena orang tua menyadari kualiatas guru dan  fasilitas sekolah yang berbeda.
       Kualitas sekolah yang tidak proporsional  membuat anak  dan orang tua gagal masuk ke sekolah unggulan. Kita lupa anak-anak yang  gagal ke sekolah yang dianggap unggulan justru sukses.  Saya pernah membaca kisah Presiden Jokowi gagal ke sekolah unggulan di Solo, karena kegagalan itu Jokowi rajin belajar dan masuk Fakultas Kehutanan UGM. Jika kita telusuri, terlalu banyak  anak yang gagal sekolah unggulan dan sukses seperti Presiden Jokowi.
       Di tengah polemic zonasi muncul pertanyaan sesungguhnya siapa yang harus unggul?. Orang tua atau sekolah atau  keduanya?.  Pertanyaan ini sulit dijawab karena sebab akibat.  Konflik atau ketidak senangan orang tua dan siswa  karena zonasi adalah akibat pemerintah salah mengelola pendidikan. Akibatnya muncullah unggul tidak unggul  dan perbedaan sangat tidak proporsional.  Pemerintah yang salah sejak awal tetapi dikorbankan siswa atas nama pemerataan. Undang-Undang kita menjamin anak-anak kita berhak mendapatkan pendidikan yang terbaik.
       Di tengah tidak proporsional kualitas pendidikan kita, bagimana sikap yang benar orang tua karena sikap itu bagian dari proses pendidikan bagi anak kita?.  Jika kita melihat secara objektif kunci keberhasilan anak adalah di tangan orang tua.  Keputusan orang tua yang utama menentukan anak itu hebat atau tidak.  Di Sekolah anak  itu tidak  bisa diperhatikan secara utuh. Tetapi orang tua mampu melihat kelemahan dan kelebihan anak itu secara utuh. Orang tua melihat 100 % menilai kemampuan anak menuliskan isi hatinya, perasaanya, keinginanya, kekuatirannya, cita-citanya dan semua yang terkait anak yang tau adalah orang tua secara utuh. Pertanyaanya adalah apakah kita orang tua yang memahami itu?.
       Jika anak kita ingin menjadi ahli hukum, orang tua bisa membawanya ke Fakultas Hukum di seluruh Indonesia,  berjalan-jalan ke gedung mahkamah agung, kantor kejaksaan agung, kejaksaan tinggi, kejaksaan negeri, ke Mahkahamah Konstitusi (MK) dan membawa ke kantor teman yang pengara dan kemanapun bisa kita ajak yang terkait dengan hukum. Kita bisa belikan buku-buku bermutu terkait dengan hukum.  Kita jugadapat arahkan anak kita ke paradigm hukum. Bagimana benturan hukum konvensional dengan  hukum adat dan hukum internasional.
       Jika kita mengetahui cita cita anak kita dapat kita arahkan dengan baik.  Belajar semacam ini menarik sekali dibandingkan anak kita lelah belajar keras  agar masuk Universitas unggulan lagi. Belajar cara itu rasanya melelahkan.  Sekolah unggulan dan Universitas hebat tentu sangat baik, tetapi membangun afektif dan motoric anak tidak kalah penting. Afektif, kognitif dan motoric adalah satu kesatuan yang seimbang dal diri anak kita agar hidupnya proporsional.
       Orang Tua Yang Utama
       Dalam pengamatan saya menyekolahkan anak di sekoalh unggulan dengan asrama seolah kebanggaan. Apa sesungguhnya yang dibanggakan ketika anak sekolah unggulan yang berasrama?. Mengapa kita orang tua lebih percaya didik model asrama dibandingkan kita yang mendidik dengan batin kita?. Apakah orang tua ingin hanya cari uang dan anaknya jadi?. Bagimana dengan ank asrama yang berjumpa hanya sekali sebulan atau sekali 6 bulan atau sekali setahun saja?.  Bagaimana kualitas komunikasi orang tua dengan anak dengan pola semacam itu?.
       Coba kita Tanya diri kita sendiri?. Mengapa orang tua bangga anaknya sekolah berjauhan?.  Apakah orang tua sadar bahwa masa-masa pertumbuhan seperti SMP dan SMA kita kehilangan momentum untuk bercanda, memeluk dan  menghabiskan malam atau sore dengan anak?. Apakah kelak jika  mereka sudah dewasa dan sarjana mereka yang satu asrama lebih suka kumpul dengan  teman-temanya ketika masa-masa sekolah dibandingkan kumpul dengan orang tua?.
       Orang tua bisa berargumentasi bahwa pertemuan dengan anak tidak dilihat dari kuantitas tetapi kualitas. Kualitas apa yang kita bangun jika jumpa dengan anak SMA hanya sekali sebulan atau 2 kali setahun?.  Bagaimana jika bandingkan dengan perjumpaan tiap hari dihabiskan dengan orang tua dengan canda, belajar bersama, berargumentasi,  berkonflik, berlibur tanpa harus tergopoh-gopoh pulang karena aturan asrama dan lain sebagainya?. Pola yang paling kreatif mana yang kita pilih?. Jika anak memiliki masalah, siapakah yang bisa menyelesaikan permasalahan anak itu?.  Mungkinkah bisa berbisik dari hati ke hati jika anak itu sudah jarang berjumpa?.
       Debat  selama ini siapakah yang lebih bertanggungjawab atas kualitas dan karakter anak?. Jawabnya adalah orang tua. Guru, lembanga pendidikan dan kurikulum hanyalah tambahan. Secara personal orang tua yang memahami anak secara utuh.  Orang tua wajib terus belajar untuk bertanggungjawab untuk anak.
       Jadi, orang tua yang anaknya tidak lulus ke sekolah unggulan santai saja. Kesempatan bagi orang tua untuk kreatif. Dalam rangka memperbaiki kognitif banyak cara yang bisa kita lakukan. Pelajaran tambahan dengan mengantar anak ke ahli paling hebat. Kita hanya memilih saja sesuai kesenangan anak. Anak kita sekolah untuk memiliki teman dan nanti ada temannya satu alumni.  Jika anak kita tidak memiliki teman sekolah, anak kita kurang cerdas bersosialisasi.  Masa depan anak tidak ditentukan sekolah unggul tetapi orang tua yang unggul. Sekolah unggula itu penting, tetapi orang tua unggul lebih penting.Â
      Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI