Dua hari lalu adik ipar saya yang datang ke rumah untuk berkunjung ke rumah kami  bertanya kepada saya, bagaimana ceritanya abang suka menulis?.  Saya jawab," suatu pagi sekitar pukul 4.00 WIB  seperti biasa ibu saya bangun untuk memasak, kemarin sorenya aku pulang dari rantau, ketika itu saya masih mahasiswa disuruh bangun pagi untuk menagih hutang, dengan  kaget saya bertanya hutang apa?".  Ibu mengatakan orang itu pinjam untuk masuk  Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Sejujurnya, saya tidak mau menagih hutang karena ketika itu aku mengikuti kelompok diskusi  Alkitab di kampus yang intinya tidak boleh berhutang. Pemahaman Alkitab saya ketika itu  berbagi  dan menolong orang yang layak ditolong. Hidup itu bertolongtolongan. Jika pinjam meminjam akan menimbulkan konflik karena potensi konflik sangat tinggi karena  terlambat bayar atau tidak dibayar sama sekali. Proses terlambat bayar dan tidak dibayar akan memunculkan "musuh" baru atau tekanan batin.  Itulah argumentasi teologia saya ketika itu.
Tetapi, karena  uang itu dalam rangka  masuk  PNS,  maka saya langsung  terbangun dan pergi setelah serapan pagi.  Burung-burung bersiul dan ayam berkokok sesukanya pagi itu. Suasana desa yang sangat kusukai.  Ketika itu idealisme yang membara terpatri dalam diri saya. Lalu, adik ipar saya merasa tidak nyambung dengan cerita saya. Apa hubungannya bang menagih hutang dengan  menulis?. Sabar dulu mendengar ceritanya iya.  Kalau orang senang menulis, kadang bahasa pengantarnya panjang, jadi, sabar dulu.
Mendengar cerita ibuku bahwa uang itu untuk masuk PNS guru SD, sementara saya tahu persis bahwa jumlah yang mendaftar kurang, itu yang membuat saya marah dan jengkel.  Saya menjumpai  orang itu dan saya bukan menagih tetapi saya tanya kepada siapa  diberikan uang itu karena jumlah yang mendaftar menjadi guru SD kurang.Â
Kalaupun jumlah pendaftar kurang, mana bisa masuk PNS pakai uang?. Sebagai seorang yang aktif di dunia sosial tentu saja memiliki data-data perkembangan dinamika sosial dan dinamika politik.  Bagaimana mungkin jumlah pendaftar kurang tetapi tetap menerima uang pelican?.  Orang itu memberikan  nama penerima uang itu.
Saat itu juga saya kejar si penerima dan kami langsung konflik dahsyat. Dia arogan dan meminta saya bukti kwitansi bahwa dia menerima. Saya diancam  fitnah dan akan dilaporkan ke polisi?. Saya siap dilaporkan ke polisi dan ke Ambarlossung (istilah orang Batak yang artinya kemanapun).Â
Kami ribut ketika itu. Karena saya  terus bertahan agar uang itu dikembalikan, dia berkata bahwa uang itu sudah disetor ke Medan.  Kau penjahat, aku pula yang kau ancam, meong, serangku.  Saya cukup beringas ketika itu. Maklum, masih mahasiswa.  Ketika itu bisa beringas menegakkan keadilan itu kebanggaan.
Beberapa minggu kemudian  saya pulang kuliah ke kota  dan telpon datang dari orang yang meminjam uang itu. Dalam telpon itu  dia menangis menjerit karena diancam. Katanya dalam telpon bahwa dalam  Undang-Undang (UU) PNS pemberi dan penerima pelican  resikonya sama. Minta tolong, jangan diganggu lagi.Â
Katanya, kita jangan diadu untuk seorang  Gurgur Manurung, sebab dia  mencari nama.  Jeritan dan tangisan telpon itulah yang membuat saya berhenti membongkar kasus itu. Dan, tidak lama kemudian uang ibu saya  sudah dikembalikan. Dalam penelusuran, peserta ujian banyak yang memberi pelican ketika itu.  Sedihnya, peserta tidak tau bahwa jumlah pendaftar dan yang diterima kurang dari yang dibutuhkan.
Jika hal ini saya singgung, orang-orang yang  dimaksud ketakutan luar biasa.  Tujuan tulisan ini  bukan untuk mengangkat kasus itu lagi, tulisan ini  mengajak kita untuk hiduplah jujur dan menjaga integritas. Kejadian ini sekitar 30 tahun lalu. Hidup jujur itu tenang dan  terus-menerus inovatif dan kreatif. Jika kita hidup dalam kekelaman, tipu menipu,  batin kita meronta-ronta tapi kita abaikan. Â
Cerita masuk PNS ada lagi yang lucu dan menjengkelkan ketika itu. Saya kenal ada guru agama Kristen, saya  informasikan  Pemkab butuh guru agama Kristen dan pendaftar  masih kurang, mendaftarlah kalau tertarik. Jawabnya adalah, "mana mungkin lulus kalau tidak punya uang?". Loh, pendaftar guru agama Kristen kurang loh. Masa guru agama Kristen jawabnya begitu?.  Jawabanmu itu memang tidak layak jadi guru agama Kristen, jawabku setengah canda.  Beberapa tahun kemudian lulus menjadi PNS, dan tetap guru agama. Semoga sudah berubah.
Saya lelah  seperti itu dek, lelah bergerak hanya saya yang mengetahuinya  dan banyak yang membenci?.  Orang yang membenci itu mengajak orang lain membenci saya. Dibuatlah gelar-gelar yang  membuat  opini  bahwa kita  orang munafik. Mereka membuat stigmatisasi kepada kita.Â
Karena lelah dan tidak efektif, saya baca beberapa  buku tentang dahsyatnya dampak sebuah tulisan.  Ketika itu saya membaca artikel yang isinya, ujung pena lebih tajam dari pedang. Ujung pena penulis bisa meruntuhkan kekuasaan. Mulailah saya  belajar menulis untuk menambah  efektivitas perjuangan.
Tersingkir
Saya senang bergaul dan senang belajar. Suatu ketika, saya  memiliki komunitas diskusi. Kami bicara interitas, kejujuran dan idealisme.  Diam-diam kelompok diskusi  kami itu berbisnis dan hanya saya tidak diajak. Saya menduga, mereka anggap saya kaku. Padahal, saya penganut fleksibilitas yang tinggi. Saya memiliki kompromi yang tinggi tetapi tidak dengan prinsip.  Prinsip hidup kita memang harus dijaga karena menyangkut nilai-nilai hidup.
Jika hidup kita tidak memiliki nilai,  secara otomatis  kita tidak memiliki gairah hidup. Otak kita malas berpikir karena tidak jelas apa yang kita cari.  Nilai-nilai hidup membuat kita bergairah  dan inovatif untuk mencapai tujuan dan mimpi kita. Mimpi kita dan nilai-nilai yang kita perjuangkan yang membuat kita bahagia.
Berjuang memperjuangkan nilai kebangsaan, budaya dan nilai iman kita dengan bergerak (berkarya dengan berbagai kegiatan)  dan gerakan kita itu didukung oleh tulisan kita. Dengan demikian hidup kita  menarik dan seru.
Bersahabat
Bagaimana sikap yang benar  seorang penulis dan sekitarnya?.  Bagimana jika seorang penulis berteman dengan pengusaha yang nakal,  koruptor dan perbuatan yang tidak baik?.  Sikap yang benar adalah saling menjaga.  Penulis harus jaga jarak dengan pengusaha nakal, koruptor dan kejahatan lain.Â
Jika teman tidak mau ditulis jagalah perasaan penulis. Penulis juga harus bijak apa yang layak ditulis. Dipikirkan dampak dan manfaatnya dan nilai apa yang hendak diperjuangkan. Â Penulis itu memperjuangkan nilai. Â Lain halnya, menulis untuk mencari uang. Menulis yang dibayar memang konteksnya sudah berbeda. Jika menulis demi uang maka, menulis bukan lagi alat perjuangan. Menulis resep makanan dan promosi tetap menulis namanya, tetapi berbeda nilainya. Â Tetapi, satu hal yang harus kita pegang yaitu objektivitas dalam menulis apapun.
 Menulis itu seru dan tidak kehabisan ide jika menulis itu sebagai alat perjuangan. Itulah kepuasan dan kebanggaan seorang penulis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H