Mohon tunggu...
Agnes Hening Ratri
Agnes Hening Ratri Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis, suka traveling dan melakukan aktivitas kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intan, Malaikat Kecil dengan 'Sayap Ungu'

14 November 2016   14:20 Diperbarui: 14 November 2016   15:44 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil gambar untuk intan marbun | dokumen pribadi

Intan marbun, ia telah sempurna terbang sebagai malaikat. Sebagai pemberi damai di rumahnya yang mungil, ia telah sempurnakan paginya yang indah bersama embun, matahari dan kupu-kupu. Ia telah sempurnakan semua kehidupan ini. Ia telah usaikan kebencian, sakit dan dendam yang menggerogoti hati manusia.

Intan mengajarkan kita untuk tidak mengeluh meskipun kesakitan mendera degan sangat. Ia tetap diam dan merasakan sakit yang luar biasa dalam beberapa jam luka-luka fisiknya. Ia tidak meninggalkan kebencian yang merangsek nalurinya. Ia tetap seperti angsa putih yang berenang dengan tenang.

Ia sampaikan pesan tentang pengampunan..tentang sakit yang ia rasakan. Ia menyeka air mata mamanya yang masih menetes, Ia menyeka tangis selurah kerabat dan sahabatnya dalam senyum tipis yang menghiasi bibir mungilnya. Ia meninggalkan senyum yang sangat indah…seperti pagi yang selalu ia sambut dengan senyum.

Intan tidak meninggalkan kemarahan yang membuncah, ia tidak meninggalkan dendam yang harus dibalaskan dengan kematiannya. Ia tak mengajak kita untuk membalas…ia tak menganjurkan semua orang yang dicintai menyulut amarah. Ia juga tak ingin mendengar bahwa kematiannya adalah sarana untuk mengubur suatu perkara yang sednag terjadi di negeri ini. Terlalu menyakitkan jika ia kemudian dianggap sebagai tumbal, ia dan keluarnya bukan siapa-siapa di bumi ini..ia tetaplah seorang anak-anak biasa.

Dari tempatnya yang indah hari ini, intan melihat ratusan orang menghantar tubuh ringkih seorang bocah, dengan rambut tak lagi kriwil karena telah terbakar, dengan mata bulat yang terpejam, dengan baju kesayangannya yang melambai tertiup angin. Gadis kecil yang menggendong ransel ungu kesayangannya. Ia melihat raganya telah menyatu dengan tanah diiringi doa dan nyanyian kematian yang menggema. Intan merasakan duka yang dalam…tapi percayalah ia tak mengharapkan semua orang menangis untuk esok dan esok lagi. Ia tak berharap orang menenteng pedang dan membalas kematiannya. Ia tak berharap ratusan orang turun ke jalan dan menyerukan kebencian, ia tak mengharapkan itu.

Intan ingin kematiannya mengakhiri kebencian yang tak berujung, syair kemarahan yang terus disulut di tubuh-tubuh manusia penuh dendam. Ia tak ingin melihat kawan-kawan lain kemudian merasakan sakit dan luka di tubuhnya. Ia tak inginkan tangis mama-mama pecah karena harus kehilangan anak-anak manis dan mungil. Ia ingin serukan pada bumi…hentikan..akhiri kebencian atas nama apapun, karena tidak akan pernah memberikan apa-apa.

Jogja, 14 November 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun