Mohon tunggu...
Agung Ramadhan
Agung Ramadhan Mohon Tunggu... -

Menaruh perhatian pada labilisme !!! \r\n~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ \r\nCek Blog: www.jeluang.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Meretas Kesenjangan Para Aktor Utama Penggerak Pengembangan Ekonomi Kreatif

14 Desember 2014   01:05 Diperbarui: 4 April 2017   17:11 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdapat empat aktor utama yang diharapkan dapat menggerakkan lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan ekonomi kreatif Indonesia. Keempat aktor tersebut, yaitu komunitas, intelektual, bisnis dan pemerintah. Sebagaimana dikemukakannya teori Quad-Helix yang terdapat dalam buku Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RJPJ) Ekonomi Kreatif Indonesia, berjudul Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025. Tak luput dari hal itu, kelembagaan yang efektif juga diperlukan untuk memfasilitasi hubungan yang positif dan saling menguatkan di antara keempat aktor utama tersebut.

Namun perlunya melihat posisi terbawah dari model pengembangan Ekonomi Kreatif yang tersusun, dimana komunitas memiliki peran yang mendasar dan sensitif dalam perkembangannya. Oleh karena itu, komunitas menjadi sangat penting diberikan perhatian khusus dalam hal memulai aktivasi kota kreatif.

Sebelumnya, tidak jarang kita dapati berbagai permasalahan yang mendasar, seperti halnya ketika keempat aktor utama diharapkan dapat saling bersinergi untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi kreatif, tetapi pada kenyataannya masih sering terjadi kesenjangan diantara para aktor utama tersebut, baik itu sekedar pertukaran informasi maupun adanya relasi yang bersinergi. Olehnya, pembangunan ekonomi kreatif Indonesia, khususnya yang berada di daerah kota-kota yang baru atau sedang berkembang saat ini, terus mencoba meretas kesenjangan antara para aktor melalui pembiasan dan penyesuaian otoritas peran dan pola interaksi aktor pengggerak pengembangan ekonomi kreatif.

Mengambil contoh kasus yang terjadi di Kota Palu, istilah ekonomi kreatif baru saja dikenali secara meluas oleh masyarakatnya setelah dua tahun terakhir ini. Dengan munculnya beragam komunitas yang secara pesat menggeluti perkembangan industri kreatif melalui berbagai pertukaran informasi teknologi. Selain itu, pelaksanaan program-program kreativitas pun banyak bermunculan dengan bidangnya masing-masing, seperti karya musik, kerajinan, kuliner, teknologi, film, video dan fotografi, desain dan sebagainya. Hal-hal tersebut terus digeluti secara mandiri dan bertahap oleh komunitas-komunitas sebagai langkah awal dalam upaya menyesuaikan pembangunan ekonomi kreatif Indonesia yang sudah dirancang jauh sejak tahun 2005 silam (Baca: UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005 - 2025). Akan tetapi dalam dua tahun terakhir, pengembangan yang dilakukan masihlah sama berjalan lamban. Sirkulasi otoritas peran dan pola interaksi para aktor penggerak ekonomi kreatif saat ini belum efektif, terutama dari pihak pemerintah sebagai regulator yang sangat naif dalam melirik permasalahan mendasar komunitas sebagai wadah ekplorasi kreativitas masyarakat secara umum. Jadi tak heran dalam hal pengembangan ekonomi kreatif dalam perspektif otonomi daerah terbilang lamban karena kurangnya kekuatan peran dan pola interaksi yang saling bersinergi. Komunitas dan Birokratisme Komunitas memiliki peran yang mendasar dalam pembangunan Ekonomi Kreatif, pasalnya kebanyakan dari komunitas biasa dibentuk secara independen oleh beberapa orang yang hanya berperan mengolah kemampuan untuk berkreativitas sesuai bidangnya. Sekedar berkarya, tapi tanpa asupan “gizi” dari pemerintah. Dalam upaya meretas masalah dalam komunitas, beberapa individu pun kerap melakukan pengembangan dan/atau penyesatan diri dengan bergabung atau merangkap sebagai intelektual dan bisnis, alhasil fokus peran yang diharapkan tidak berjalan seccara maksimal. Sehingga muncullah kesenjangan-kesenjangan dan wilayah yang stagnan. Maka hal itu, peran dan interaksi aktor pengembangan ekonomi kreatif kebanyakan dilaksanakan oleh subjek yang secara merangkak memiliki daya dan upaya agar mencapai tujuan kreativitasnya. Lantas, muncullah pertanyaan. Dimana pemerintah yang dikatakan sebagai salah satu aktor utama dalam tujuan pengembangan ekonomi kreatif? Apakah peran dan interaksi aktor penggerak pengembangan ekonomi kreatif berjalan sesuai dengan yang diharapkan? Jawabannya jelas tidak. Pemerintah sebagai aktor hnaya memposisikan dirinya diluar garis sirkulasi kreativitas yang sedang berlangsung, sehingga program pencapaian ekonomi kreatif yang diharapkan bersama hanya diperuntuhkan dengan untung-untungan pihak pemerintah dapat melirik hasil kreativitas dari komunitas.

Adapun karya dan usulan-usulan sederhana yang dihasilkan oleh komunitas, banyak tertimbun dalam regulasi birokratisme terhadap pengembangan ekonomi kreatif. Komunitas dianggap tidak memiliki kredibilitas dalam hal memprogramkan kreativitasnya, sehingga hal itu memunculkan pesimisme yang menyebar dan membentuk sikap apatis masyarakat komunitas terhadap pemerintah. Di sisi lain, intelektual pun kerap lengah dalam hal daya dan upaya mendorong kreativitas, begitu pula bisnis menjadi tidak optimis dalam hal memasarkan hasil kreativitas komunitas. Contoh hal yang ditemukan, komunitas sulit memperoleh fasilitas atau sekedar bahan pokok yang dapat menunjang dalam menghasilkan karya yang berkualitas. Bisnis pun sama halnya, belum dapat membentuk citra produk lokal yang memiliki nilai jual untuk keluar ke masyarakat secara meluas. Dalam hal itulah, pemerintah daerah masih sukar menempatkan diri dalam mengambil peran sebagai regulator, fasilitator, dan konsumen. Sementara itu, berlarutnya kesenjangan yang berlangsung belum menghasilkan tendangan intensif dari masing-masing aktor yang hanya berjalan dengan sendirinya menyusuri peruntungan-peruntungan yang ada. Adanya proyekan atas nama pembangunan, masih sering dikerjakan dengan cara kolusi tanpa melibatkan masing-masing aktor utama yang seharusnya ikut berkompeten dalam hal melancarkan sirkulasi otoritas peran dan interaksi penggerak pengembangan ekonomi kreatif. Sehingga tak heran jika investor asing-lah yang asik berlalu lalang melakukan pembangunannya secara pesat. Pentingnya Memiliki Ruang Publik Komunitas Jika dikatakan bahwa komunitas berperan sebagai wadah berbagi pengetahuan, pengembangan dan eksplorasi kreativitas. Maka hal itulah dapat dijadikan sebagai landasan utama dalam menjalankan otoritas kota kreatif, sehingga dalam menumbuhkembangkannnya memerlukan wadah tambahan yang dimana beragam komunitas saling terhubung dan tergabung dalam hal untuk menyuarakan serta merealisasikan masing—masing gagasannya secara bersama-sama. Dalam hal ini dibutuhkanlah ruang publik komunitas sebagai salah satu pendukung pengembangan kota kreatif. Semakin banyaknya ruang komunitas yang dapat bersinergi dan berkesinambungan dalam mengolah gagasan, diyakini dapat memetahkan masalah yang mendasar dalam hal pengembangan ekonomi kreatif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Henri Lefebvre, 1991, bahwa “ruang” adalah produk sosial. Sehingga berfungsi sebagai alat pemikiran dan tindakan. Ruang dibentuk oleh orang-orang yang memiliki kontrol dan karenanya terdapat kekuasaan. Selain itu, Jurgen Habermas pun menjelaskan konsep “Ruang Publik” atau Public Sphere, ialah suatu wilayah dari kehidupan sosial yang dimana hal-hal seperti opini atau gagasan dapat dibentuk oleh masyarakat untuk menangani masalah-masalah kepentingan umum tanpa dikenakan paksaan. Yang kemudian dapat pula mengungkapkan dan mempublikasikan pandangan mereka. (Habermas, 1997: 105 dalam Alan McKee, 2005: 4). Maka dalam hal ini pentingnya memiliki ruang publik komunitas sebagai ruang kedekatan masyarakat secara umum dalam mengakses, mengolah, dan memahami berbagai macam masalah serta kreativitas dari komunitas. Dengan catatan fungsi dan pemanfaatan ruang publik komunitas telah diatur secara sistematis dalam rangka mencapai pengembangan ekonomi kreatif. Demikian halnya aktivasi kota kreatif dapat dimulai dari menyelaraskan antusiasme dan partisipasi masyarakat setempat, dengan dukungan visi dan misi dari pemerintah daerah sebagai regulator kebajikan pelaksanaan pembangunan ekonomi kreatif secara merata di Indonesia. *Tulisan ini sekedar refleksi dalam bentuk opini penulis terhadap perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Dan terkhususkan mengenai daerah Kota Palu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun