Terdapat empat aktor utama yang diharapkan dapat menggerakkan lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan ekonomi kreatif Indonesia. Keempat aktor tersebut, yaitu komunitas, intelektual, bisnis dan pemerintah. Sebagaimana dikemukakannya teori Quad-Helix yang terdapat dalam buku Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RJPJ) Ekonomi Kreatif Indonesia, berjudul Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025. Tak luput dari hal itu, kelembagaan yang efektif juga diperlukan untuk memfasilitasi hubungan yang positif dan saling menguatkan di antara keempat aktor utama tersebut.
Namun perlunya melihat posisi terbawah dari model pengembangan Ekonomi Kreatif yang tersusun, dimana komunitas memiliki peran yang mendasar dan sensitif dalam perkembangannya. Oleh karena itu, komunitas menjadi sangat penting diberikan perhatian khusus dalam hal memulai aktivasi kota kreatif.
Sebelumnya, tidak jarang kita dapati berbagai permasalahan yang mendasar, seperti halnya ketika keempat aktor utama diharapkan dapat saling bersinergi untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi kreatif, tetapi pada kenyataannya masih sering terjadi kesenjangan diantara para aktor utama tersebut, baik itu sekedar pertukaran informasi maupun adanya relasi yang bersinergi. Olehnya, pembangunan ekonomi kreatif Indonesia, khususnya yang berada di daerah kota-kota yang baru atau sedang berkembang saat ini, terus mencoba meretas kesenjangan antara para aktor melalui pembiasan dan penyesuaian otoritas peran dan pola interaksi aktor pengggerak pengembangan ekonomi kreatif.
Mengambil contoh kasus yang terjadi di Kota Palu, istilah ekonomi kreatif baru saja dikenali secara meluas oleh masyarakatnya setelah dua tahun terakhir ini. Dengan munculnya beragam komunitas yang secara pesat menggeluti perkembangan industri kreatif melalui berbagai pertukaran informasi teknologi. Selain itu, pelaksanaan program-program kreativitas pun banyak bermunculan dengan bidangnya masing-masing, seperti karya musik, kerajinan, kuliner, teknologi, film, video dan fotografi, desain dan sebagainya. Hal-hal tersebut terus digeluti secara mandiri dan bertahap oleh komunitas-komunitas sebagai langkah awal dalam upaya menyesuaikan pembangunan ekonomi kreatif Indonesia yang sudah dirancang jauh sejak tahun 2005 silam (Baca: UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005 - 2025). Akan tetapi dalam dua tahun terakhir, pengembangan yang dilakukan masihlah sama berjalan lamban. Sirkulasi otoritas peran dan pola interaksi para aktor penggerak ekonomi kreatif saat ini belum efektif, terutama dari pihak pemerintah sebagai regulator yang sangat naif dalam melirik permasalahan mendasar komunitas sebagai wadah ekplorasi kreativitas masyarakat secara umum. Jadi tak heran dalam hal pengembangan ekonomi kreatif dalam perspektif otonomi daerah terbilang lamban karena kurangnya kekuatan peran dan pola interaksi yang saling bersinergi. Komunitas dan Birokratisme Komunitas memiliki peran yang mendasar dalam pembangunan Ekonomi Kreatif, pasalnya kebanyakan dari komunitas biasa dibentuk secara independen oleh beberapa orang yang hanya berperan mengolah kemampuan untuk berkreativitas sesuai bidangnya. Sekedar berkarya, tapi tanpa asupan “gizi” dari pemerintah. Dalam upaya meretas masalah dalam komunitas, beberapa individu pun kerap melakukan pengembangan dan/atau penyesatan diri dengan bergabung atau merangkap sebagai intelektual dan bisnis, alhasil fokus peran yang diharapkan tidak berjalan seccara maksimal. Sehingga muncullah kesenjangan-kesenjangan dan wilayah yang stagnan. Maka hal itu, peran dan interaksi aktor pengembangan ekonomi kreatif kebanyakan dilaksanakan oleh subjek yang secara merangkak memiliki daya dan upaya agar mencapai tujuan kreativitasnya. Lantas, muncullah pertanyaan. Dimana pemerintah yang dikatakan sebagai salah satu aktor utama dalam tujuan pengembangan ekonomi kreatif? Apakah peran dan interaksi aktor penggerak pengembangan ekonomi kreatif berjalan sesuai dengan yang diharapkan? Jawabannya jelas tidak. Pemerintah sebagai aktor hnaya memposisikan dirinya diluar garis sirkulasi kreativitas yang sedang berlangsung, sehingga program pencapaian ekonomi kreatif yang diharapkan bersama hanya diperuntuhkan dengan untung-untungan pihak pemerintah dapat melirik hasil kreativitas dari komunitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H