Mohon tunggu...
Guntur Prasetyo
Guntur Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Penulis Amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Kita

17 Mei 2019   18:30 Diperbarui: 17 Mei 2019   18:51 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim hujan kembali membawa jutaan rindu yang tersesat. Dedaunan menari tertiup angin. Pepohonan mengikuti irama yang dimainkan alam untuknya serta penghuni bumi. Jalanan berlumpur dan kubangan terbentuk membuat perkampungan di pinggiran kota sulit untuk dilewati.

Persawahan terendam dan membuatnya tampak seperti danau cokelat penuh lumpur. Lumut tumbuh subur diantara dinding atau benda yang lembab. Cucian? Tidak ada yang sempat untuk mengeringkannya. Semuanya basah. Begitu juga seorang pria yang murung diguyur hujan. Terlunta jalannya kemudian menepi di dekat pertokoan yang tutup. Mulai sepatu hitam sampai kemeja putihnya, basah. Rambutnya meneteskan sisa air hujan yang menempel, mengendap dan mungkin membuat kepala pria tersebut pusing. Tak lama, dia menangis.

Orang-orang lewat dengan atau tanpa payung. Berjalan maupun berlari. Ada yang menatapnya sedih, heran dan adapula yang hanya lewat. Pria tersebut lalu membuka tas punggungnya yang sedari tadi menggantung sekenanya seakan harga dirinya juga ikut didalamnya. Mengeluarkan map warna warni dari dalamnya yang sudah basah, tinta di tiap kertasnya luntur. Tidak ada yang tersisa dari dirinya. Mungkin.

Duduknya mulai lemah, wajahnya menatap kebawah sambil rambutnya meneteskan air. Tangannya menangkup, mengusap wajahnya. Tebak selanjutnya. Dia menangis tersedu. Dia coba tahan, tapi mungkin rasa dihatinya bergejolak dan sudah tak mungkin dibendung. Tanggul rasanya telah jebol mengalirkan energi negatif keluar lewat tangisnya. Menyesak, merasuk dan meresap. Hujan dengan syahdunya menutupinya dengan lebat tangis seorang pria yang berusia dua puluh tahun menangis di depan toko yang tutup di kala sore.

Tiba-tiba cipratan air mengenai tubuh pria itu. Tidak jauh jaraknya, seorang perempuan berdiri di depannya membawa payung yang cepat-cepat ditutup. "Maaf, Saya tidak sengaja." Ucap perempuan tersebut yang lalu duduk disebelahnya. Hujan makin lebat, mungkin hari ini bendungan rasa dan air di langit sudah tanggung jebol. Jadi, sekalian saja dihabiskan, begitu kiranya.

Tiga menit hanya ada suara hujan. Lima belas menitpun masih sama. Tiga puluh menit sudah dua orang berbeda genre duduk diam menanti hujan yang tidak tau kapan akan berhenti. Jalanan yang rusak berkubang berkali kali memantulkan sorot lampu yang mulai menyala. Pertanda hari mulai gelap.

           "Emm... Mas." Perempuan tersebut mulai berbicara. "Mas tidur, ya?"

           "Kalau tidur jangan disini mas." Suaranya samar dihantam hujan. "Ih ga malu. Saya aja neduh disini malu kalau ada yang lewat."

           Sesegukan... "Mbak." kata pria disampingnya.

           "Iya."

           "Bisa diam, gak?" suaranya sengau akibat ingusnya bercampur aduk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun