Para orang tua, guru, tokoh agama maupun pemerintah tidak perlu berpura-pura "kebakaran jenggot" dan terkejut-kejut terhadap perilaku remaja belia usia SMP yang ramai-ramai melakukan hubungan seks di antara mereka yang terungkap dilakukan di ruang kelas. Saat ini pastilah rekaman gambar adegan itu telah beredar luas dan menjadi konsumsi banyak orang. Peristiwa tersebut hanyalah mencerminkan fenomena gunung es yang mana banyak hubungan seksual di kalangan pelajar yang belum atau tidak terungkap. Sah-sah saja kita menuduh dan mengambing-hitamkan teknologi informasi dan media sosial bahwa merekalah yang paling bertanggung jawab terhadap perilaku permisif remaja kita. Terhadap kasus-kasus seperti itu, kita kebanyakan cenderung bersikap reaktif, baru bereaksi sesudah kejadian. Kita baru tergerak untuk memadamkan api setelah tahu rumah kita terbakar. Dalam hal ini harus diakui bahwa paradigma penyelesaian masalah perilaku seks remaja baru sebatas pada fire-fighting paradaigm (Bandingkan dengan 7 Habits-nya Steven R. Covey).
Seratus persen saya yakin bahwa peristiwa serupa akan terjadi dan terungkap lagi dan lagi dalam luasan dan skala yang berbeda sebagaimana kebakaran rumah di lokasi lain dengan skala dan luasan yang berbeda pula. Lalu disadari atau tidak kita terperangkap dalam lingkaran setan kejadian-kejadian semacam itu yang tiada habisnya. Dalam bahasa Covey kita selalu menempatkan diri kita dalam situasi yang penting dan mendesak. Kita perlu keluar dari paradigma ini dan beranjak pada paradigma baru yang meninggalkan sikap reaktif menuju sikap proaktif, bukan menunggu atau bereaksi ketika masalah datang melainkan sejak dini mengantisipasi supaya masalah-masalah tersebut tidak terjadi.
Salah satu dari tindakan pro-aktif ialah sejak dini mengajarkan anak-anak kita tentang seksualitas. Pendidikan tentang seksualitas bisa dilakukan oleh orang tua maupun pihak sekolah. Seksualitas tentunya tidak boleh diimajinasikan dan dipahami sebatas pada hubungan seksual yang dalam kaidah umum hanya boleh dilakukan pada pasangan yang telah menikah. Seksualitas hendaknya diajarkan kepada anak-anak kita sebagai totalitas kebertubuhan kita, mengenal, membentuk cara pandang dan memaknai bagian-bagian tubuh kita secara benar serta menjawab keingintahuan anak-anak kita terhadap pengalaman-pengalaman, sensasi-sensasi baru dan perbedaan-perbedaan yang mereka rasakan akibat terjadinya perubahan-perubahan tertentu dari bagian-bagian tubuh mereka. Hal ini mengandaikan komunikasi yang baik dan tulus serta kemauan kita sebagai orang tua untuk mengatasi rasa jengah, malu dan tabu sebagai konsekuensi dari bekerjanya internalisasi norma-norma sosial dan agama yang kita hidupi selama ini.
Dunia di luar rumah menawarkan banyak ragam jawaban untuk memenuhi dahaga keingintahuan anak-anak kita. Ketika anak-anak kita merasa lebih nyaman dan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka dengan menyandarkan diri pada media sosial populer dan teman-temannya untuk mengidentifikasi dan membentuk konsep diri mereka, bagaimana mereka harus bergaul, menjalin pertemanan dan diterima dalam kelompok tertentu pada saat itulah orang tua mulai kehilangan mereka. Yang klise, orang tua mungkin merasa sudah mencukupi kebutuhan mereka namun lupa akan satu hal, memberikan diri mereka pada anak-anak mereka dengan cara berkomunikasi. Dan mengomunikasikan seksualitas adalah bagian dari pemberian diri orangtua kepada anak-anaknya sebab orang tua ditantang untuk mengatasi hambatan-hambatan internal dalam diri mereka untuk secara hati-hati dan bijaksana mengajak anak mengenal diri mereka melalui seksualitas.
Kita tidak perlu panik apabila gadis kecil kita bertanya mengapa "anunya" kakak berbeda dengan "anunya" adik. Berikan jawaban dengan menyampaikan perbedaan alat kelamin perempuan dengan alat kelamin laki-laki. Sebaiknya sampaikan jawaban tersebut dengan penuh perhatian dan pastikan jawaban kita dapat diterima dalam pemahaman anak seusianya. Ketika anak mencapai usia pubertas, anak akan mengalami perubahan fisik seperti suara yang lebih besar, menonjolnya payudara, mimpi basah maupun mengalami menstruasi perdana yang mana mengakibatkan perasaan tidak nyaman. Orang tua perlu memperhatian perubahan tersebut dan pro-aktif berkomunikasi dengan anak. Harap diingat, jawaban-jawaban yang asal-asalan maupun seadanya justru akan membuat anak semakin penasaran dan ketika tidak menemukan jawabannya pada orang tua, mereka akan mencari jawabannya di luar sana. Bayi yang doyan mengisap jempolnya, anak yang BAB lama dan anak yang suka memegang atau menggosok alat kelaminnya melakukan hal tersebut karena mengalami "kenikmatan". "Kenikmatan" tersebut wajar dan merupakan bagian dari seksualitas kita. Menghakimi anak kita karena menikmati hal-hal tersebut dan membiarkan perasaan bersalah muncul dalam diri anak akan berdampak negatif pada pembentukan konsep dirinya.
Hubungan seksual atau senggama merupakan bagian dari seksualitas manusia. Jadi memaknai seksualitas manusia melulu sebagai tidak lebih dari hubungan seksual telah mereduksi makna seksualitas manusia itu sendiri. Nampaknya pemahaman inilah yang lekat dibenak masyarakat sehingga menimbulkan resistensi. Ditambah lagi dengan pendekatan keagamaan yang terkesan imperatif kaku serta sikap munafik masyarakat sendiri tentang perilaku seksual, anak-anak kita memilih untuk memperoleh informasi tersebut secara diam-diam dan menelan mentah-mentah informasi tentang seks tidak peduli hal tersebut salah dan menyesatkan.
Menghukum anak-anak yang terlibat dalam video seks anak SMP bukanlah solusi apalagi sampai pihak sekolah mengeluarkan mereka karena alasan mencemarkan nama baik dan membikin malu sekolah tempat mereka belajar. Mengeluarkan siswi yang hamil juga bukan merupakan keputusan yang bijak. Keputusan-keputusan tersebut biasanya tidak dibuat dalam suasana pemikiran yang jernih dari pihak sekolah, melainkan karena tekanan dari kelompok moralis hitam-putih dan perasaan malu yang semu. Justru kasus-kasus seperti itu bisa menjadi pelajaran yang berharga bagi sekolah bahwa pendidikan seksualitas itu sungguh perlu dilakukan dengan harapan supaya kejadian-kejadian tersebut tidak terulang lagi. Pendidikan seksualitas membantu anak-anak secara aktif terlibat untuk mengenal, memahami, memaknai dan bertanggung jawab terhadap tubuh dan organ reproduksinya sendiri dan mempunyai pandangan yang sehat, bukan mitos tentang seks dan seksualitas manusia. Selama solusi yang ditawarkan instan, yaitu atas nama moralitas dan agama serta dorongan rasa malu pihak sekolah memilih untuk menghilangkan eksistensi siswa yang terlibat, maka proses konsientisasi tidak akan terjadi dan di masa yang akan datang kejadian tersebut akan terulang kembali.
Maka sudah saatnya paradigma ala pemadam kebakaran yang selalu berada dalam kondisi penting dan mendesak ditinggalkan oleh para orangtua dan pihak sekolah serta beralih pada paradigma perencanaan strategis yang fokus pada hal-hal yang penting namun tidak mendesak. Mengomunikasikan seksualitas manusia dengan anak dan anak didik merupakan bagian dari perencanaan strategis untuk menyelamatkan generasi muda kita. Komunikasi merupakan kata kunci yang penting yang mampu merubuhkan tembok-tembok psikologis antara anak dengan orang tua maupun sekolah. Tentu saja dibutuhkan perubahan cara pandang dari kita supaya tidak lagi menganggap anak sebagai obyek melainkan subyek yang sadar, mampu berpikir, berkehendak, merasa dan mempunyai keinginan. Memang membangun rumah yang baik dengan instalasi listrik yang baik dan kemanan yang baik supaya tidak terkena musibah kebakaran lebih sulit daripada membangun rumah asal jadi dengan instalasi listrik yang buruk yang berpotensi terjadi kebakaran sewaktu-waktu. Demi masa depan anak-anak kita kalau tidak sekarang kapan lagi kita akan memulai?
SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA 28 OKTOBER 2013 !
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI