Pencemaran air sungai akibat limbah domestik dan logam berat adalah persoalan yang sering mengancam keindahan alam dan kesehatan masyarakat. Limbah rumah tangga dari aktivitas penduduk di sekitar sungai menjadi salah satu sumber utama pencemaran ini, sementara pesatnya perkembangan industri dalam beberapa dekade terakhir memperburuk kondisi dengan menambah akumulasi logam berat di air sungai. Kota Yogyakarta menjadi salah satu contoh di mana tantangan sanitasi air menjadi semakin nyata. Menurut laporan Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, tingkat pencemaran sungai di Kota Yogyakarta telah melampaui ambang batas yang diizinkan, akibat kebiasaan membuang limbah langsung ke sungai oleh warga yang tinggal di sepanjang bantaran sungai (DLH, 2024).
Penduduk yang tinggal di sekitar sungai sangat bergantung pada aliran airnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, kegiatan rumah tangga seperti mandi, mencuci, dan buang air besar (MCK) tanpa disadari turut memperparah pencemaran air sungai. Di sisi lain, aktivitas industri di sekitar sungai juga menjadi salah satu penyebab utama penurunan kualitas air. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah industri dapat mencemari lingkungan secara signifikan. Misalnya, di industri penyamakan kulit di Piyungan, limbah dialirkan melalui pipa-pipa yang langsung terhubung ke parit dan saluran drainase di sekitar kawasan pemukiman (Jati et al., 2024). Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik, pengelolaan sampah harus dilakukan dengan khusus, karena pembuangan sembarangan dapat menyebabkan pencemaran air yang serius (Pemerintah Pusat RI, 2020). Pembuangan limbah cair industri ke dalam sungai tidak hanya mengubah kondisi lingkungan, tetapi juga berpotensi menimbulkan penyakit pada manusia.
Peningkatan volume limbah domestik dan logam yang mengalir ke badan-badan air memiliki potensi besar untuk mencemari lingkungan ketika jumlahnya melampaui kemampuan alamiah air untuk menampungnya. Tingginya konsentrasi logam berat di perairan seiring dengan meningkatnya volume limbah yang masuk, menciptakan bahaya tersendiri bagi ekosistem air. Logam berat seperti tembaga (Cu), timbal (Pb), krom (Cr), seng (Zn), dan besi (Fe) merupakan ancaman yang tak bisa dianggap remeh, karena meski dalam kadar rendah, mereka dapat terakumulasi dalam jaringan tubuh manusia, memicu mutasi sel yang berpotensi berkembang menjadi kanker. Dengan daya larut yang tinggi dalam air, logam berat ini mudah terserap oleh organisme hidup, mengancam keseimbangan alam dan kesehatan makhluk hidup yang bergantung pada air (Kinuthia et al., 2020).
Menurut data Bappeda tahun 2024, kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Seiring dengan pertambahan ini, permintaan akan air bersih diprediksi akan semakin melonjak (Bappeda, 2024). Penggunaan air bersih dalam rumah tangga secara alami meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk. Namun, kenyataannya, kepadatan penduduk juga memicu peningkatan pembuangan limbah ke sungai. Penelitian mengungkapkan bahwa kepadatan penduduk yang semakin tinggi menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya akumulasi limbah di saluran air. Volume air limbah yang terus bertambah membawa dampak negatif bagi kesehatan, karena mengandung mikroba berbahaya, bahan kimia beracun, dan logam berat yang tidak hanya mengancam kehidupan akuatik tetapi juga membuat air menjadi tidak layak dikonsumsi manusia. Secara alami, tubuh manusia dan mikroba bekerja sama dalam menjaga keseimbangan atau eubiosis, mirip dengan ekosistem mikrobiota dalam saluran pencernaan. Namun, ketika patogen dari air limbah yang terkontaminasi masuk ke dalam tubuh, keseimbangan ini dapat terganggu, menimbulkan risiko infeksi, termasuk pada saluran pencernaan.
Mikroba dapat menginfeksi manusia dan menyebabkan berbagai penyakit yang berhubungan dengan saluran pencernaan. Saluran pencernaan manusia merupakan ekosistem yang kaya akan triliunan mikroorganisme, termasuk bakteri, archaea, dan jamur. Di dalam tubuh, sebagian besar sel menyimpan jutaan gen unik yang memainkan peran penting dalam fungsi tubuh (Wargasetia, 2023). Ekspresi gen mikrobiota beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, berkontribusi pada proses seperti degradasi polisakarida, produksi asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acids (SCFA)), metabolisme asam amino, dan sintesis vitamin. Variasi dalam mikroba dipengaruhi oleh kombinasi faktor-faktor inang, termasuk genotipe, kondisi fisiologis, keadaan patologis, gaya hidup, pola makan, dan lingkungan. Dengan demikian, kehadiran spesies patogen dapat mengganggu keseimbangan mikrobiota yang penting bagi kesehatan (Kusumo, 2023).
Disbiosis, atau ketidakseimbangan mikrobiota usus, terjadi ketika komposisi dan fungsi mikrobiota mengalami gangguan, mengakibatkan ketidakseimbangan dalam homeostasis usus dan aktivasi sistem kekebalan tubuh yang tidak tepat. Disbiosis ini telah dikenal sebagai ciri utama penyakit radang usus (IBD), yang ditandai dengan penurunan keanekaragaman mikroba, berkurangnya bakteri anaerob yang bermanfaat, serta lonjakan bakteri patogen yang bersifat melekat dan invasif. Pada pasien dengan IBD, kita melihat penurunan keragaman bakteri anaerob seperti Firmicutes, sementara jumlah Proteobacteria meningkat. Disbiosis usus dapat merusak penghalang epitel, mengakibatkan respons imunologis yang meningkat dan peradangan kronis (Giri & Astuti, 2023). Ketidakseimbangan mikrobiota juga dapat mengganggu penyerapan nutrisi, yang berpotensi menyebabkan kekurangan gizi pada anak-anak, menghambat pertumbuhan dan perkembangan, serta mempengaruhi fungsi sistem kekebalan tubuh (Nerawati & Kasuma, 2024). Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan yang efektif dalam pengelolaan sampah dan membuat program pemberdayaan masyarakat di sekitar sungai, guna mengatasi disbiosis usus dan menjaga kesehatan komunitas secara menyeluruh.
Referensi :
Bappeda. (2024). TIngkat Penduduk Daerah Yogyakarta. Bappeda.
DLH. (2024). Tingkat Pencemaran Limbah Domestik di Daerah Yogyakarta.
Giri, K. A. W. K., & Astuti, N. M. W. (2023). Pemanfaatan Kulit Jeruk Bali (Citrus Maxima) Sebagai Dietary Fiber Untuk Pengendalian Penyakit Radang Usus. COMSERVA: Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Masyarakat, 3(06), 2103--2113. https://doi.org/10.59141/comserva.v3i06.1024
Jati, E. D., Murti, S. H., Susilo, B., Amru, K., Ningrum, M. H., & Fahmi, S. (2024). Analisis Kadar Logam Berat Kromium (Cr) dalam Air dan Ikan Akibat Pembuangan Limbah Industri Penyamakan Kulit di Sungai Opak, Piyungan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Seminar Nasional Teknik Lingkungan Kebumian SATU BUMI.