Jaman dahulu kala, di Tibet, seorang wanita tua duduk di pinggir jalan menuju kota suci Lasha nun jauh tinggi. Seekor kuda yang ditunggangi seorang lelaki berpacu kencang menujunya. “Bunda, berapa jauh lagi kota Lasha?” “Masih jauh, sangat jauh,”jawab wanita tua,”Engkau takkan bisa sampai sebelum gelap.” Lelaki itu membedal kudanya, lari sekencang mungkin. Beberapa lama kemudian, seorang bocah lelaki di atas punggung seekor yak datang, selangkah demi selangkah. “Nenek, berapa jauh lagi kota Lasha?” “Masih jauh, sangat jauh,”jawab wanita tua,”Engkau bisa sampai sebelum gelap.” Lalu bocah itu menepuk pelan yaknya, meneruskan perjalanan, selangkah demi selangkah. Sang bocah pelan-pelan mendaki sebuah lereng yang terjal, dingin bersalju, dan berangin kencang. Ia pikir angin akan menerbangkannya. Ia pikir ia akan tersesat di salju. Ia pikir gelap akan datang dan ia takkan pernah bisa sampai di kota suci Lasha. Tapi ia tetap meneruskan perjalanan selangkah demi selangkah. Lalu ia mendapati seekor kuda yang terjatuh beserta penunggangnya. Mereka berpacu begitu kencang, hinga tak mampu lagi berlari. Mereka terbaring mendengkur. Sang bocah ingin berbaring juga. Tapi ia menepuk yaknya dengan lembut dan meneruskan perjalanan. Lalu di kerdip terakhir matahari sore, didengarnya suara terompet tanduk memanggil. Didengarnya suara genta dan genderang. Akhirnya, selangkah demi selangkah, ia akan segera tiba di kota suci Lasha. retold by G. Suyasa catatan: Yak = sejenis binatang mamalia dari keluarga kerbau yang berbulu tebal, berbadan gempal kuat yang dipakai bangsa Asia Tengah sebagai hewan ternak, penghasil susu, dan di Tibet dipakai juga sebagai hewan tunggangan/angkutan Cerita ini dulu saya muat di web www.geocities.com/balialma yang sudah mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H