Seperti kita yang pernah diperangkap rindu, menyulam senja agar segera bertemu pagi. Bertanya sampai kapan rasa itu hilang?. Bukan karena kita tak suka, sama sekali bukan. Tapi karena kita sadar, bahwa rindu itu menyiksa.
Seandainya malam adalah pelarian rembulan, maka kabut adalah persembunyiannya. Dibatasinya sinarnya, agar tak lebih terang dari mentari. Bertanya kenapa harus begitu?. Tidak karena ia takut, sama sekali tidak. Namun karena rembulan paham, bahwa perannya harus begitu.
Kemudian awan merubah warna menjadi hitam, dan mendung tak mampu lagi meredam hujan. Bertanya mengapa mesti demikian?. Bukan karena ia murka, sama sekali bukan. Tapi karena hujan tahu, bahwa tugas kemarau telah berakhir.
Lalu, untuk apa kita masih saja bergelut keluh. Menyalahkan rindu yang entah sampai kapan bertemu pagi, menghakimi rembulan yang masih bersembunyi di balik kabut, ataukah mempermasalahkan mendung yang tak mampu membendung hujan.Â
Seperti kita yang terpaksa memeluk rindu hari ini. Hanya mampu bersembunyi di balik kabut, karena tak mampu menghalau hujan.
Sinjai, 24 April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H