Meskipun Idul Fitri telah berlalu, saling mengunjungi rekan kerja, sahabat atau keluarga adalah hal yang tetap dianjurkan bagi umat muslim. Selain menambah keakraban dan mempererat hubungan kekeluargaan, kegiatan seperti ini juga bisa menjadi contoh yang positif dalam menumbuhkan kepekaan sosial keluarga, utamanya bagi anak-anak kita.Â
Seperti yang saya lakukan baru-baru ini. Bersama istri tercinta dan anak-anak, saya mengajak mereka ke rumah salah seorang keluarga dekat yang tak jauh dari rumah kami untuk bersilturahmi.Â
Dengan mengendarai mobil kesayangan, kami sekeluarga menuju tempat tinggal keluarga dekat kami itu yang letaknya berada di salah satu kompleks perumahan di kota kami. Selain bertamu, sebenarnya kami juga berniat memberikan mereka hadiah, maklum saja, keluarga kami itu baru saja menempati rumah barunya yang dia beli sebulan yang lalu.
Berhubung kunjungan kami itu pertama kalinya, membuat saya dan istri kebingungan mencari alamat rumah mereka. Sambil menjalankan kendaraan dengan kecepatan sangat pelan, saya membantu istri memperhatikan nomor setiap rumah yang kami lewati. Tapi betapa kagetnya kami berempat, tatkala saya membelokkan kendaraan untuk memasuki salah satu lorong dalam perumahan itu, tiba-tiba saja kendaraan yang kami tumpangi mengalami guncangan keras. Saking kagetnya, sang kakak (anak laki-laki saya) yang duduk di jok tepat di belakang istri terpental ke depan menubruk jok istri yang duduk di samping saya, sedangkan sang adik menangis histeris di pelukan ibunya karena shock.
Dengan rasa kaget yang belum reda bercampur tanda tanya di kepala, saya buru-buru menghentikan kendaraan, lalu bergegas turun untuk memeriksa penyebab guncangan tadi. Ternyata, kendaraan kami baru saja melewati "speed bump" atau sering kita sebut "polisi tidur".Â
Melihat itu, rasa jengkel tiba-tiba saja menemui benak saya. Bagaimana tidak, setelah memperhatikan letak penempatan polisi tidur itu yang dibangun tepat di ujung jalan pembelokan tanpa dilengkapi tanda yang bisa dijadikan petunjuk keberadaannya, sehingga sangat riskan membuat pengendara baru yang belum hafal kondisi jalan akan mengalami kejadian serupa seperti yang saya alami barusan, masih untung kalau tidak sampai menyebabkan kecelakaan.Â
Belum lagi dari segi ukurannya yang sama sekali tidak memiliki standar jelas. Berdasarkan pengamatan saya, tinggi polisi tidur itu kurang lebih 15 cm dan sepertinya dibuat bukan dengan niat agar pengendara berhati-hati melewati jalur tersebut, tapi seakan-akan memang hanya untuk menghambat laju kendaraan. Wajar saja, kendaraan yang saya tumpangi mengalami guncangan seperti tadi.
Dengan masih menyimpan rasa gusar, saya lalu bergegas kembali ke mobil lalu segera meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan pencarian alamat keluarga yang ingin saya kunjungi. Alhamdulillah, berkat petunjuk salah seorang keluarga yang dihubungi lewat handphone oleh istri saya, rumah keluarga kami itu dapat saya temukan.
Disebabkan kejadian tadi yang masih menyisakan rasa dongkol, sekembalinya dari rumah keluarga kami itu, saya lalu mencoba membuka link Kementrian Perhubungan yang mengatur tentang pembuatan polisi tidur tersebut. Ternyata, keberadaan polisi tidur atau dalam bahasa resminya disebut "Tanggul Pengaman Jalan" memang dijamin oleh Undang-undang sebagai salah satu marka jalan, namun spesifikasi, ukuran dan bentuknya tidak boleh sembarangan, serta mesti diberi tanda peringatan.
Seperti yang dirilis oleh BN.2018, No. 1214, jdih.kemenhub.go.id : 30 Â Hlm, tanggal 4 September 2018, berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pengguna Jalan, dijelaskan bahwa ada 3 (tiga) jenis polisi tidur yang diperbolehkan untuk dibangun di jalanan umum, yaitu :Â
- Speed Bump, dikhususkan untuk area parkir, jalan privat dan jalan lingkungan terbatas dengan kecepatan operasional di bawah 10 km per jam. Pembuatannya dipersyaratkan dengan ketinggian maksimal 12 cm, lebar bagian atas minimal 15 cm, dengan kelandaian 15%.
- Speed Hump, adalah jenis polisi tidur yang boleh dibangun pada jalanan lokal dengan batas kecepatan maksimal 20 km per jam. Syaratnya adalah memiliki ketinggian antara 5-9 cm, lebar maksimal 39 cm dengan kelandaian 50%.
- Speed Table, polisi tidur yang digunakan untuk kawasan penyebrangan dan jalan-jalan lokal yang memiliki batas kecepatan maksimal 40 km per jam. Speed table dibuat dengan ketinggian maksimal 9 cm, lebar 60 cm dan kelandaian 15%.
Dalam aturan ini, juga dijelaskan bahwa seluruh jenis polisi tidur seperti yang telah disebutkan di atas wajib diberi warna atau dengan kata lain harus diwarnai dengan kombinasi hitam dan kuning atau hitam dan putih, dimana ukuran lebar warna hitam 30 cm dan ukuran lebar warna (kuning atau putih) 20 cm.
Seperti kita ketahui bersama, bahwa dalam setiap aturan pasti akan diikuti sanksi apabila melanggarnya. Adapun mengenai sanksi yang bisa dikenakan pada pembuat polisi tidur yang tidak mengindahkan aturan seperti yang telah disebutkan di atas adalah berupa ancaman hukuman pidana.
Berdasarkan informasi dari kalteng.tribunnews.com (22 April 2019), menyebutkan bahwa, sebagaimana diterangkan pada pasal 274 dan 275 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum. Pada pasal 274 dinyatakan bahwa: "Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (Dua Puluh Empat Juta Rupiah)".
Sementara pasal 275 ayat 1, dijelaskan bahwa "Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi Rambu Lalu Lintas, Marka Jalan, Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas, Fasilitas Pejalan Kaki dan Alat Pengaman Pengguna Jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (2), maka akan dikenakan pidana kurungan paling lama satu bulan dan denda paling banyak Rp 250.000,00 (Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
Setelah mengetahui aturan-aturan tentang tata cara pembuatan polisi tidur beserta ancaman hukumannya apabila dilanggar, maka menurut hemat saya, seharusnya pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan mesti segera mengambil tindakan tegas bagi pembuat polisi tidur yang tidak menyesuaikan dengan spesifikasi, ukuran dan bentuk yang telah ditetapkan, minimal melakukan pembongkaran, jangan sampai terkesan melakukan pembiaran hingga menimbulkan korban kecelakaan yang disebabkan oleh polisi tidur yang dibuat seenaknya saja oleh oknum tak bertanggung jawab tanpa memperhatikan keselamatan pengguna jalan yang lain.
Sebab bagaimanapun juga keberadaan polisi tidur pada dasarnya adalah untuk memperlambat laju kendaraan, agar tidak terjadi kecelakaan di tempat-tempat yang diperkirakan rawan kecelakaan atau di lingkungan yang ramai.Â
Akan tetapi dalam hal pembuatannya mesti dilaporkan terlebih dahulu kepada Dinas Perhubungan setempat selaku link pemerintah yang mengurusi pembuatan polisi tidur. Apabila disetujui, barulah dibuat, itupun harus sesuai dengan arahan dan petunjuk mereka
Hal ini saya ungkapkan, agar kita bisa bijak dalam memaknai setiap kepentingan yang ada, bahwa pembuatan polisi tidur itu penting untuk menghindari kecelakaan, namun jangan sampai karenanya malah menjadi penyebab kecelakaan bagi pengguna jalan yang lain. Salam
Sinjai, 17 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H