Merawat senyummu pada penggalan waktuku yang kupunya, adalah kemustahilan yang sampai kini menggerus kesadaranku. Aku tahu, bukan seperti ini lamunan pada sepimu. Dan aku pun tahu, puisi disetiap orasimu adalah pengharapan akan nasib bangsamu seribu tahun lagi. Lalu masihkan pengorbananmu berdiri tegar di batas akhir keinginan, tatkala jiwa-jiwa kerakusan serta pikiran apatis melanda anak-anakmu.
Tak usah senyummu hilang, tatkala sifat menghargai hanyalah ungkapan dan persatuan tinggallah himbauan. Ia berguna untuk mengobati luka, bukan berfungsi untuk mencegah duka.
Penemuanmu tentang panduan bernegara, yang kau namakan Pancasila itu, kian hari kian terasa kesaktiannya. Meskipun kutahu, ia lahir dari ketidak inginanmu kami liberal atau komunis. Tapi mengapa nyaris kurasa sisa teks tanpa makna.
Ataukah ini bagian kritikan zaman, akan kelalaian menghilangkanmu dari hiruk pikuk kurikulum pendidikan dasar kami.
Entahlah...
Mengenang Hari Lahir Pancasila
Sinjai, 31 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H