Selepas tarwih malam kemarin, ditemani kopi dan canda tawa sahabat. Aku lihat, seorang ibu separuh baya di emperan toko di seberang jalan itu, mengemas tidurnya di atas kardus. Disebelahnya, dua bocah menata tangis inginkan sesuatu. Mungkin haus, boleh jadi lapar.
Dielusnya isak sedih bocahnya dengan janji tanpa pasti, tentang rumah beratap kelabu, tentang halaman berbunga jingga. Berharap perih hati bocahnya menguap bersama malam.
Aku, kopi dan canda tawa sahabat, menikmati suasana yang tinggal separuh, sebab separuhnya lagi sudah terenggut di emperan toko di seberang jalan itu.Â
Akh, rasa ngilu mendera nurani tiba-tiba. Kepedihannya merembes di gelas kopi di depanku. Menetes disetiap canda tawa sahabatku. Lalu tumpah berhamburan mengoyak rasa manusiaku.
Sambil menahan letih kepalaku yang mulai berdenyut. Tatapan nanar mataku berucap lirih, "masih pantaskah aku duduk di seberang jalan ini, saat kopi terasa hambar dan canda tawa terdengar luka?"
Semua itu karenamu, ibu setengah baya yang mengeluas isak sedih dua bocahnya, di emperan toko di seberang jalan itu.
Sinjai, 25 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H