Durasi waktu mungkin tak lama lagi mengiringi langkah letih kami, sedangkan kami belum mengenal diriMu sedikitpun. Padahal, di langitmu kami telah bercengkrama dengan gemuruh, di gunungmu kami selalu berbincang dengan letusan, di lautmu kami acapkali berbicara dengan gelombang. Seluruhnya kami temui, tapi tak satupun menjawab tentangMu.
Walaupun, tanda adaMu kau kirim digempamu, dianginmu, dibanjirmu, tapi untuk apa, untuk siapa?. Kami tak berubah sedikitpun, tetap melupakanMu.Â
Di sini kami masih seperti dulu, saling mencaci saling memaki. Merasa yang terhebat diantara yang hebat, merasa paling benar diantara yang benar. Meskipun kami tau itu tak baik, tapi tetap kami lakukan, demi kehormatan dan kesombongan.
Terlalu banyak kesia-siaan dalam pencarian kami. Sampai angka yang kami hafal pun tak bisa membilang, sudah berapa banyak kesalahan tlah kami tulis dalam buku hitamMu. Ironisnya, kami lakukan dengan sadar tanpa paksaan.Â
Bagaimana mungkin kami mengenalMu, kalau langkah letih kami selalu menyimpang dari arah lurusmu. Dan anehnya, kami tetap percaya diri berjalan semakin jauh.
Bagaimana bisa kami mengenalMu, kalau mulut kami adalah ghibah dan fitnah. Hati kami adalah curiga dan dengki. Benak kami adalah laknat dan kesumat.
Mungkin, kami baru mengenalMu, kala debu adalah kami.
Sinjai, 15 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H