Hamparan padi nan luas siap dipanen (fotoku DW)
Padi itu telah menguning dihiasi senyum sumringah para petani. Itu tandanya hari panen telah tiba. Setelah menanam dan merawat beberapa bulan hari yang ditunggu telah datang.
Daerah ini sawah-sawah begitu indah dengan hamparan tanaman padi yang luas. Walaupun hanya sawah tadah hujan tetapi petani tak patah arang untuk menghasilkan tanaman berkwalitas. Paling tidak untuk memenuhi kebutuhan dapurnya sendiri selama masa panen dan habisnya masa tanam.
Bagi petani disini panen menjadi hal istimewa karena masa panen hanya bisa dilakukan 2 kali dalam setahun. Selebihnya sawah atau lading tak mampu ditanami lagi karena kekeringan atau kemarau. Jika sudah masa kemarau, jangankan menanam padi atau tanaman yang lain, untuk memenuhi air kebutuhan sehari-hari saja tidak mampu.
Tanahnya akan kering dan tandus sehingga membentuk lubang-lubang. Petanipun harus rela tidak menggarap sawahnya dan akan meninggalkan kampung halaman untuk buruh di kota dalam menyambung hidup. Ada beberapa menjadi buruh bangunan atau tenaga serabutan yang lain. Hal terpenting adalah menghasilkan uang.
Namun, saat musim hujan telah tiba masyarakat akan pulang kampung untuk menggarap sawahnya sampai dengan waktu panen tiba. Itulah kondisi yang terjadi di salah satu pedesaan di kab. Wonogiri bagian selatan. Daerah ini terkenal dengan kurang bersahabatnya air jika musim kemarau.
Beberapa hari lalu saya sempat berkunjung ke daerah ini dimana para petani begitu antusias saat panen padi. Tanpa perayaan, tanpa acara seremoni atau bagi-bagi traktor yang kata anak sekarang pada di PHP panenpun dilakukan penuh suka cita.
Walaupun sebenarnya dari berbagai obrolan masyarakat alangkah bahagianya jika mendapatkan bantuan itu sehingga biaya menjadi terbantu untuk mewujudkan swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah.
Nampaknya mereka tidak terlalu peduli juga dengan janji-janji pemerintah tentang ini dan itu. Karena merasa tidak ada yang perlu meminta-minta atau berharap terhadap penguasa yang sok dermawan kala pemilu datang.
Dengan kontur jalan berbatu dan susahnya sinyal buat internetan mereka tak terlalu berpikir tentang informasi diluaran sana yang penuh hiruk pikuk makin tak jelas. Memenuhi urusan perut lapar adalah hal terpenting bagi mereka. Tidak ada motivasi yang lain kecuali hal itu.
Mereka para petani menjual sebagian hasil panennya kepada tengkulak. Harga gabah mencapai Rp. 4.300,-. Sebagaian yang lain untuk di simpan atau dijadikan beras untuk makan sehari-hari. Sedangkan sayur mayur mereka cukup menanam diladang rumah. Benar-benar penduduk disini mandiri.
Sifat manja dan berharap bantuan pemerintah bukan budaya mereka. Budaya mereka adalah budaya pekerja keras tak kenal lelah. Sifat gotong royongpun sangat dijunjung tinggi dikampung ini. Mereka para buruh tani tidak perlu dibayar uang tetapi diantara mereka saling membantu dan bergantian untuk menyelesaikan pekerjaan disawah. Yang mendapat giliran hanya menyiapkan beberapa makanan serta minuman pelepas lelah.
Itulah kehidupan sederhana yang tanpak dari petani di daerah pesisir Wonogiri bagian selatan panen tanpa perayaan dan tanpa bantuan traktor pak presiden. Semoga mereka senantiasa diberi kesehatan untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H