Pemandangan yang tidak jauh berbeda dari tahun ke tahun jika pengumuman kelulusan SMA/MA/SMK selalu ada hingar bingar konvoi menyambut kelulusan. Rasa senang, bangga dan tentu saja plong setelah melihat pengumuman LULUS. Rasa syukur yang tiada terkira setelah berjuang selamat tiga tahun terbayar sudah.
Mungkin agak berbeda dengan suasana saya dulu waktu lulus SMA. Konvoi kendaraan menyambut kelulusan 100% tidak ada karena saya ingat betul waktu itu yang memilikikendaraan bermotor hanya 2 siswa. Jadi praktis saya tidak pernah merasakan bagaimana rasanya konvoi kendaraan bermotor saat lulus dan mungkin teman-teman saya waktu SMA.
Saya difasilitasi sepeda motor oleh orang tua saat kuliah semester tujuh. Itupun karena saat ada praktek lapangan dan KKN. Setelah selesai ya dikembalikan lagi ke orang tua.
Kembali ke masalah pengumuman lulusan kemarin, sebuah pemandangan yang tidak mencerminkan hasil pendidikan sebenarnya. Sebuah citra yang tidak baik menurut saya, dimana anak-anak yang seharusnya diajak merenung dan menatap hari depan yang semakin banyak tantangan justru meluapkan kegembiraan tidak pada tempatnya.
Sekolahpun rasanya tidak mampu menahan luapan euforia para siswa. Belum ada cara efektif yang bisa dipakai untuk mencegah acara konvoi yang sebenarnya berdampak negatif terhadap siswa itu sendiri. Coba bisa di bayangkan jika aksi coret-coret itu bisa diminimalisir. Berapa banyak seragam sekolah yang bisa dipakai untuk disumbangkan kepada yang membutuhkan. Tentu saja masih banyak seragam-seragam itu bisa dipakai kembali dan masih bagus-bagus dan sangat layak.
Namun, keadaan justrus sebaliknya kegiatan kelulusan belum bisa diarahkan ke jalan yang lebih positif dan bermanfaat. Namun, saya yakin itu adalah sebuah proses yang selalu harus dibenahi. Sebuah perencanaan yang matang dan butuh waktu lama agar kelulusan siswa tidak terjebak oleh kesenangan sesaat.
Konvoipun terus  berlangsung hingga hampir maghrib, suara kendaraan begitu bising dan cukup mengganggu tidak ubahnya seperti kampanye partai beberapa saat pemilu lalu. Intinya antara siswa lulus dan yang dicontoh para calon wakil rakyat yang ikut pemilu tidak jauh berbeda.
Dalam konvoi tersebut saya agak heran dibeberapa barisan pasukan putih abu-abu itu ternyata ada beberapa sebagian dari mereka adalah anak-anak yang Drop Out sekolah dan juga anak-anak seusia SMA tapi tidak sekolah. Bahkan juga ada beberapa anak yang ikut konvoi adalah anak kelas X dan XI. Saya melihatpun hanya bisa geleng-geleng dan tak mampu berbuat apa-apa.
Sebuah pemandangan ironi sebuah euforia macam apa yang telah terjadi. Romli (rombongan liar) ini berlagak seperti anak SMA yang  juga sudah lulus. Disinilah penyusup-penyusup anah sedang bekerja membawa anak-anak ke arah yang PASTI negatif. Anak-anak berada dalam titik ancaman serius saat penyusup itu datang.
Bisa jadi ini akan membawa suasana semakin keruh dan berpotensi terjadinya kerusuhan mengatasnamakan anak SMA. Sedih dan prihatin melihatnya. Pihak-pihak terkait hendaknya tidak jenuh-jenuhnya untuk mengkaji ulang dan melakukan proses perbaikan sebelum kejadian buruk menimpa anak-anak.
Seluruh elemen masyarakat, pihak sekolah, pemerintah setempat dan pihak keamanan hendaknya memberikan kontrol agar euforia kelulusan tidaklah kebablasan dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak lain yang mencari untung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H