'Pemekaran' telah menjadi trending topic dalam keseharian masyarakat Galela dan Loloda untuk beberapa hari terakhir, sebuah eforia yang disertai oleh semangat baru, pasalnya pada Rabu, tanggal 12 Januari 2011, baru saja tercetus deklarasi yang diiringi kebulatan tekad dari masyarakat Galela-Loloda untuk bersama-sama memperjuangkan pemekaran terhadap wilayah tersebut yang pada dasarnya telah menjadi wacana lama yang 'jatuh bangun' oleh terjangan elit politik.
Melalui deklarasi kemarin, Masyarakat Galela dan Loloda kini menuntut haknya yang tertuang dalam UU No 32 tahun 2004 (kemudian direvisi menjadi UU No.34 tahun 2004) yakni Otonomi Daerah yang seluas-luasnya guna menunjang pembangunan yang lebih terpusat pada wilayah ini, karena selama ini Galela dan loloda masih berada pada batas minimal dalam pembangunan infrastruktur, sarana umum, maupun pembangunan kesejahteraan terhadap masyarakatnya, sangat kontradiksi jika kita menaruh perbandingan antara potensi SDA dengan apa yang didapat oleh masyarakat Galela-Loloda pada saat ini, dan jika telah ada kemauan dan semangat dari masyarakatnya yang didukung oleh kemampuan Sumber Daya Manusianya, maka secara garis besar abstraktif Galela-Loloda layak menjadi kabupaten.
Tentunya Deklarasi tidak serta-merta langsung membawa masyarakat Galela-Loloda pada cita-citanya, namun setidaknya dapat memberikan dampak besar dan kepastian dari harapan yang telah tertanam lama di benak masyarakat Galela-Loloda untuk merealisasikan sebuah kemakmuran yang lahir dari jerih payah masyarakat Galela-Loloda yang selama ini terkubur oleh carut-marut permainan politik di halmahera utara yang hanya melahirkan janji-janji untuk sebuah kesejahteraan yang semu. Terlepas dari ini semua, jika dilihat dari persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 5 UU No 32 tahun 2004, yaitu agar sebuah daerah dapat dimekarkan adalah harus memenuhi Syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan, maka dapat diprediksi secara pasti jika Masyarakat Galela-Loloda hanya akan menemui sedikit kendala pada persyaratan administratif yang lagi-lagi harus 'nyangkut' pada kepentingan elit politik karena harus melalui persetujuan DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan, Persetujuan DPRD Provinsi dan Gubernur, serta Rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
Sementara untuk dua syarat lainnya tidak menjadi persyaratan yang sulit untuk dipenuhi, dua persyaratan yang harus dipenuhi yaitu syarat teknis dan fisik kewilayahan.
Syarat teknis, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat 4 UU No.32 tahun 2004, meliputi faktor dasar seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial-budaya, sosial-politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Kecilnya arus perputaran uang di Galela-Loloda saat ini serta Konflik yang pernah terjadi juga bukan merupakan alasan penghambat terpenuhinya persyaratan ini, kecilnya arus perputaran uang pada saat ini karena roda perekonomian masih terpusat di Tobelo (Ibu kota Kab. Halmahera Utara).
Dan Syarat fisik kewilayahan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat 5 UU No.32 tahun 2004, yaitu setiap daerah harus memiliki minimal 5 kecamatan sebagai prasyarat pembentukan kabupaten, Lokasi Calon ibukota kabupaten, sarana dan prasarana pemerintahan daerah, tentunya semua prasyarat tersebut telah terpenuhi, sekarang ini di galela dan loloda telah terdapat 6 kecamatan yang lebih dari cukup untuk memenuhi persyaratan tersebut sehingga tidak layak jika ada orang yang mengatakan bahwa perjuangan untuk menghadirkan daerah otonomi baru bagi galela-loloda terkesan dipaksakan, Sekali lagi jika kita membandingkan persyaratan di atas dengan realita yang bergulir saat ini maka dapat diambil sebuah kesimpulan ambisius bahwa Galela-Loloda telah layak dimekarkan menjadi sebuah kabupaten yang siap bersaing dengan kabupaten induknya Halmahera Utara dan Kabupaten Kepulauan Morotai di kancah persaingan ekonomi regional pasifik serta saling mendukung percepatan pembangunan di Maluku Utara nantinya dan sesuai dengan Ketetapan MPR-RI No XV/MPR/1998 tentang kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional untuk kesejahteraan bersama.
Selain itu, peluang besar Galela-Loloda untuk menjadi kabupaten pemekaran datang dari kebutuhan provinsi, seperti dikutip dari website http://www.antaramaluku.com, mengutip pernyataan dari anggota DPD-RI Asal Maluku Utara Abdurahman Lahabato, bahwa untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur pembangunan di berbagai daerah idealnya Maluku Utara harus memiliki 14 daerah otonom, sehingga aspirasi dari rakyat daerah yang menginginkan pemekaran perlu di apresiasi, guna mempercepat pemerataan pembangunan nasional, dan dalam kurun waktu beberapa tahun kedepan beberapa daerah yang menjadi prioritas otonom harus masuk dalam rencana jangka menengah PEMDA Malut seperti, sofifi, Obi, Galela-Loloda, Taliabu Timur, dan Gane barat-Gane Timur.
Terlepas dari peluang itu, peran dari berbagai pihak terutama Mahasiswa dan intelektual muda yang terkait dalam agenda penting yang diamanatkan oleh rakyat Galela-Loloda ini sangat dinantikan guna lebih meyakinkan kepada semua orang di Maluku Utara khususnya, dan di Indonesia pada umumnya, bahwa langkah ini adalah langkah yang tidak digerakkan oleh elit-elit politik yang mengincar lahan kekuasaan dan membagi-bagi kekuasaan ataupun terkandung tendensi politik didalamnya yang pada akhirnya justru merugikan rakyat, akan tetapi langkah ini adalah langkah yang digerakkan sendiri atas inisiatif pikiran kita, atas inisiatif masyarakat Galela-Loloda, Masyarakat yang terdiri dari kaum akar rumput, kaum mustadhafin, yang terdiri dari para petani, nelayan, pedagang, pegawai rendahan dan kaum yang senantiasa memimpikan kesejahteraan, semoga ini tidak menjadi langkah yang terhenti karena duri yang menghalangi, mudah-mudahan.
On: Radar Halmahera
Muhammad Guntur Cobobi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H