Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memperbaiki Mindset

30 September 2017   17:45 Diperbarui: 30 September 2017   18:21 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain faktor teknis, faktor non teknis mentalitas tidak kalah pentingnya. Pemikiran yang telah tertanam di pikiran mempengaruhi keluaran (hasil kinerja). Mari kita tengok beberapa fakta berikut: Rudi Hartono berhasil membantu pembulutangkis Indonesia untuk keluar dari pikiran menjadi juara All-England merupakan hal yang sulit. 

Sejak Joe Hok menjadi kampiun di tahun 1959, Indonesia puasa gelar selama delapan tahun. Pasca Rudi juara, maka secara beruntun selama 22 tahun memilki juara bahkan kadangkala di dua nomor. Hal yang sama dilakukan oleh Lilyana Natsir, yang berhasil mengisi puasa gelar All-England selama juga delapan tahun, dan setelah itu Indonesia secara beruntun menjadi kampiun sampai tahun 2017, minus tahun 2015.

Meskipun secara teknis sulit dibuktikan, namun peristiwa historis kadangkala mengelantung di pikiran, sehingga ia terus membebani yang pada akhirnya menyebabkan turunnya performa. Perisitwa masa lalu dapat berpengaruh dalam alam pikiran dalam bentuk penanaman belief  (keyakinan) seseorang. Dalam bahasa umum kita mengenal kata kutukan, sudah dari orok, sudah suratan, garis tangan dan istilah-istilah lainnya.

Akibatnya, dalam pikirannya yang ada adalah kalau kita kalah, itu adalah hal yang lumrah, karena memang statistik berbicara kita cenderung kalah. Oleh karena itu, pengelolaan cerita masa lalu menjadi penting agar tidak menjadi beban di masa kini dan mendatang.

Cerita sejarah bukanlah fokus pada sejarah itu sendiri, melainkan fokus pada bagaimana kita mengambil manfaat dari cerita. Hal itu menjadi alasan kalau pendidikan untuk anak-anak kita dibuat dalam bentuk cerita story, bukan dalam bentuk history. Sehingga faktor presisi menjadi pertimbangan kedua setelah faktor pesan dari cerita. Hal itulah mengapa cerita untuk publik sebaiknya happy ending,karena pasca membaca atau menonton, diharapkan kebahagiaan akan berbuntut pada kebahagiaan dalam dunia nyata.

Disadar atau tidak, kita sering memelihara cerita kegagalan yang pada akhirnya mempengaruhi beliefyang berakibat turunnya performa. Kita masih latah menggunakan istilah " mengejar pembangunan". Kita masih menggunakan istilah negara maju dengan berkembang, padahal dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai developed, bukan advanced. Harusnya menggunakan istilah negara yang berkembang dan sedang berkembang.

Akibat besar dari pemeliharaan belief yang kontra produktif, pada akhirnya akan menimbulkan sikap yang lebih besar, seperti rasa rendah diri, perasaan inlander dan lain sebagainya. Di kampus kita melihat betapa sikap inlander ditunjukkan dengan menempatkan pemikiran dari luar lebih dari pemikiran ilmuan Indonesia sendiri.

Di iklan produk kita melihat, betapa bangganya produk yang mengklaim teknologi negara tertentu, arsitek negara tertentu. Di facebook terlihat, betapa rajinnya foto-foto saat berada di negeri luar. Bahkan terkait pengkhianatan G 30S, khususnya komentar tentang alasan mengapa pahlawan Revolusi Kapten Anumerta Pierre Tandean disebut sangat tampan, karena ada darah keturunan Eropa di garis ibunya.

Dalam kehidupan yang lebih serius kita mendapati kata-kata seperti. Middle Income Trap (jebakan negara berpendapatan menengah). Kutukan negara penghasil sumberdaya. Curse to Blessing Natural Resources and Institutional Quality yang diterjemahkan bebas sebagai kutukan negara penghasil sumberdaya alam. Semua realita ungkapan di atas perlu dicermati, pendidikan bukan soal penyampaian fakta hari ini, pendidikan berbicara potensi fakta masa depan.

Bahasa ilmiah dan akademik yang berlaku dalam ruang keilmuan seharusnya dapat dipisahkan dalam bahasa pendidikan publik. Hal itu mengapa lahir IKIP (institut keguruan dan ilmu pengetahuan). Karena mendidik ada ilmunya, mendidik ekonomi tidak bisa hanya dilakukan oleh ilmuan ekonomi. Mendidik sejarah tidak bisa hanya soal berlatar belakang ilmu sejarah. Karena mendidik, bukan menyampaikan ilmu tetapi lebih mengajak peserta mengkontruksi pikirannya. Ilmu kalau memberikan dampak dalam hal keyakinan atas kegagalan tidak perlu disampaikan.   

Tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua untuk mawas diri tentang kebiasaan sehari-hari yang menyebabkan hal ini terjadi. Cerita masa lalu harus dimaknai kembali untuk memastikan kehidupan tetap positif. Semoga setelah pasangan ganda putra bulutangkis Gideon dan Kevin mengalahkan musuh bebuyutan Boe dan Morgensen di Jepang terbuka, maka dipertandingan berikutnya kemenangan semakin mudah diperoleh. Semoga peran sebagai tuan rumah Asian Games 2018 mengembalikan keyakinan kita sebagai macan Asia, setelah 55 tahun yang lalu kota menjadi tuan rumah.   

 Kita perlu memaknai ulang, kalau ternyata Susi Susanti pernah menjadi kampiun All England sebanyak 4 kali. Sambil menunggu kabar Egi Maulana Fikri bermain di liga sepakbola Eropa, sebelumnya Kurniawan Dwi Yulianto bermain di liga Swiss di tahun 1995 dan mencatatkan gol perdanaya ke Gawang klub Basel, klub yang menjadi langganan juara liga. Kalau niat kita untuk membangun belief positi, maka rangkaian fakta dapat kita konstruksikan.

Kita tidak perlu mengatakan tunggal putri sudah 23 tahun tidak menjadi juara All England. Kita tidak perlu mengatakan terakhir kali pemain Indonesia bermain di liga eropa 22 tahun yang lalu. Kita juga tidak perlu mengatakan Indonesia dijajah selama 350 tahun. Karena pernyataan itu digunakan saat pejuang butuh kalimat agitas agar bangsa Indonesia bersatu. Yang kita butuhkan adalah kemauan memikirkan hal terbaik apa yang harus dilakukan terhadap masa lalu, untuk meraih kebaikan di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun