Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebhinnekaan Indonesia Bukan Hanya Soal SARA (Tinjauan Metakognisi)

21 Maret 2017   15:09 Diperbarui: 21 Maret 2017   23:32 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat ini, saya sedang dalam perjalanan ke Solo dari Jakarta dengan menaiki kereta api. Saat saya menunggu di stasiun gambir, toko-toko makanan hanya merk a, b, c. Ruang terbesar dipergunakan oleh mini market kuning dan kuning. Saat kereta berhenti di Cirebon dan Purwokerto, toko makanan sama dengan Jakarta, berikut dengan minimarket. Akibatnya, saat saya masuk ke minimarket, isi barang dagangannya juga sama.

Padahal, saya ingin jajan yang bercirikan daerah Cirebon atau Purwokerto. Namun sayang, Saya tidak bisa keluar stasiun. Pastinya, dalam stasiun warnanya seragam. Hal yang sama dengan bandara, dan tempat-tempat bisnis utama lainnya. Indonesia yang Bhinneka tidak lagi terlihat dalam hal jenis usaha. 

Komentar soal isu ke Bhinnekaa-an selama ini lebih banyak dialamatkan untuk urusan SARA. Seolah-olah fenomena pemaksaan terhadap pudarnya ke Bhinneka-an dalam dimensi sosial, dimensi bisnis dinafikan. Padahal, suka tidak suka korban telah berjatuhan. Dan hal itu terjadi secara masif.

Dalam hal pendidikan juga sama, buku teks menjadi sama, ujian juga sama, kurikulum, guru dan libur juga sama. Indonesia yang memiliki sumber pengetahuan dan kebajikan dari berbagai sumber menjadi hilang. Sekolah tidak lagi dapat mengajar sesuai dengan garis pemikiran. Sekolah pesantren dan Alliyah dipaksa mengakui kurikulum nasional. 

Kalaupun ada yang boleh berbeda, adalah pendidikan yang bernuansa internasional atau asing. Jika sekolah berbahasa jawa, batak atau sunda tidak diperkenankan, tetapi sekolah berbahasa Inggris, China dan Arab diperkenankan.Bhinneka tidak berlaku bagi anak negeri, tetapi berlaku untuk orang asing.

Indonesia tidak lagi Bhinneka, saat rumah-rumah dalam satu kompleks relatif sama. Sama-sama orang berkecukupan, tidak lagi ada rumah si orang kaya bersebelah dengan si miskin. Arisan-arisan diisi oleh mereka yang mirip secara ekonomi, yang kaya berkumpul dengan si kaya, si miskin juga sama.

Mal-mal menjadi seragam pengunjungnya. Ada mall si kaya dan ada mal si miskin. Warung kopi menjadi serba merk a, atau b atau c. Makanan instan jadi itu-itu saja. Minuman cola hanya merk itu-itu. Hilang sudah merk yang dulu pernah ada. Mati sudah lidah ini, karena hanya dapat memilih yang itu-itu saja.

Hilangnya ke Bhinnekaan di atas jauh lebih bahaya dibandingkan perbedaan SARA. Konflik horizontal karena perbedaan si kaya dan si miskin jauh lebih hebat dari konflik antar suku bahkan antar agama. Jika pun ada konflik agama, semuanya disundut oleh ketimpangan. 

Hari ini kita disuguhkan oleh isu ke Bhinneka-an tentang SARA, padahal republik tercinta ini sudah sangat maju untuk urusan teraebut. Ke Bhinnekaa-an soal eksistensi manusia dengan kehidupannya jauh lebih utama. Bukankah republik ini berdiri, karena Belanda tidak mengakui eksistensi kehidupan bangsa Indonesia. Belanda yang begitu pongah, yang menganggap kita bukan IKA, sama-sama manusia.

Dalam tinjauan metakognisi, ke Bhinneka-an menyangkut nilai-nilai kemanusiaan. Artinya, kita mengakui eksistensi manusia sebagai satu kehidupan bersama. Mengakui kesatuan (ika) dalam menerima dan mengakui pihak lain juga punya tempat di muka bumi.

Metakognisi menjelaskan bahwa hidup dalam ke bhinneka-an sebagai sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Keyakinan bahwa jika hidup berdampingan dan memperhatikan eksistensi pihak lain, maka hidup akan berjalan lebih baik. 

Motivasi dalam hidup untuk mampu menjalani hidup sesuai dengan tuntutan organik manusia, serta memgakui kehidupan manusia lain sebagai satu kesatuan yang tidak dapat diabaikan. 

Bhinneka bukan soal agar kita bisa aman, atau pengakuan adanya kekuatan kelompok lain. Bukan soal kumpulan manusia yang dikenal suku tertentu, atau agama tertentu. Bhinneka bahwa setiap orang di muka bumi berhak hidup, bersikap dan berusaha.

Semoga sesampai di Solo, saya masih mendapatkan gudeg ceker, sate buntel. Semoga warna minimarket di Solo tidak didominasi warna kuning. Semoga saya masih bisa meladeni bahasa Jawa halus khas wong Solo. 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun