Meminta maaf bukanlah hal yang mudah. Kita seringkali mencampuradukkan pernyataan meminta maaf dengan meminta maaf. Selain itu, dalam tinjauannya seringkali ada intimidasi agar orang yang diminta maaf wajib memaafkan. Sebaliknya, peminta maaf hilang kewajibannya setelah mengucapkan pernyataan maaf. Bahkan, Ia akan dengan gampangnya terserah mau maafin atau tidak, atau di lain waktu ia akan melakukan kesalahan lagi dengan begitu gampangnya meminta maaf lagi.
Permintaan maaf bukanlah sebatas kepleset ucapan ataupun perbedaan. Apalagi hanya dihubung-hubungkan dengan kepentingan. Acapkali permintaan maaf yang dinyatakan hanyalah dilandasi oleh potensi kerugian jika yang bersangkutan tidak menyatakan maaf. Karenanya tidak heran adab meminta maaf menjadi sangat tidak diperhatikan. Misal Ahok meminta maaf kepada Ma’Ruf Amin melalui video, atau meminta maaf melalui ucapan di tweeter. Yang lebih bahaya, sebagian publik merasa sang bersalah telah gugur kewajibannya, dan serangan balik langsung diarahkan kepada pihak yang diminta maaf.
Mari kita lihat contoh kasus permintaan maaf dari Ernest. Pasca Ernest mengirimkan Teet tentang Zakir Naik sebagai pembiaya ISIS dan kaitan dengan JK. Beberapa waktu kemudian, publik mendapatkan permohonan maaf dari sang artis yang isinya sebagai berikut:
“Saya tau, ini mungkin percuma. Tapi secara tulus saya mengaku salah krn tergesa-gesa percaya pd artikel hanya krn medianya cukup ternama. Untuk itu, saya mohon maaf bila telah menyakiti hati teman2 semua. Saya jamin permintaan maaf ini tulus tnp tekanan dr pihak mana pun :).”
“Memaafkan atau tidak adalah 100% hak teman2. Yg bisa saya lakukan skrg adalah introspeksi agar hal ini (berkomentar soar Zakir Naik) jgn terjadi lagi di kemudian hari. Buat teman2 yg melabeli saya ‘anti Islam’, saya sih pasrah aja. Mungkin itu konsekuensi yg harus saya tanggung, ya sudah. Sejak lahir hingga remaja saya tinggal di lingkungan Betawi Muslim. Agama saya tidak pernah mrk permasalahkan. Knp saya hrs benci Islam?,” kata Ernest Prakasa. (Tempo.co.id 7 Maret 2017).
Dalam tinjauan metakognisi, Ernest pada dasarnya tidak meminta maaf. Ia hanya meminta maklum. Di awal kalimat didahuli dengan mungkin percuma, artinya Ia tidak yakin publik memaafkan, maka ia tidak sedang memikirkan permohonannya dikabulkan, tetapi lebih sibuk dengan yang penting saya sudah meminta maaf. Pernyataannya kalau ia tulus pada dasarnya itu hanya upaya untuk meyakinkan publik. Peminta maaf tidak perlu menyatakan ia tulus, ketulusan akan dilihat dari cara dan bagaimana ia meminta maaf.
Soal Zakir Naik, barangkali Ernest sangat tidak berempati. Kesalahannya bukanlah pada Zakir Naik, Saya yakin beliau sudah terbiasa difitnah dan diintimidasi baik di negerinya maupun di Eropa. Ernest harusnya berempati dengan kekecewaan publik yang tidak terima ada perilaku fitnah dilakukan oleh orang yang dianggap terkenal.
Kalimat ia dilabeli anti Islam, pada dasarnya itu sangat menyakitkan. Karena Ernest kembali lagi menampilkan fitnah. Ernest lah yang melabeli dirinya anti Islam dan bukan masyarakat. Ernest lah yang ngomongin SARA. Jadi dengan jelas, Ernest tidak meminta maaf. Apalagi, Ia langsung membela diri dengan melakukan adu domba antara Betawi Muslim dengan Muslim yang lain yang mungkin marah.
Berdasarkan analisis di atas, saya pikir marilah bijak, agar kiranya kita masih menerima ruang perbedaan. Jika Pak JK sudah memaafkan, itu merupakan hak beliau, tetapi jika ada yang masih belum memaafkan, maka itu juga haknya masing-masing. Jangan sampai si pembuat kesalahan melakukan kesalahan berikutnya dengan tidak bisa menerima ada yang tidak menerimapernyataanya. Termasuk bagi saya,yang menganggap Ernest belum minta maaf, tetapi menyatakan permintaan maklum. Saya tetap keukeu tidak memakluminya.
Lebih lanjut, mari kita analisis pernyataan pasca JK memaafkan Ernest
Dengan segala kerendahan hati, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak Wakil Presiden atas pernyataan di media massa terkait Twit saya, dimana Bapak Wakil Presiden telah memaafkan kekhilafan saya yang telah mengeluarkan pernyataan di Twitter dengan hanya mengacu kepada portal berita yang belum tentu valid pemberitaannya tanpa mengetahui lebih banyak fakta yang ada. Ke depannya, saya berjanji akan lebih teliti dan berhati-hati dalam mempercayai dan membagi tautan di media sosial, apalagi berkaitan dengan simbol negara.(Sumber detik.com 8 Maret 2017)
Ernest hanya memikirkan kesalahannya pada JK yang terkait salah kutip. Jelas sudah Ernest ngeles, dan menghakimi agar orang maklum, kalau itu hanya kesalahan salah kutip, bukan kesalahan menyakiti. Jadi, pak JK dipaksa maklum, kalau pernyataan itu bukan salah Ernest, tetapi salah sumbernya. Kesalahan Ernest karena tidak teliti, bahkan dianggap khilaf. Padahal beberapa waktu yang lalu Ernest pernah meminta maaf atas kasus penginjakan foto Anies Mata (Tokoh Partai Keadilan Sejahtera).Begini pernyataannya.
Setelah mendapat kecaman bertubi-tubi, Ernest akhirnya menghapus postingan foto tersebut. "Mempertimbangkan nasehat teman2, saya memutuskan untuk minta maaf atas twit menginjak spanduk. Iya, saya salah," Menurut Ernest, dia cuma menemukan spanduk tersebut tergeletak di tengah lapangan. "Jd diinjek2 semua org. Sumpah bukan gw yg nurunin, niat amat -_-," kicau Ernest.
Jelas, bahwa Ernest hanya ngeles, pernyataan seperti ini justru semakin menyakiti pihak yang telah tersakiti. Sehingga, jika kita harus merespon permintaan maaf Ernest berikutnya, maka boleh lah ada opsi kalau kita menganggap bukan permintaan maaf.
Dalam perspektif metakognisi, meminta maaf memiliki makna mengakui telah berbuat kesalahan. Meminta maaf merupakan wujud sebagai pemohon. Meminta maaf tulus, artinya tidak ada embel-embel untuk dimaklumi. Meminta maaf harus dengan adab sebagai peminta, jadi tidak memaksa agar yang diminta memberikan maaf. Semoga esok, permintaan maaf tidak dijadikan hanya sebatas slogan menyampaikan pesan minta maaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H