Pada dasarnya, metakognitif bukanlah hal baru. Saya teringat dengan ajaran kitab suci yang dibelajarkan kepada murid para nabi melalui rangkaian peristiwa. Sebelum nabi menyampaikan wahyu, biasanya Nabi menceritakan konteks sebelum ayat turun. Kitab suci tidak lah diturunkan sekaligus, melainkan secara bertahap dan sesuai dengan suasana yang terjadi saat ayat turun. Murid-murid belajar dengan mendengarkan secara langsung proses turunnya ayat sekaligus kejadian yang melatar belakangi. Murid para nabi memiliki kesempatan untuk bertanya langsung kepada nabi perihal ayat. Nabi tidak pernah mendoktrinkan, melainkan melalui pembelajaran yang sesuai dengan pendekatan metakognisi.
Hal ini berbeda dengan saat ini. Globalisasi dan internasionalsiasi menyebabkan kita insan perguruan tinggi dapat mengadopsi sumber-sumber bacaan dari dalam maupun luar negeri. Mahasiswa kita berikan buku-buku teks dan jurnal tanpa memberikan konteks bagaimana si Penulis menyampaikan pesan. Mahasiwa kita tekankan untuk menerima sesuatu yang sebenarnya belum ia terima dengan ikhlas. Mahasiswa dibatasi secara metakognitif, karena ia sudah dipaksa, bahwa dokumen merupakan sebuah kebenaran.
Pembelajaran metakognitif menempatkan pembelajar sebagai subjek. Pembelajaran dianggap sukses, bukan saat mahasiswa sukses mengulangi materi ajar, namun saat pembelajar mampu mengelola pembelajarannya sendiri, mampu memikirkan pikiran dari informasi yang ia terima. Mampu memotivasi diri untuk melakukan pembelajaran secara mandiri. Karenanya, evaluasi belajar tidak lagi bisa menggunakan model kesamaan dokumen dengan ujian tutup buku, atau kemampuan analisis melalui pisau analisis rujukan yang telah ditentukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H